Metode Tafsir Mawdu’i/ Maudu’i

Setelah sebelumnya saya membahas tentang Fungsi Aqidah dalam Iman, Ilmu dan Amal, Teknik Analisis dalam Kajian Tafsir kali ini kita akan berbicara secara jelas mengenai tafsir maudu’i. Apakah saudara sekalian telah pernah mendengar tentang ini sebelumnya? Berikut ini penjabarannya. Moga bermanfaat.

Pengertian Tafsir Mawdu’i

Tafsir mawdu’i mempunyai dua macam bentuk kajian yang sama bertujuan menggali hukum-hukum yang terdapat dalam Alquran, mengetahui korelasi antara ayat dalam Alqur’an. Kedua bentuk yang dimaksud adalah: Pertama pembahasan mengenai suatu surah secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan khusus, menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang dikandungnya, sehingga surah itu tampak dalam bentuknya yang betul-betul utuh dan cermat.[1] Kedua menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surah yang sama-sama membicarakan suatu masalah tertentu, ayat tersebut disusun sedemikian rupa dan diletakkan di bawah satu tema bahasan dan selanjutnya ditafsirkan secara mawdu’i artinya menghimpun ayat-ayat Alqur’an yang mempunyai maksud yang sama dalam arti sama-sama membicarakan satu topik masalah dan menyusunnya berdasarkan kronologis serta sebab-sebab turunnya ayat tab kemudian penafsir memulai memberikan keterangan dan penjelasan serta dengan mengambil kesimpulan secara khusus, meneliti ayat-ayat tersebut dari seluruh segi dan melakukan analisis berdasarkan ilmu yang benar.

Metode Tafsir Mawdu’i/ Maudu’i

Metode tafsir mawdu’i (tematik) berupaya untuk memungkin seseorang untuk mengetahui inti masalah dari berbagai aspeknya, sehingga ia dapat mengemukakan argumen yang kuat dan jelas dan dapat memuaskan, dengan kata lain metode tafsir mawdu’i adalah bermaksud membahas satu masalah dan bekerja secara konsisten menurut kerangka bahasa yang telah ditetapkan dan menyingkap seluruh aspek-aspek masalah sehingga betul-betul kajian tuntas.

Sejarah Singkat Perkembangan Tafsir Mawdu’i

Dr. Ali al-Hayy dalam komentarnya menegaskan bahwa penafsiran Rasulullah telah memberikan pelajaran kepada para sahabat bahwa tindakan menghimpun sejumlah ayat mutasyabihat itu dapat memperjelas pokok masalah dan akan melewatkan keraguan dan kerancuan. Dengan pernyataan ini dapat dikatakan bahwa Ali al-Hayy sebenarnya telah menunjukkan benih-benih dan bibit pertama dari kajian tafsir mawdu’i. Bahwa kajian tafsir mawdu’i pada dasarnya, sudah ada dan tumbuh di lahan yang suci yang dizaman Rasulullah sendiri.

Selain dari pada itu kita juga dapat menyatakan bahwa semua penafsiran Alqur’an dengan Alqur’an sebenarnya di samping sebagai tafsir bil al-mas’ur adalah tafsir mawdu’i. Penafsiran Alqur’an dengan Alqur’an ini merupakan pendahuluan bagi munculnya metode tafsir mawdu’i.

Pada perkembangan berikutnya kita menemukan benih tafsir mawdu’i lebih banyak lagi yang bertebaran dalam kitab kitab tafsir hanya saja dalam bentuknya yang sederhana. Belum mengambil bentuk yang lebih tegas yang dapat dikatakan sebagai metode yang berdiri sendiri. Kadang-kadang dalam bentuk yang masih sangat ringkas, seperti yang terdapat dalam kitab tafsir karya al-Fahr al-Din al-Razi, tafsir Qurtubi, dan tafsir Ibn ‘Arabi.

Pada dasarnya metode tafsir mawdu’i sudah ada sejak dahulu dengan bentuknya mula-mula belum dimaksudkan sebagai metode yang memiliki karakter dan metodologis yang berdiri sendiri. Meskipun demikian hal tersebut paling tidak menunjukkan kepada kita bahwa corak metode tafsir ini bukanlah hal yang baru. Di dalam sejarah studi Alqur’an yang baru, bukan metodenya tetapi perhatian para ulama terhadap penggunaan metode tersebut, suatu metode yang dapat memberikan informasi dengan berbagai ilmu berbeda dengan metode tafsir lainnya, dan betul-betul sebagai metode tafsir yang otonom.

