Metode Tafsir Bil Ma’tsur

Sebelumnya saya telah menjelaskan tentang Metode tafsir maudu’i dengan sangat lengkap dan jelas. Saya juga telah pernah menulis tentang Teknik Analisis dalam Kajian Tafsir. Nah, kali ini saya akan melanjutkan pembahasan mengenai tafsir ini dengan menulis tentang tafsir bil ma’tsur. Semoga bermanfaat.

Pengertian Tafsir bil Ma’tsur

Tafsir bii Ma’tsur ialah tafsir yang berdasarkan kutipan-kutipan yang sahih menurut urutan yang telah disebutkan dalam syarat-syarat mufassir. Yaitu menafsirkan Qur’an dengan Qur’an, atau dengan as-Sunnah karena ia berfungsi menjelaskan Kitabullah, atau dengan riwayat-riwayat yang diterima dari sahabat sebab mereka lebih mengetahui tentang Kitabullah, atau dengan riwayat-riwayat dari tabi’in besar sebab mereka telah menerimanya dari para sahabat.[1]

Metode Tafsir Bil Ma’tsur

Definisi diatas menunjukkan bahwa tafsir bil ma’tsur penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, bayan al-Qur’an dengan Sunnah Nabi, dan penafsiran atsar sahabat serta tabi’in. Para pakar al-Qur’an tidak menyepakati corak penafsiran tabi’in sebagian memasukkannya tafsir bil ma’tsur, dan sebagian lainnya memasukkannya dalam kategori tafsir bil ra’yi. Shubhi shaleh memasukkan hasil-hasil interpretasi tabi’in dalam kategori tafsir bil ma’tsur.[2] Pendapat lain menyatakan bahwa riwayat yang bersumber dari penjelasan Tabi’in tidak termasuk dalam kategori tafsir bil ma’tsur melainkan termasuk kategori tafsir bil ra’yi.[3]

Dalam hal ini, penulis mencoba memberikan penegasan bahwa, inti tafsir bil ma’tsur adalah pada riwayat, sehingga penjelasan ayat-ayat al-Qur’an dengan ayat atau hadis Nabi tidak secara otomatis  dinamai tafsir bil ma’tsur jika hasil-hasil interpretasi sahabat dan tabi’in tidak diikutsertakan dalam menginterpretasi al-Qur’an. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa tafsir bil ma’tsur adalah penjelasan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan riwayat yang bersumber dari Nabi, apakah penjelasan Nabi itu berdasarkan ayat atau hadis-hadis beliau. Demikian pula hasil-hasil interpretasi yang bersumber dari sahabat dan tabi’in.

Jenis Tafsir bil Ma’tsur

Tafsir bil Ma’tsur secara harfiah berarti penafsiran dengan menggunakan riwayat sebagai sumber pokoknya. Karena itu, tafsir ini dinamakan juga dengan tafsir al-riwayah (tafsir dengan riwayat) atau tafsir naqli.[4] Penafsiran dalam corak ini dapat dibagi menjadi empat bentuk, yaitu[5] :

a. Penafsiran ayat al-Qur’an dengan ayat lain

Ayat-ayat al-Quran, menurut para ahli tafsir, saling menafsirkan antar sesamanya. Penafsiran ayat lainnya juga bermacam-macam, yaitu:

  1. Ayat atau ayat-ayat yang lain menjaburkan apa yang diungkapkan pada ayat tertentu. Misalnya kata-kata al-Muttaqin (orang-orang yang bertaqwa) dalam QS. Ayat: 1 surah al-Baqarah, dijabarkan ayat-ayat sesudahnya  (ayat-ayat 3-5) yang menyatakan: “yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang Telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang Telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka Itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.”
  2. Ada informasi tertentu, misalnya tentang kisah Nabi Musa, pada surah tertentu diungkapkan secara singkat, sementara pada surah lain secara panjang lebar. Dalam hal ini ayat-ayat yang panjang lebar menafsirkan ayat-ayat yang mengandung informasi yang lebih ringkas.[6]
  3. Ayat-ayat yang mujmal ditafsirkan oleh ayat-ayat mubayyan, ayat-ayat yang muthlaq ditafsirkan oleh ayat-ayat muqayyad, ayat-ayat yang ‘am dituliskan oleh ayat-ayat yang khas. Ringkasnya, ayat-ayat yang mengandung pengertian khusus dan rinci.
  4. Informasi yang terkandung dalam satu ayat kadang-kadang terlihat berbeda dengan informasi yang terdapat pada ayat-ayat lain. Penafsiran ayat-ayat itu dilakukan dengan memkompromikan pengertian-pengertian tersebut.

