Agama Budha dan Sains

Agama Budha dan SainsTak dapat dipungkiri, sains dan agama mempunyai tujuan dan sasaran bidikan yang relative sama, yaitu berusaha membebaskan umat manusi dari belenggu-belenggu penderitaan yang selama ini mencengkeramnya dengan kuat, dan mencoba menciptakan serta mewujudkan suatu kehidupan bahagia  yang diidam-idamkan oleh setiap insane; tidak berkecuali.

Meskipun demikian, rasanya terlalu spekulatif jika sains dan agama dianggap sebagai dua macam sarana yang mutlak sama. Para ilmuwan dan agamawan telah mengakui bersama bahwa sains dan agama memiliki landasan, sudut pandangan dan titik beranjak yang sangat berbeda walaupun kedua-duanya sama-sama berindukkan pada filsafat sebagaimana dinyatakan oleh Francis Bacon. Perbedaan radikal ini semakin tampak dengan jelas setelah sains secara resmi melepaskan diri dari filsafat pada zaman Renaissance.

Sains lebih menekankan kiprahnya dalam usaha mencari, melacak, dan menelusuri kebenaran hanya melalui pertimbangan akal, dengan tidak mengacuhkan pertimbangan moral (etika). Hal ini diperjelas oleh Robert Bierdtset dengan satu pernytaan yang tegas, seorang ahli sains yang murni tidak mempunyai pilihan etika. Sebagai ahli sains yang murni tidak mempunyai perhatian tentang apa yang baik dan apa yang jahat. Akan tetapi, perhatiannya hanya ditujukan kepada apa yang betul (true) dan apa yang keliru (false). Hanya kebenaran yang dapat dibuktikan secara rasionalitis maupun secara empiris; dimana dengan penalaran yang logis serta pengamatan dan pengalaman dapat dipaparkan suatu kecocokan antara teori dan fakta, yang dipuja dan diagungkan oleh seorang ahli sains. Bagi para ahli sains, kesahihan suatu kebenaran tidak dapat dipercaya  hanya berdasarkan dogma-dogma yang banyak bertebaran  didalam kitab-kitab suci; tanpa suatu pembuktian secara nyata. Berkenaan dengan hal ini, albert Einstein mengungkapkan bahwa; apapun teori yang disusun diantara para ahli sains, ilmu pengetahuan itu dimulai dari fakta dan diakhir dengan fakta juga. Aguste Comte kemudian menambahkan, setiap ilmu pengetahuan terdiri atas koordinasi fakta.

Berbeda dengan landasan yang dibangun oleh sains dalam mencapai sasaran bidikan, agama lebih mengutamakan segi etika (pertimbangan moral). Dalam mewujudkan kebahagiaan, hamper semua agama cenderung menuntut penataan batin dengan berbagai macam cara pengekangan diri, sehingga kalau usaha ini betul-betul tercapai kebahagian yang diperoleh biasanya lebih bersifat batiniah/ kebahagiaan didalam (iner happiness); sedangkan sains lebih  cenderung menuntut kemampuan seesorang dalam memanfaatkan penemuan-penemuan yang dihasilkan dari kemajuan sains tersebut sehingga kebahagiaan yang dapat dicapai tersebut tergantung pada beberapa kondisi yang terdapat diluar diri seseorang. Dalam hal ini, sains tidak dapat menolak untuk mengakui bahwa kebahagiaan yang diberikan sesungguhnya bernilai setingkat dibawah kebahagiaan yang mungkin dapat dipersembahkan oleh agama. Selain itu, kebahagiaan ini juga hanya merupakan kebahagiaan duniawi dalam kehidupan sekarang. Mengenai kebahagiaan sejati dalam kehidupan  sekarang dan dalam kehidupan yang akan dating yang dipercayai oleh hampir semua agama sains mau tidak mau harus mengangkat tangan dan berbungkam mulut.