Cara Kerja Metode Tafsir Mawdu’i (Tematik)

Sistematika penyajian tafsir mawdu’i (tematik) adalah mufassir biasanya mengumpulkan seluruh kata-kata kunci di dalam Alquran yang dipandang terkait dengan satu tema kajian yang dipilih. Dari segi ayat yang dikaji cakupannya bersifat spesifik dan mengerucut. Itu sebabnya model penyajian tematik yang sebenarnya lebih bersifat teknis mempunyai pengaruh pada proses penafsiran yang bersifat metodologis bila dibandingkan dengan metode penyajian runtut, sistematika, penjaian metode mawdu’i ini mempunyai kelebihan-kelebihan. Salah satu kelebihannya adalah dapat membentuk arah penafsiran menjadi fokus dan memungkinkan adanya tafsir silang antara ayat secara komprehensif dan holistik.[2]

Literatur tafsir di Indonesia dalam dasawarsa 1990-an banyak menggunakan model mawdu’i (tematik) yang dipilih dari keseluruhan literatur  tafsir yang menggunakan model penyajian tematik dapat digolongkan menjadi dua bagian pokok, yaitu penyajian tematik klasik dan penyajian tematik modern. Tematik klasik adalah model sistematika penyajian tafsir yang mengambil satu surah tertentu dengan topik sebagaimana yang tercantum dalam surah yang dikaji itu atau berkonsentrasi pada ayat tertentu dan juz tertentu. Sedangkan tematik modern adalah model sistematika penyajian karya tafsir yang mengacu pada tema tertentu yang ditentukan sendiri oleh penafsirnya. Di samping bagian pokok tersebut juga dapat dirinci menjadi dua kategori yaitu (1) Tematik singular dan (2) tematik plural. Tematik singular adalah model penyajian tematik dimana dalam satu karya tafsir hanya satu tema pokok, seperti tema kufur, kebebasan manusia, cinta dst. Sedangkan tematik plural adalah model penyajian dalam satu karya tafsir terdapat banyak tema penting yang menjadi objek kajian.[3]

Selanjutnya secara rinci cara kerja metode tafsir maudhuy dapat dilihat sebagai berikut :

  1. Memilih atau menetapkan masalah Alquran yang akan dikaji secara maudhuy (tematik).
  2. Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang ditetapkan ayat makkiyah dan madaniyah.
  3. Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologi masa turunnya disertai pengetahuan mengenai latar belakang turunnya ayat atau asbabunnuzul.
  4. Mengetahui korelasi (munasabah) ayat-ayat tersebut dalam masing-masing surahnya.
  5. Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistimatis, sempurna dan utuh.
  6. Melengkapi, pembahasan dan uraian dengan hadist bila di pandang perlu.
  7. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian yang serupa, mengkompromikan antara pengertian yang Am dan Khas, antara muthlaq yang mukayyad, menjelaskan ayat-ayat yang kelihatan kontradiktif, menjelaskan ayat-ayat nasikh dan mansukh, sehingga semua ayat-ayat tersebut bertemu pada satu muara tanpa ada perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksa, sebagian ayat kepada makna-makna yang sebenarnya yang tepat.[4]

Contoh Kasus Tafsir Maudhuy (tematik)

Memelihara anak yatim menurut Alqur’an, Alqur’an mempunyai perhatian khusus terhadap anak yatim dikarenakan ia masih kecil dan tidak mampu mewujudkan kemaslahatan yang akan menjamin masa depannya. Ummat Islam khawatirakan munculnya malapetaka akibat tidak terdidiknya anak yatim tersebut karena tiadanya sang ayah yang bertanggung jawab memelihara, mendidik, dan mengayomi mereka.

Perhatian Alqur’an terhadap anak yatim telah muncul sejak masa awal turunnya waktu, sampai pada masa akhir di saat-saat wahyu tersebut sudah lengkap dan sempurna.

1. Periode Mekah

Pembicaraan Alqur’an terhadap anak yatim pada periode mekah terdapat empat ayat sebagai berikut :

a. Surah al-Isra’ ayat 34

Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa … (QS. al-Isra’: 34)

b. Al-Fajr ayat 17

Sekali-kali tidak (demikian), Sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim (QS. al-Fajr: 17)

c. Al-Balad ayat 14-15

Atau memberi makan pada hari kelaparan,(kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat. (QS. al-Fajr: 14-15)

d. Al-Duha’ ayat 6 dan 9

Bukankah dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu dia melindungimu? (QS. al-Duha’: 6)

Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. (QS. al-Duha’: 9)

Berdasarkan keterangan ayat-ayat di atas dapat dipahami bahwa pada periode mekah ini betapa besar perhatian Alqur’an terhadap anak yatim dan penekanannya pada pemeliharaan diri anak yatim itu sendiri ketimbang pemeliharaan harta mereka.