Sebagai contoh dari penafsiran al-Qur’an dengan ayat Qur’an, firman Allah pada QS. Ad-Dhukhan, ayat: 3,

kata “lailah al-mubarakah” dalam ayat ini ditafsirkan sebagai lailatul Qadr,[7] sebagaimana dalam Firman-Nya pada QS. al-Qadr, ayat: 1,

b. Penafsiran ayat al-Qur’an dengan hadits Nabi saw

Disamping al-Qur’an, otoritas dalam penafsiran al-Qur’an terletak ditangan Nabi Muhammad Saw. Al-Qur’an sendiri menyebutkan bahwa Nabi Muhammad Saw diutus untuk menjelaskan wahyu al-Quran yang diturunkan kepadanya. Sebagaimana diungkapkan dalam hadis dari ‘Aisyah, “Khuluquhu al-Qur’an” (akhlak Nabi itu [sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam] al-Qur’an). Karena itu, hadis Nabi yang terdiri dari perkataan, perbuatan dan ketetapannya dijadikan para mufassir sebagai bahan penting untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.

Sebagai contoh dari penafsiran al-Qur’an dengan hadis Nabi, penafsiran shalat wustha sebagai shalat ashar,” sebagaimana Firman Allah pada QS. al-Baqarah, ayat: 238,

Telah diriwayatkan oleh Muslim, bahwa Nabi berkata pada waktu perang Khandaq:

Kemudian Nabi shalat antara magrib dan isya. Diriwayatkan pula oleh Bukhari, bahwa Nabi pernah berkata pada perang Khandaq:

c. Penafsiran ayat al-Qur’an dengan pendapat para sahabat

Para ulama berpendapat bahwa setelah Nabi Saw wafat, orang yang paling memahami al-Qur’an adalah generasi sahabat, karena mereka hidup pada masa al-Qur’an masing diturunkan, bergaul dengan Nabi yang paling paham dengan isi al-Qur’an, serta mengetahui konteks sosial ketika al-Qur’an turun. Karena itu pendapat-pendapat sahabat dijadikan oleh para ulama tafsir sebagai bahan penting dalam menafsirkan al-Qur’an.[8]

Keterlibatan sahabat dalam penafsiran al-Quran dikarenakan tidak semua ayat ditafsirkan oleh Nabi, sementara persoalan-persoalan umat yang muncul pasca Rasulullah sudah lebih kompleks dibandingkan masa Nabi. Persoalan-persoalan yang dimaksud harus diselesaikan dengan menjadikan al-Qur’an dan hadis Nabi sebagai acuan dasarnya. Sahabat yang dikenal sebagai mufassir agar terbatas pada sahabat-sahabat senior, seperti Abu bakar al-Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Ubay bin ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asyary dan Abdullah bin Zubair.[9] Jumlah sahabat yang dikenal sebagai mufassir memang agak terbatas, terutama jika dilihat dari hasil-hasil penafsiran mereka yang sempat terekam dalam kitab-kitab tafsir bil ma’tsur. Pada sisi lain sahabat juga agak beragam dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.

Ditemui dari corak, motif dan pendekatan yang digunakan, penafsiran sahabat juga beragam, karena itu dalam tafsir sahabat dikenal pula motif, seperti penafsiran yang berbentuk pembetulan (tashhih) atas kekeliruan umat memahami makna ayat-ayat tertentu, misalnya koreksi Abu Ayyub atas kekeliruan pejuang Islam  yang menganggap tindakan menerjang benteng pertahanan musuh dalam perang di Konstantinopel sebagian perbuatan: tahlukat lalu Ayyub menjelaskan bahwa maksud ayat tersebut adalah sikap yang hanya tinggal mengurusi keluarga dan harta benda dan meninggalkan jihad.[10]

Perlu dipahami bersama bahwa, para sahabat dalam memahami al-Qur’an selalu menjadikan penjelasan Nabi sebagai rujukan, karena itu, penafsiran terhadap al-Qur’an barulah dilakukan para sahabat ketika mereka gagal menemukan penjelasan Rasulullah. Ketika sahabat melakukan penafsiran, mereka banyak merujuk kepada penggunaan bahasa dan syair-syair Arab. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa Umar bi Khattab pernah bertanya tentang arti lafadz takhowwuf dalam QS. al-Nahl: 47, seorang Arab dari kabilah Huzail menjelaskan bahwa artinya adalah pengurangan. Arti ini berdasarkan penggunaan bahasa yang dibuktikan dengan syair pra Islam. Umar bin Khattab ketika itu puas dengan keterangan tersebut dan menganjurkan untuk mempelajari syair tersebut rangka memahami al-Quran.[11]

Keterangan tersebut menunjukkan bahwa sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an disamping menggunakan al-Qur’an dan hadits Nabi sebagai acuan dasarnya juga menggunakan sumber-sumber lain, seperti :

  1. Pengetahuan bahasa
  2. Pengetahuan tentang adaptasi kebiasaan dan kultur bangsa Arab
  3. Pengetahuan tentang fenomena sosial terutama orang-orang Yahudi pada saat turunnya al-Qur’an
  4. Kekuatan paham dan kecerdasan daya nalur mereka.[12]

d. Penafsiran ayat al-Qur’an dengan pendapat para Tabi’in

Setelah generasi sahabat, orang yang paling mengetahui kandungan al Qur’an adalah generasi tabi’in, karena mereka bergaul dengan para sahabat. Pendapat-pendapat mereka dipandang sangat membantu generasi selanjutnya dalam memahami al-Qur’an.

Memperhatikan sumber-sumber tafsir pada masa tabi’in dapat dikatakan bahwa kegiatan penafsiran pada masa ini, tampaknya dimasudkan untuk melengkapi penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang belum ditafsirkan oleh Nabi dan sahabat. Hal ini menunjukkan besarnya perhatian umat Islam untuk mengkaji makna dan kandungan al-Qur’an.

Perkembangan metode tafsir ini dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu periode lisan, ketika penafsiran dari Nabi Saw dan para sahabat disebarluaskan secara periwayatan, ketika riwayat-riwayat sebelumnya tersebar secara lisan itu mulai dibuktikan.”

Perbedaan utama antara penafsiran yang dilakukan oleh sahabat dengan penafsiran pada masa ini adalah pada sumbernya yang lebih luas dan problema yang dihadapi juga semakin kompleks. Menurut al-Zahabi, bahwa salah satu perbedaan tafsir pada zaman tabi’in adalah tafsir pada zaman tabi’in lebih banyak memuat cerita israiliyat.[13]

Perbedaan pendapat dikalangan mufassir terkadang terjadi pada hal-hal yang tidak berguna dan tidak berguna dan tidak perlu diketahui, yaitu tindakan sebagian mufassir yang menukil cerita-cerita israiliyat dari Ahli Kitab.[14] Misalnya perbedaan mereka tentang nama-nama penghuni gua, warna anjing dan jumlah mereka. Padahal mengenai hal ini Allah telah berfirman pada QS. Al-Kahfi ayat: 22.

“Katakanlah: ‘Tuhanku lebih mengetahui jumlah: mereka, tidak ada orang yang mengetahui (bilangan) mereka kecuali sedikit.”

Demikian pula, seperti perselisihan mereka tentang ukuran kapal Nuh dan jenis kayunya, tentang nama anak yang dibunuh Khidir, nama-nama burung yang dihidupkan Allah bagi Ibrahim, jenis kayu tongkat Musa dan lain sebagainya. Hal-hal seperti hanya diketahui melalui penukilan. Karena itu apa yang dinukil dengan riwayat sahih dari Nabi boleh diterima, dan jika tidak ada nukilan sahih hendaknya kita diam (tawaqquf) meskipun hati ini merasa cenderung untuk menerima apa yang dinukil dari pada sahabat, karena penukilan mereka dari Ahli Kitab relatif lebih sedikit dibanding penukilan tabi’in.[15]

Adapun golongan ahli tafsir dari kalangan tabi’in, diantaranya :

  1. Golongan tabi’in dari Mekah, seperti Mujahid, ‘Atha bin Abi Ribah’, Ukrimah mawla’ Ibni Abbas, Said bin Jabir.
  2. Golongan tabi’in dari Kufah, seperti Masruq yakni murid Ibnu Mas’ud.
  3. Golongan tabi’in dari Bashrah, seperti Qatadah.[16]

Ahli tafsir yang paling populer dikalangan tabi’in ialah Mujtahid yang menjadi murid Ibnu Abbas. Salah satu contoh penafsirannya yang menunjukkan keterlibatan nalarnya secara mendalam adalah penafsiran kata ????? dalam QS. al-Qiyamah, ayat; 23, dengan menunggu pahala dari Tuhannya, karena makhluk tidak dapat melihat Tuhannya.[17]

Diantara kitab-kitab tafsir al-Ma’tsur ualah :

  1. Tafsir Ibnu Abbas
  2. Tafsir Ibnu Uyaniyah
  3. Tafsir Ibnu Abi Hatim
  4. Tafsir Abu Syaikh Ibnu Hibban
  5. Tafsir Ibnu Athiyah
  6. Bahrul Ulum, susunan Abu Laits as-Samarqandy
  7. Al-Kayf …. wal Bayan an Tafsril Quran, disusun oleh Abu Ishaq
  8. Jali’ul Bayan, disusun oleh Ibnu Jarit Ath-Thabary
  9. Tafsir Ibnu Abi Syaibah
  10. Ma’alimut Tanzil, disusun oleh Al-Baghawi
  11. Tafsir Al-Qur’anul Adhim, disusun oleh Al-Hafidh Ibnu Katsir
  12. Al-Jawahirul Hisan, disusun oleh Ars-Tsa’laby
  13. Ad-Durrul Mantsur Fittafsiri bil Ma’tsur, disusun oleh As-Suyuthi
  14. Fathul Qadir, disusun oleh Asy-Syaukani
  15. Tafsir Asbabbun Nuzul, disusun oleh Al-Wahidy
  16. Tafsir An-Nasikh wal Mansukh, disusun oleh Abu Ja’far An-Nuhas.[18]

[1] Manna Khalil al-Qatthan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an (Cet. VIII; Jakarta: PT. Pustaka Litera Antar Nusantara, 2004), h. 482.

[2] Shubhi Shaleh, Mabahits fi’ Ulumul Qur’an (Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayin, 1997), h. 291

[3] Mahmud Basuni Faudah, al-Tafsir wa Manahijuh, diterjemahkan oleh Mochtar Zoeni dengan judul Tafsir-Tafsir al-Qur’an (Bandung: Pustaka Salman, 1987), h. 24.

[4] Muhammad al-Zafzaf, al-Ta’rif bi’ al-Quran al-Hadits (Cet. I; Kairo: Dar al-Ulum, t.th), h. 164.

[5] Dr. Azyumardi Asra, Sejarah dan Ulum al-Quran (Cet. III; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. 174.

[6] Lihat Khalid Abdul Rahman al-Akk, Ushul al-Tafsir wa Qawa’iduhu (Damaskus: Dar al-Nakha’is, 1986), h. 115.

[7] Muhammad Ali as-Shabuni, al-Tibyan fi  Ulum al-Quran (Cet. I; Mekkah: Alim al-Kutub, 1985), h. 68.

[8] Dr. Azyumardi Asra, op. cit., h. 176.

[9] Lihat Jalaluddin al-Sayuythy, al-Itqhan fi ‘Ulum al-Qur’an, Juz II (Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi, 1951), h. 187.

[10] Ibid., h. 228.

[11] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, (Bandung: Mizan, 1992), h. 83-84.

[12] Lihat Muh. Husayn al-Zahaby, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I (Mesir: Dar al-Kutub al-Hadisah, 1961), h. 153. Lihat pula Abdul Djalal HA, Urgensi Tafsir Maudhu’i  pada Masa Kini (Jakarta: Kalam Mulia, 1990), h. 25.

[13] Lihat al-Zahabi, op. cit., h. 191.

[14] Manna Khalil Qatthan, op. cit., h. 485.

[15] Dalam sebuah hadis ditegaskan, “Jika Ahli Kitab bercerita kepadamu, janganlah kamu benarkan dan jangan pula kamu dustakan …. “

[16] Muhammad al-Zafzaf, op. cit., h. 166.

[17] Lihat Jahir al-Thabari, Tafsir al-Thabari, juz XXIX (Mesir: Mustafa al-talab; 1955), h. 120.

[18] Drs. Manshuri Sirojuddin Iqbal. Drs. A. Fudlah. Pengantar Ilmu Tafsir (Cet. I; Bandung: Angkasa, 1993), h. 118-119.