Pola berpikir yang dipelopori dan dikembangkan oleh sains juga berbeda dengan pola berpikir yang dianut agama. Agama kebanyakannya beranjak dari keyakinan atau iman pada sesuatu yang belum/tidak diketahui dengan jelas dan pasti, lalu baru mengarah dan menuju pada suatu pembuktian secara nyata (sesuai dengan fakta). Pada tahap akhir inilah suatu kebenaran agamis baru dapat dikatakan mengalami proses yang benar-benar matang, dalam arti sudah teruji dan terabsahkan sebagai suatu kebenaran mutlak, bukan suatu dogma yang tak dapat dibuktikan.

Karena masing-masing mempunyai landasan, sudut pandangan, dan titik beranjak yang berbeda, keduanya tentu mempunyai ruang lingkup dan ruang gerak yang berlainan. Kendati demikian, dapat dipastikan bahwa sains dan agama saling mempengaruhi  satu dengan yang lain. Sangartlah mudah untuk diperkirakan bahwa pengaruh yang ditimbulkan kadangkala dapat bercorak positif, tetapi kadang kala juga dapat bercorak negative. Apabila pengaruh pertama yang timbul, maka hal itu tidak akan menjadi problem yang mengkhawatirkan serta mencemaskan, tetapi justru akan menimbulkan suatu perpaduan harmonis yang sangat diharapkan oleh setiap orang. Namun jika pengaruh kedua yang timbul, maka hal itu akan membuat orang-orang tertentu terpojok dalam suatu dilemma yang sangat sulit diputuskan. Karena didunia ini terdapat banyak agama, dan diantara agama-agama itu belum tentu belum tentu mempunyai pandangan-pandangan yang  mutlak sama, maka dapat pula dipastikan bahwa pengaruh yang ditimbulkan oleh sains bersifat sangat relative. Suatu pengaruh sains yang dinilai oleh agama lainnya justru sebagai pengaruh positif mungkin dianggap oleh agama lain justru sebagai pengaruh negative yang sangat merugikan. Demikian juga sebaliknya, suatu pengaruh yang dinilai oleh sains sebagai pengaruh negative yang timbul oleh agama tertentu, belum dapat dijadikan pedoman untuk mengadili agama-agama lainnya secara mereka. Ketidakmutlakan dan ketidakniscayaan inilah yang seharusnya menyadarkan kedua belah pihak untuk tidak memberikan penilaian secara gegabah.

Salah satu contoh  yang cukup tepat untuk menggambarkan pengaruh negative ajaran suatu agama tertentu yang dapat menghambat perkembangan dan kemajuan sains adalah system pemujaan api yang telah dianut oleh banyak orang selama beberapa abad sebelum zaman sang Budha Gotama. Karena kurangnya pengertian tentang fenomena-fenomena alam, banyak orang menganggap api sebagai suatu unsur kehidupan yang memancarkan, kekuatan gaib sehingga api ini dikramatkan serta dikhaliskan, dan dengan perasaan takut mereka kemudian memujanya dengan tujuan supaya api tersebut tidak mencelakai ataupun mengganggu mereka, dan juga supaya api tersebut memberikan berkah kepada mereka.

Kepercayaan itu rupanya mereka salah satu perkembangan dari pemujaan pada kekuatan-kekuatan alam seperti Guntur, petir, topan, badai, halilintar, dan lain-lain. Dari pemujaan-pemujaan yang timbul karena perasaan takut inilah mereka lalu mengembangkan suatu kepercayaan yang baru dengan menganggap bahwa dalam ala mini terdapat penguasa-penguasa yang mengatur dan menguasai kehidupan manusia dan binatang, yang bertempat tinggal dipohon, gunung, bumi, langit, bulan, matahari, bintang dan lain sebagainya. Sebagai puncak perkembangan itu, mereka kemudian mempercayai bahwa di atas penguasa-penguasa ini ada satu penguasa yang lebih tinggi, yang menciptakan, mengatur, memelihara dan menguasai seluruh alam semesta beserta semua kehidupan  yang ada didalamnya

System pemujaan dengan segala perkembangannya ini jelas sangat membatasi ruang gerak sains dalam melakukan penelitian penelitian dan pengkajian-pengkajian  ilmiah. Sebagai salah satu contoh, karena api dianggap sebagai  sesuatu yang kramat dan khalis, maka pada waktu itu sangatlah terlarang untuk mengadakan pemeriksaan dan penyelidikan berdasarkan pada metode-metode keilmuan terhadap fenomena alam yang sesungguhnya merupakan hal yang wajar tersebut. Sementara itu, mencoba menyibak misteri alam semesta dianggap sebagai suatu usaha yang sangat ‘tabu’ yang tidak seharusnya dilakukan oleh seseorang yang memperhambakan diri kepada penguasa adikodrati yang tak dikenal itu. Akan tetapi, karena telah  memiliki akal dan pikiran, manusia selalu berusaha sedikit demi sedikit membebaskan diri dari kungkungan kepercayaan  yang tidak beralasan itu walaupun hal ini seringkali menuntut suatu pengorbanan yang cukup besar, misalnya diseret dan digantung hidup-hidup atua harus menerima nasib sial seperti Bruno yang dibakar hidup-hidup oleh masyarakat yang  sangat fanatik terhadap kepercayaan itu.

Bagi orang-orang fanatic semacam itu, kemajuan dan perkembangan sains dianggap membawa petanda kurang baik bagi kepercayaan yang dianutnya dan tidak jarang pula dibayangkan sebagai suatu momok yang lebih menakutkan daripada penguasa adikodrati yang ditakutinya itu sendiri. Membiarkan sains maju dan berkembang  secara bebas sama artinya dengan membiarkan sains menelanjangi kedaifan mereka dengan mentah-mentah; sedangkan menerima kebenaran yang dibuktikan oleh sians berarti melepaskan kepercayaannya, dan itu telah mendarah daging diyakini sebagai suatu dosa yang tak terampunkan yang membawa malapetaka yang mengerikan. Oleh karena itu, dengan berbagai macam cara dan upaya mereka berusaha untuk membendung arus kemajuan secara sadar maupun tidak sadar berarti membiarkan dirinya terlelap dalam kedunguan yang berakibat fatal. Dengan demikian, kemajuan dan perkembangan sains dianggap mereka menyodorkan racun dengan tangan kiri dan juga racun dengan tangan kanan. Tidak ada setitik maupun yang memancar dari sepasang tangan tersebut.

Kelakuan dalam bersikap seperti ini tampaknya masih juga membekas pada sebagian orang tertentu pada zaman modern seperti sekarang ini. Ketika pesawat ulang alik Challenger yang merupakan lambang supremasi di bidang penerbangan luar angkasa meledak berkeping-keping pada tanggal 28 Januari 1986, ada juga yang bersyukur itu pada suatu majalah mingguan yang terbti di Jakarta (15 Februari 1986). Tampaknya orang ini menuduh misi penerbangan ke antariksa yang dilaksanakan oleh Challenger sebagai suatu usaha yang memperlihatkan sikap menyaingi penguasa adikodrati. Dengan terjadinya musibah yang menewaskan tujuh orang itu, kesombongan amerika Serikat diharapkan akan dapat  dikurangi, sehingga mereka akan mengingatkannya pada keterbatasan manusia, sehingga mereka akan merindukan suatu penaung yang melampaui kekuasaan dan kemampuan manusia.

Sesungguhnya, pada satu segi misi tersebut memang dapat dituduh sebagai suatu pertunjukan dan perlombaan kekuasaan serta  keperkasaan. Tetapi, pada segi lain harus diakui bahwa Chalangger juga mengandung suatu misi kemanusiaan yang patut dihargai dan dijunjung tinggi. Salah satu contohnya adalah misi yang akan diemban  oleh seorang ahli dibidang rekayasa genetika, Dr. Pratiwi Pujilestari Soedarmono. Apabila misi ini akan dapat berjalan  dengan lancer dan sesuai dengan programnya, maka hal ini tentu merupakan suatu sumbangan yang besar bagi dunia ilmu pengetahuan, terutama dibidang kesehatan; yang manfaatnya dapat dirasakan dan dinikmati oleh banyak orang, termasuk para  agamawan.

Meskipun demikian, para ahli sains harus menyadari bahwa sekalipun kemajuan dan  perkembangan sains telah mencapai titik kulminasi, dengan bantuan sains manusia masih juga belum mampu mengatasi semua penyakit secara tuntas. Berkat kemajuan dan perkembangan sains, manusia memang dapat disembuhkan dari perlbagai penyakit. Tetapi, kesembuhan ini hanya bersifat sementara; tidak untuk selama-lamanya. Pada sisi lain, sains memang dapat mencegah kedatangan usia tua dengan melalui bedah plastic. Namun kesegaran yang diwujudkan itu sesungguhnya bersifat fana juga. Sains tidak dianggap menyegarkan seseorang sepanjang hidupnya, apalagi menghidupkan seseorang sepanjang masa.

Dengan demikian, tawaran yang diberikan oleh Sang Budha untuk bebas dari usia tua, penyakit, dan kematian secara mutlak dengan melaksanakan jalan mulia berunsur delapan, sehingga kini masih merupakan suatu tawaran yang tak tersaingi oleh kemajuan dan perkembangan sains yang paling canggih sekalipun. Rupanya metode yang dikembangkan oleh sains hanya sanggup berperan sebagia pemangkas ranting-ranting penderitaan; sedangkan jalan mulia berunsur delapan mampu berperan sebagai pencabut akar-akar penderitaan! Kenyataan inilah yang membuka mata seseorang  bahwa selama ini orang-orang ternyata hanya sering membicarakan apa yang dapat dilakukan oleh sains, tetapi tidak mengetahui apa yang tidak dapat dilakukan oleh sains.

Kendati demikian, agaknya kurang bijaksana jika umat Budha terlalu mendaifkan kemampuan sains. Dalam banyak hal, sains dapat mengukuhkan serta membuktikan kebenaran yang terdapat dalam agama budha didepan mata orang-orang awam, sehingga tidak satu orang pun yang dapat menyangkalnya apalagi menentangnya berdasarkan alasan-alasan ilmiah.

Sumbangsih yang cukup berharga ini berkaitan dengan paham geosentris yang diajarkan dan dikembangkan oleh suatu agama tertentu.. sebelum Siier Isaac Newton menemukan gaya berat (gravitasi) dan hokum gerak, teka-teki alam semesta masih belum terkuakkan secara jelas. Pada masai itu, pendapat bahwa planet-planet beredar mengelilingi matahari (paham heliosentris) dapat diterima (baca; belum berani dikemukakan secara terbuka) oleh banyak orang, baik para ilmuwan maupun agamawan. Usaha kearah pengungkapan fakta ini lebih cenderung dicekam sebagai suatu usaha yang mengrongrong kewibawaan ajaran suatu agama yang telah masyarakat, daripada dianggap sebagai suatu usaha  untuk menegakkan kebenaran.

Tetapi, setelah Siir Isaac Newton pada pertengahan abad ke-17 menentukan hokum gaya berat dan hukum gerak, terbukalah misteri tersebut, yang berarti gugurnya paham geosentris yang didasarkan pada penafsiran terhadap suatu kepercayaan bahwa Tuhan menciptakan bumi terlebih dahulu, baru kemudian menciptakan bulan, matahari, bintang dan lain-lain, sehingga bumi dieprcaya sebagai titik sentral penciptaan alam semesta. Dalam realitas, matahari adalah benda langit yang masanya jauh lebih besar daripada  bumi dan planet-planet lainnya. Oleh karena itu, matahari tentunya juga memiliki gaya tarik yang lebih besar. Inilah alasannya mengapa planet-planet harus mengelilingi matahari. Walaupun demikian, hal ini bukanlah berarti bahwa matahari adalah titik sentral alam semesta. Matahari hanyalah sebuah bintang biasa diantara bermilyar-milyar bintang yang ada digalaksi bimasakti yang diperkirakan berdiameter 100.000 tahun cahaya, atau 100.000 kali 9500 milyar km. dengan demikian, matahari apalagi bumi hanyalah setitik debu yang terdapat dalam alam semesta yang matranya tak terbayangkan ini.

Tampaknya, kepercayaan yang tidak realistis dan tidak etis ini, juga dapat dituding sebagai penyebab timbulnya kesombongan antroposentris yang beranggapan bahwa manusia adalah pemilik dan penguasa bintang, tanaman dan segala sesuatu yang berada dialam semesta ini sehingga banyak orang yang tidak segan-segan untuk melakukan segala sesuatu hanya demi menuruti kemauan dan kepentingannya sendiri. Dalam disertasinya, yang berjudul Nilai budaya timur dan barat, to thi anh mengutip pernyataan Bertrand Russol yang berbunyi sebagai beriktu:

Dengan ambisi primitive berupa serang militer dan pemerasan imperialis, teknik barat memperlakkan alam secara kasar. Ini sebagian disebabkan oleh kesalahan mendasar dalam teologi Kristen yang menganggap dunia sebagai milik khusus manusia. Diciptakan oleh Tuhan hanya untuk kebutuhan dan kesenangannya, dan lebih jauh lagi melihat segala ciptaan yang hidup tidak mempunyai jiwa sehingga memperlakukan mereka sebagai benda-benda tanpa jiwa. Kalau pada masa sekarang orang mudah berpaling pada konsepsi hindu dan budha, barangkali hal ini bisa ditafsirkan sebagai suatu usaha memperbaiki kesalahan semacam ini.

Dengan terbentangnya misteri alam semesta, berdasarkan metode-metode keilmuan oleh para ahli sains, agama budha justru kian semakin tenar sehingga para pengikutnya tidak perlu merasa canggung dalam menghadapi tantangan zaman. Secara langsung atau tidak langsung, fakta yang telah dibentang secara jelas dan gamblang oleh para ahli sains itu mengukuhkan kebenaran sabda sang budha yang termaktub dalam sutta pitaka, anggutara nikaya, ananda vangga; yang selama beberapa abad terkubur dibenak umat budha  awam sebagai suatu kebenaran yang hanya dapat dipercayai berdasarkan keyakinan. Dari sabda sang budha itu, dapat diambil pengertian bahwa bumi yang ditempati oleh umat manusia dan makhluk lain ini, bukanlah satu-satunya bumi yang ada dialam semesta, tetapi ada bermilyar-milyar jumlahnya. Oleh karena itu dapatlah diputuskan, secara agamis maupun ilmiah, bahwa kepercayaan yang menganggap bumi ini sebagai satu-satunya titik sentral penciptaan alam semesta adalah  suatu pendapat yang sangat dangkal, sempit dan picik. Dengan bantuan sains, semakin jelaslah bahwa kemampuan sang budha adalah memahami seluk beluk mikrokosmos maupun markoskosmos benar-benar sangat mengagumkan. Bahkan apa yang telah dimengerti dan telah dipahami oleh sang budha 25 abad yang sialm itu, sesungguhnya dapat dikatakan mendahului dan melampaui derap langkah kemajuan dan perkembangan sains. Walaupun beliau tidak memaparkan kebenaaran itu didepan mata orang-orang awam  sebagaimana yang dilakukan sains.

Masih berkisar pada seluk beluk dan misteri alam semesta, bangsa Sumeria yang dahulu mendiami daerah terjepit antara sungai Trigis yang Eufrat mempunyai suatu kepercayaan  bahwa pencipta alam semesta ini adalah Enlil, Dewa Udara yang digambarkan seperti superman.

Kepercayaan yang digoreskan dengan bentuk aksara paku pada tanah liat ini merupakan kepercayaan tentang asalmula alam semesta yang paling tua dalam catatan sejarah. Pada tahun 400 sebelum masehi, dalam kitabnya yang berjudul Timaeus filosof Yunani yang bernama plato menunjang kepercayaan ini dengan menyatkana bahwa setiap benda yang ada pasti ada yang menjadikannya. Oleh karena itu, pasti ada sesuatu yang menciptakan alam semesta ini. Kemudian, kira-kira empat abad berselang, ada kepercayaan menyodorkan keterangan yang lebih terinci tentang  penciptanya, waktu penciptaan benda-benda langit yang diciptakan dan jenis makhluk yang diciptakan.

Penjelasan-penjelasan spekulatif tentang asalmula lama semesta yang diberikan oleh berbagai kepercayaan ini hingga alasan ilmiah oleh para ahli sains dan cendikiawan modern karena kepercayaan-kepercayaan ini membayangkan pencipta alam semesta sebagai sebab pertama yang tidak diciptakan lagi, (causality) sebagai suatu dalil yang tak terbantahkan oleh siapapun juga. Agama Budha dan Sains