Pemeliharaan diri anak yatim. Perhatian Alqur’an terhadap pemeliharaan dan pengayoman tersebut telah muncul pada ayat-ayat makkiyah setelah wahyu terhenti beberapa lama sehingga membuat Rasulullah saw, gelisah menunggu, sampai-sampai timbul perasaan bahwa Allah telah meninggalkan dan membenci dirinya, maka turunlah wahyu yang menegaskan bahwa Allah tetap memelihara dan melindungi Rasul. Allah mengingatkan kepada Nabi bahwa betapa dahulu sangat memperhatikan Nabi sebelum masa keNabian. Di mana Nabi waktu itu adalah seorang anak yatim yang sangat mendambarkan belaian kasih sayang dan perlindungan serta pengayoman (QS. al-Duha’ [93]: 6). Oleh sebab itu sejak dini Rasulullah Saw menyadari betapa keyatiman yang pernah beliau rasakan pahit getirnya, itu harus menjadi inspirator baginya untuk senantiasa berlaku penuh kasih sayang terhadap anak yatim, mengayomi, melindungi dan memuliakannya.

Selanjutnya Allah meminta agar Nabi mensyukuri nikmat yang telah diberikan kepadanya, Nabi sebagai anak yatim mendapat perlindungan dari Allah. Realisasi dari syukur nikmat ini adalah agar Nabi mengasihi dan menyayangi anak yatim sebagaimana dahulu Nabi sebagai anak yatim dikasihi oleh Allah (QS. al-Duha’ [93]: 9).

Demikianlah seolah-olah Allah berkata kepada Nabi “kamu harus memenuhi dan memberikan hak anak yatim sebagaimana dahulu Aku lakukan perlindungan terhadap anak yatim ini muncul kembali ketika Alqur’an mencela sifat dan tindakan orang-orang kafir Mekah di mana mereka tidak memuliakan anak yatim (QS. al-Fajr [89]: 17). Padahal Allah memuliakan dengan harta yang melimpah ruah, akan tetapi tidak menunaikan kewajibannya yang berkenaan dengan harta itu berupa memuliakan anak yatim dengan memberikan sebagian harta tersebut kepadanya.[5]

Tindakan memuliakan anak yatim tersebut adalah diperintahkan oleh Allah Swt. Berdasarkan keterangan di atas, tindakan memuliakan anak yatim tersebut adalah meliputi memuliakannya di dalam pergaulan, bersikap kasih sayang, serta memberikan santunan material atau sedekah di saat ia memang membutuhkan pertolongan. Allah berfirman dalam surah al-Balad ayat 11-15:

Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, Atau memberi makan pada hari kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat (QS. al-Balad [90]: 11-15).

Ungkapan za maqrabah dalam ayat tersebut menunjukkan bahwa bersedekah kepada kerabat itu lebih utama ketimbang kepada orang lain atau kepada orang yang tidak ada hubungan kerabat (keluarga). Oleh karenanya di dalam ayat tersebut bersedekah kepada kaum kerabat didahulukan sebelum kepada orang miskin.

Perihal pemeliharaan harta anak yatim. Pada periode mekah ini pesan Alqur’an yang berkaitan dengan perihal hak anak yatim adalah larangan mendekati harta anak yatim, juga termasuk melakukan tindakan kejahatan di dalam harta tersebut baik secara terang-terangan maupun secara terselubung. Perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yatim di sisi Allah sama nilainya dengan perbuatan keji, sedangkan perbuatan keji itu adalah dilarang.

1. Periode Madinah

Pada periode Madinah Alqur’an turun dengan ayat-ayatnya untuk memberikan berbagai pemecahan dan jawaban terhadap persoalan anak yatim dan cara memelihara diri dan hartanya. Banyaknya ayat yang turun untuk mengatur tata cara memperlakukan anak yang tersebut di dalam pergaulan. Ayat-ayat tersebut memberikan tekanan yang bermacam-macam, antara lain :

a. Khusus mengenai harta mereka, seperti dalam surah al-An’am ayat 152,

Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.

Surat al-Nisa ayat 2 :

Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar. (al-Nisa ayat 6)

Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyal