Undang-Undang tentang Perkawinan

Hukum perkawinan termasuk hukum keluarga. Menurut Mohammad Daud Ali, hukum keluarga dalam masyarakat Islam kontemporer menarik untuk dikaji karena dalam hukum keluarga itulah terdapat jiwa wahyu Illahi dan Sunnah Rasulullah, sedang pada hukum lain, jiwa itu telah hilang karena berbagai sebab, di antaranya karena penjajahan Barat. Menurut Anderson, hukum perkawinan dan perceraian Islam menarik untuk dikaji karena:

  1. Hukum keluarga selalu dianggap sebagai inti Syari’ah;
  2. Selama berabad-abad diakui sebagai landasan pembentukan masyarakat Muslim;
  3. Secara garis besar dapat dikatakan masih berlaku penuh; dan
  4. Hukum keluarga adalah bidang yang sering menjadi sasaran perdebatan antara kekuatan-kekuatan konservatif dan kekuatan-kekuatan progresif di dunia Islam.

Di Indonesia pada tahun 1930-an pemerintah kolonial Belanda sudah pernah merencanakan peraturan tentang nikah bercatat, tetapi gagal karena gencarnya protes yang dilancarkan kalangan Islam. Rancangan Undang-Undang tentang perkawinan (yang menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan) disampaikan oleh presiden kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dengan Surat Nomor R02/P.U./VII/1973 tanggal 31 Juli 1973. Bersamaan dengan penyampaian Rancangan Undang-Undang tentang Perkawinan itu pemerintah menyatakan menarik dua RUU yang telah disampaikan kepada DPR-GR, yaitu:

  1. Rancangan Undang-Undang tentang Peraturan Perkawinan Umat Islam sebagaimana disampaikan dengan amanat Presiden Nomor R02/PRES/5/1967 tanggal 22 Mei 1967.
  2. Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Perkawinan sebagaimana disampaikan dengan amanat Presiden Nomor R010/P.U./HK/9/1968 tanggal 7 September 1968.

Kedua rancangan undang-undang tersebut kandas. Menurut Endang Saifuddin Anshari, penolakan umat Islam terhadap rancangan undang-undang perkawinan nasional dan penolakan rancangan undang-undang perkawinan Islam adalah akibat dari ‘luka’ nasional yang telah lama sebagai akibat persaingan antara aspirasi ‘Islam’ dan ‘non-Islam’

Mengenai usaha penyusunan undang-undang perkawinan, dalam keterangan pemerintah dalam pembicaraan tingkat I mengenai rancangan undang-undang tentang perkawinan yang disampaikan oleh menteri Kehakiman Oemar Seno Adji dinyatakan bahwa pada tahun 1950 pemerintah telah menugaskan kepada panitia penyelidik peraturan hukum perkawinan, talak, dan rujuk untuk meninjau segala peraturan mengenai perkawinan dan menyusun RUU. Panitia ini menyelesaikan dua buah RUU, yaitu rancangan undang-undang perkawinan peraturan umum yang selesai pada tahun 1954. Pasal 1 ayat (3) ketetapan MPRS Nomor XXVIII/MPRS/1966 telah menyatakan perlu segera diadakannya hukum nasional meninjau masalah undang-undang perkawinan. Menurut Pemerintah, rancangan undang-undang tentang perkawinan itu dibuat dalam rangka menuju unifikasi, uniformitas, dan homogenitas hukum dan merupakan pelaksanaan undang-undang dasar 1945.

Rancangan undang-undang perkawinan ini mendapat sorotan luas dari masyarakat. Juga, RUU ini mendapat tantangan luas di kalangan umat Islam karena mengandung ketentuan-ketentuan  yang bertentangan dengan hukum Islam. Rancangan undang-undang perkawinan tersebut mendapat protes dari kalangan Islam sehingga rencana tersebut diubah sedemikian rupa sehingga semua tuntutan kalangan Islam dipenuhi.

Penentangan terhadap rancangan undang-undang perkawinan berasal, baik dari kaum tradisional maupun reformis. Perbedaan pandangan dalam masalah fiqhiyah (khilafiyah) tidak tampak dalam hal ini. Jika dilihat dari kekuatan politik di DPR, pihak yang menentang rancangan undang-undang perkawinan dapat dipastikan akan kalah karena jumlah mereka jauh lebih sedikit dibanding dengan yang mendukung. Akan tetapi, penampilan formal suatu kekuatan politik belum tentu benar-benar menggambarkan aspirasi rakyat secara keseluruh-apalagi tampilnya kekuatan politik tertentu lebih disebabkan oleh rekayasa. Karena itu, pada akhirnya hal-hal yang dianggap bertentangan dengan kesadaran rakyat akan ditentang secara langsung oleh rakyat, terlepas dari-apalagi kalau berkaitan dengan-upaya-upaya yang dilakukan oleh para wakilnya di lembaga perwakilan rakyat. Hal ini tampak, misalnya, ketika pimpinan pondok pesantren terkemuka di Jakarta, KH Abdullah Syafei mengundang alim ulama se-Jawa, dan berbaiat menentang rancangan undang-undang perkawinan, dan ketika pada hari Kamis tanggal 27 September 1973, bertepatan dengan hari terakhir bulan Sya’ban (sehingga disebut ‘peristiwa akhir sya’ban), terjadi demonstrasi di DPR menentang rancangan undang-undang perkawinan yang dilakukan oleh pelajar Islam yang jumlahnya ratusan sehingga menteri agama Mukti Ali terpaksa menghentikan pidatonya. Ini adalah kejadian pertama dalam sejarah DPR di Indonesia. Protes umat Islam merupakan faktor utama lahirnya keputusan untuk mengubah rancangan undang-undang perkawinan.

Pemandangan umum atas rancangan undang-undang perkawinan dari empat fraksi disampaikan oleh sembilan orang, yaitu satu orang dari fraksi angkatan bersenjata  republik Indonesia (F. ABRI), yaitu R. Tubagus Hamzah yang menjadi pembicara urutan pertama, satu orang dari fraksi Partai Demokrasi Indonesia (FPDI) yang semula tercatat atas nama Ny. Sugiarti  Salman, namun kemudian diganti oleh Pamudji yang menjadi pembicara urutan kedua; dua orang fraksi Karya pembangunan (FKP), masing-masing Ny. Nelly Adam Malik yang menjadi pembicara pada urutan ketiga dan KH. Kodratullah yang menjadi pembicara urutan terakhir; lima orang dari fraksi persatuan pembangunan (FPP), masing-masing Ischak Moro yang menjadi pembicara pada urutan keempat, H. A. Balja Umar yang menjadi pembicara pada urutan kelima, Ny H. Asmah Sjahroni yang menjadi pembicara pada urutan keenam, Tengku H. Moh Saleh yang menjadi pembicara pada urutan ketujuh, dan H. M. Amin Iskandar yang menjadi pembicara pada urutan kedelapan. Isi pemandangan umum fraksi-fraksi tersebut pada pokoknya adalah sebagai berikut:

Dalam pemandangan Umum Fraksi ABRI yang disampaikan oleh Tubagus Hamzah digambarkan perhatian masyarakat terhadap pembahasan rancangan undang-undang perkawinan “ruang sidang yang luas ini penuh sesak sewaktu pemerintah memberikan penjelasan atas RUU ini pada tanggal 30 Agustus 1973 yang baru lalu. Juga, pada hari sekarang gedung dewan ini mendapat kunjungan masyarakat dalam jumlah yang memuaskan. Dalam pendapat akhirnya yang dibaakan oleh M. J. Irawan, fraksi ABRI menggambarkan pembahasan rancangan undang-undang perkawinan sebagai ‘melalui garis-garis penuh liku dengan ibarat masuk keluar semak penuh duri dan kadang-kadang kita ditempatkan dalam keadaan seolah-olah berada di hutan belukar tanpa kemampuan melihat pohon-pohonnya yang berada di dalamnya.”

Salah satu ketentuan yang kontroversial dalam rancangan undang-undang perkawinan adalah mengenai perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama. Mengenai hal ini, fraksi ABRI menyatakan, perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama perlu ditampung dan perlu diatur dalam undang-undang.

Pemandangan umum Fraksi Partai Demokrasi Indonesia dibacakan oleh Pamudji. Dalam pemandangan umum itu FPDI menyatakan belum akan memasuki materi sebagaimana biasanya dalam setiap pemberian pemandangan umum, dan menyatakan pendapat dan pendirian fraksinya secara konkret akan disampaikan pada tahap-tahap berikutnya.

Pemandangan umum Fraksi Karya Pembangunan yang disampaikan oleh pembicara pertamanya, Nelly Adam Malik, yang berbicara pada urutan ketiga, memuji-muji rancangan undang-undang tentang perkawinan sebagai melindungi hak-hak asasi dan nasib kaum wanita dan anak-anak. Pemandangan umum Fraksi Karya Pembangunan yang dibacakan oleh pembicara keduanya K.H Kodratullah, yang berbicara pada urutan terakhir menyatakan :FKP menganggap rancangan undang-undang tentang perkawinan sebagai prestasi yang pantas diuji meskipun masih meminta penjelasan pemerintah tentang beberapa materi dalam RUU, mengenai perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama yang diatur dalam rancangan undang-undang perkawinan, FKP dalam pemandangan umumnya yang disampaikan oleh KH. Kodratullah menyatakan; mengenai pasal 11, jika ketentuan tentang perkawinan beda agama tidak dimaksudkan sebagai anjuran untuk berpindah agama atau anjuran untuk kawin dengan orang yang berbeda agama, FKP dapat menyetujuinya.

Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP) paling banyak menyoroti rancangan undang-undang perkawinan dalam hal ketidaksesuaiannya dengan hukum Islam. Dalam pemandangan umumnya yang disampaikan oleh H. M. Amin Iskandar, FPP menyatakan bahwa apa yang dinyatakannya:

Terdorong oleh hasrat yang menyala untuk menggambarkan perasaan dan kesadaran hukum dari sebagian besar masyarakat Indonesia. Mudah-mudahan saudara-saudara yang terhormat tidak bersikap seperti seseorang yang apabila mendengar kata-kata hukum Islam ia kemudian apriori tidak bersedia membahas masalah yang bertalian dengan ini. Sebaliknya, ia diam dalam seribu bahasa apabila ada orang yang memasukkan ketentuan-ketentuan keagamaan di luar Islam ke dalam sesuatu perundang-undangan. Bukankah tidak dimungkinkannya perceraian bersumber  kepada hukum gereja.

Dalam pemandangan umumnya yang disampaikan oleh pembicara pertamanya Ischak Moro dinyatakan; sayang sekali rancangan undang-undang tentang perkawinan ini mengandung banyak hal yang tidak berkenan di hati rakyat dan bahkan bertentangan dengan rasa kesadaran hukum rakyat sehingga tidak mengherankan jika mendapat sorotan dari seluruh pelosok nusantara karena RUU ini langsung mengatur tata kehidupan berkeluarga dalam hidup masyarakat. Ischak Moro juga menyatakan; rancangan undang-undang tentang perkawinan ini hanya mengambil alih atau meresipiir hukum BW dan HOCI  untuk diberlakukan bagi semua warga negara, sebaliknya hukum perkawinan adat dan hukum perkawinan Islam yang dianut oleh sebagian terbesar rakyat Indonesia dikesampingkan. Dalam pemandangan umumnya yang disampaikan oleh H. M. Amin Iskandar, FPP kembali menyatakan bahwa banyak ketentuan-ketentuan dalam rancangan undang-undang perkawinan yang dijiplak dari HOCI dan BW, sehingga dapat dikatakan rancangan undang-undang perkawinan itu HOCI dan BW centris.

FPP dalam pemandangan umumnya yang disampaikan oleh pembicara pertama Ischak Moro juga menyoroti ketentuan tentang sahnya perkawinan dalam pasal 2 RUU. Dikatakannya bahwa pasal 2 rancangan undang-undang perkawinan bisa menimbulkan kekacauan hukum karena akan menimbulkan perkosaan hukum bagi bagian terbesar rakyat Indonesia dan tidak terjaminnya pelaksanaan pasal 29 undang-undang 1945.

Dalam rancangan undang-undang perkawinan tahun 1973 rumusan pasal 2nya adalah :

1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan dihadapan pegawai pencatat perkawinan, dicatatkan dalam daftar pencatat perkawinan oleh pegawai tersebut, dan dilangsungkan menurut ketentuan undang-undang ini dan/atau ketentuan hukum pihak-pihak yang melakukan perkawinan, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini.

2) Pencatatan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini dilakukan oleh pejabat negara yang diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.

Dengan rumusan demikian, seolah-olah pencatatan perkawinan lebih di utamakan daripada hukum agama. Rumusan ini adalah salah satu di antara rumusan yang ditentang keras oleh kalangan Islam. Pencatatan perkawinan memang tidak ditolak, bahkan dianggap penting, tetapi tidak dianggap sebagai syarat utama sahnya perkawinan. Dikhawatirkan, apabila pasal ini menjadi hukum, bisa jadi akan ada orang Islam awam yang terbiasa meremehkan hukum perkawinan Islam, yang berakibat perkawinan dengan pencatatan belaka akan dianggap sah oleh hukum sipil, tetapi tidak sah menurut hukum Islam.

FPP dalam pemandangan Umumnya yang disampaikan oleh pembicara pertama Ischak Moro juga menyoroti pembatasan usia perkawinan. Ischak Moro menyatakan: Pembatasan usia perkawinan yang tinggi benar mungkin mengurangi pertambahan penduduk karena kelahiran dari perkawinan yang resmi, tetapi tidak mustahil terjadi pertambahan kelahiran dari hubungan di luar perkawinan. Dalam pemandangan Umumnya yang disampaikan oleh Ny. Asmah Sjahroni menyatakan: jika pembatasan umur untuk menyukseskan KB, FPP mensinyalir “bahwa anak-anak yang lahir dari perkawinan mungkin akan berkurang, tetapi anak-anak yang lahir dari perkawinan yang belum diresmikan atau anak-anak yang lahir di luar perkawinan, akan menjadi lebih banyak”

FPP dalam Pemandangan Umumnya yang disampaikan oleh pembicara pertama Ischak Moro juga menyoroti pasal 13 Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang berisi ketentuan tentang pertunangan. Ia menyatakan: Pasal 13 RUU melegalisasi hubungan perkelaminan di luar perkawinan. FPP dalam Pemandangan Umumnya yang disampaikan oleh H.A. Balja Umar kembali menyatakan: Pasal 13 yang sering disebut angka sial, adalah perlindungan hukum bagi pergaulan bebas. FPP dalam Pemandangan Umumnya yang disampaikan oleh Ny. Asmah Sjahroni menegaskan lagi: Dengan Pasal 13 RUU seseorang pria/wanita bisa saja bertunangan di mana-mana tanpa batas karena untuk pertunangan tidal diperlukan izin apa pun atau instansi apa pun, dan pertunangan tidak dilarang oleh RUU bagi pria beristri. Akibatnya, pasal ini bisa digunakan oleh orang dewasa yang nakal yang ingin kawin lagi dan sulit mendapat izin. Apabila telah terjadi kehamilan, pria harus mengawini wanita itu.

FPP dalam Pendapat Akhirnya yang disampaikan oleh KH Ali Yafie menyoroti pembatasan poligami di satu sisi dalam hubungan dengan semakin terbukanya peluang perzinaan akibat pembatasan usia perkawinan dan ketentuan tentang pertunangan di sisi lain. FPP mempertanyakan:

Apakah arti kita membatasi dan mengatur secara ketat tentang poligami kalau dunia perzinahan terpampang luas, atau dengan lain perkataan kita mempersulit sesuatu yang menurut agamanya dibenarkan, tetapi kita beri kebebasan luas terhadap perzinahan yang dikutuk oleh agama.

FPP berpendapat, ketentuan-ketentuan yang ada dalam Rancangan Undang-Undang Perkawinan bukan hal yang tepat untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai. Dalam Pemandangan Umumnya yang disampaikan oleh H.A. Balja Umar, FPP memperingatkan:

Jangan hendaknya kita menjadi orang yang menggaruk kepalanya, sedangkan yang gatal adalah kakinya. Janganlah kita menghempang sebuah sungai untuk menghindari banjir, sedangkan banjir itu sendiri disebabkan sungai yang lain. Secara singkat: Apakah RUU ini obat yang paling tepat untuk menghilangkan segala ketidakadilan dalam perkawinan dan sebagainya.

Masih dengan bahasa sindiran, FPP dalam Pemandangan Umumnya yang disampaikan oleh H.A. Balja Umar menyatakan:

Manusia ini kadang-kadang… dengan segala kepintaran, ia mencoba memberikan obat untuk bermacam-macam penyakit, tapi obat itu bukan menyehatkan, tapi bahkan membunuh si sakit.

Dalam Pemandangan Umumnya yang disampaikan oleh H.M. Amin Iskandar, FPP menyatakan bahwa Rancangan undang-undang tentang Perkawinan mengandung hal-hal yang;

  1. Tidak sesuai dengan jiwa Pancasila.
  2. Bertentangan dengan norma-norma kehidupan kerohanian atau norma-norma yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia sehingga bertentangan dengan jiwa dan semangat Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 29 ayat (2).
  3. tidak memenuhi norma yuridis, norma sosiologis, dan norma filosofis.

FPP dalam Pemandangan Umumnya yang disampaikan oleh H.M. Amin Iskandar menyatakan: Seandainya Rancangan Undang-Undang Perkawinan belum disampaikan oleh pemerintah kepada DPR, andaikata kami tahu sebelumnya, atau andaikata diadakan semacam seminar tentang bagaimana Undang-Undang Perkawinan yang terbaik di Indonesia, mungkin PPP akan mengajukan kertas kerja yang isinya RUU yang mungkin hanya terdiri atas tujuh sampai sepuluh pasal yang berisi hal-hal umum. Satu di antara pasal-pasal itu nantinya menunjuk pelaksanaan perkawinan masing-masing kelompok kepada hukum masing-masing, baik yang bersumber pada hukum adat maupun yang bersumber pada kepercayaan agama. Sedikitnya materi Undang-Undang Perkawinan ini disebabkan oleh sulitnya mengunifikasikan hukum di bidang perkawinan. Dalam Pemandangan Umumnya yang disampaikan oleh H.A. Balja Umar, FPP menyatakan:

“Unifikasikan yang bisa diunifikasikan dan biarlah berkembang hal-hal yang tidak mungkin diunifikasikan”.

Menanggapi berbagai kritik atas ketentuan-ketentuan dalam Rancangan Undang-undang Perkawinan, baik dari masyarakat maupun dari fraksi-fraksi di DPR, terutama FPP, pemerintah dalam jawabannya atas pemandangan umum fraksi-fraksi yang disampaikan oleh Menteri Agama H. A. Mukti Ali menyatakan, antara lain, bahwa pemerintah tidak bermaksud membentuk Undang-undang Perkawinan yang melanggar nilai, cita dan norma-norma agama, dan bahwa pemerintah tidak berpikir untuk memaksakan kehendak tanpa peluang bagi perbaikan dan penyempurnaan RUU yang diajukannya oleh DPR-RI.

Ditengah-tengah pemerintah menyampaikan jawaban atas pemandangan umum fraksi, tiba-tiba pengunjuk rasa yang sebagian besar terdiri dari pemuda dan pemudi berteriak-teriak dari balkon. Pimpinan rapat meminta sekjen untuk melaksanakan peraturan tata tertib DPR. Sekjen memperingatkan mereka untuk tenang dan jika tidak, mereka akan dikeluarkan dari ruang sidang. Ternyata mereka tetap tidak tenang, sekjen meminta petugas keamanan mengeluarkan mereka dari ruang sidang, tetapi mereka tetap berteriak dan tetap berada di ruang sidang sehingga rapat diskors. Ini terjadi pada pukul 10.12 dan rapat baru dibuka kembali pada pukul 12.45.

Dalam laporan panitia kerja rancangan undang-undang perkawinan yang disampaikan oleh Djamal Ali, ketua panja, dinyatakan bahwa pasal-pasal yang kontroversial telah dihilangkan dari Rancangan Undang-undang Perkawinan, antara lain pasal 11 ayat (1) tentang asas parental, pasal 11 ayat (2) tentang perbedaan agama dan kepercayaan yang tidak menjadi penghalang perkawinan, pasal 13 tentang pertunangan, dan pasal 62 tentang pengangkat anak. Panja menyelesaikan tugasnya, menerima baik rancangan undang-undang perkawinan sebagaimana telah ditambah, dikurangi, dan diubah pada tanggal 20 Desember 1973 pukul 24.00 WIB.

Semua fraksi menyetujui rancangan undang-undang perkawinan yang telah diperbaiki dan disempurnakan. FPP dalam pendapat akhirnya yang disampaikan oleh K.H. Ali Yafie menyatakan: FPP menerima rancangan undang-undang perkawinan yang telah mengalami perubahan dan penyempurnaan untuk dijadikan undang-undang, karena alasan penolakan FPP terhadap rancangan undang-undang perkawinan sebagaimana disampaikan dalam pemandangan umum telah tidak ada lagi. Tanggapan pemerintah atas diterimanya rancangan undang-undang perkawinan untuk disahkan menjadi undang-undang disampaikan oleh menteri kehakiman Oemar Senoadji. DPR dengan surat keputusan Nomor 5/DPR-RI/II/73-74 tanggal 22 Desember 1973 memutuskan menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang perkawinan setelah diadakan perubahan-perubahan untuk disahkan menjadi undang-undang. Undang-Undang Perkawinan diundangkan dan disahkan 2 Januari 1974, LN 1974 Nomor I.

Penyelesaian pembahasan Rancangan Undang-Undang Perkawinan ini sangat cepat dibandingkan berbagai masalah yang berkembang sejak pengajuannya dan selama pembahasannya di DPR. Dalam salah satu rapat antara Panitia Kerja  Rancangan Undang-Undang Perkawinan dan pemerintah dinyatakan: Apabila pers menanyakan mengapa RUU ini lebih cepat diselesaikan daripada yang diperkirakan, jawabnya karena sebelumnya fraksi-fraksi telah mengadakan konsultasi secara mendalam dan menyeluruh. Salah satu kesepakatan penting hasil konsultasi tersebut yang berperan penting bagi lancarnya pembahasan Rancangan Undang-Undang Perkawinan adalah kesepakatan antara Fraksi Persatuan pembangunan dan Fraksi ABRI.

Pada rapat Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang tentang Perkawinan tanggal 10 Desember 1973, Amin Iskandar (FPP) membacakan hasil-hasil konsensus yang telah dicapai antara FPP dan FABRI, yaitu sebagai berikut:

Persetujuan yang telah dicapai antara KH Masjkur yang dibantu oleh KH Nuddin Lubis selaku wakil FPP dengan Sdr. Domopranoto dibantu oleh Sdr. Mansjoer selaku wakil FABRI:

  1. 1. Hukum perkawinan dari agama Islam tidak akan dikurangi ataupun diubah.
  2. 2. Sebagai konsekuensi dari poin 1, maka alat-alat pelaksanaannya tidak akan dikurangi ataupun diubah, tegasnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 dijamin kelangsungannya.
  3. 3. Hal-hal yang bertentangan dengan agama Islam tidak mungkin disesuaikan dengan undang-undang ini dihilangkan – didrop.
  4. 4. Pasal 2 dari RUU ini disetujui untuk dirumuskan seperti berikut:
    1. 1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
    2. 2. Tiap-tiap perkawinan wajib dicatat demi ketertiban administrasi negara.
    3. 5. Mengenai perceraian dan poligami perlu diusahakan adanya ketentuan-ketentuan guna mencegah terjadinya kesewenang-wenangan.

Kesepakatan dicapai pada tanggal 29 Nopember 1973 antara Fraksi ABRI yang diwakili oleh Domopranoto dan masjoer dan Fraksi Persatuan Pembangunan yang diwakili oleh KH Masjkoer dan KH Nuddin Lubis.

Meskipun pada akhirnya Rancangan Undang-Undang Perkawinan baru bisa disetujui setelah mengalami perbaikan dan penyempurnaan, pengajuan RUU yang kontroversial tersebut memiliki makna tersendiri. Pengajuan Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang banyak memuat ketentuan yang bertentangan dengan hukum Islam dan mengandung nilai-nilai yang bertentangan dengan kesadaran hukum umat Islam merupakan salah satu contoh yang paling mengesankan dalam sejarah orde baru dalam.“menyingkirkan” hukum Islam, yang oleh Taufik Abdullah dilukiskan sebagai menyinggung “wilayah sakral” agama yang begitu dijaga ketat oleh pemeluknya. Kalaupun pada akhirnya hukum Islam dan aspirasi umat Islam bisa “diselamatkan”, itu lebih disebabkan oleh kenyataan bahwa umat Islam masih memiliki daya juang, bahkan kesiapan “memberontak” demi mempertahankan keyakinannya.

Dukungan penuh Golkar terhadap Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang banyak bertentangan dengan hukum Islam membuktikan bahwa penyusunannya berpandangan politik budaya Golkar, yang dicontohkan oleh Ali Murtopo melalui bukunya tentang Akselerasi Modemisasi. Pernyataan ketua fraksi Golkar di DPR, Soegiarto, dianggap oleh utusan muslim sebagai pernyataan yang memalukan. Selama masa-masa awal kontroversi Rancangan Undang-Undang perkawinan, “ulama Golkar” tidak ada yang mengemukakan pendapatnya atas nama Golkar. Baru pada pertengahan Agustus 1973 Hasbullah Bakry berbicara atas nama GUPPI. Hasbullah Bakry. Sebagaimana dikutip Kamal Hassan, juga menyatakan:

GUPPI, yang menganjurkan agar umat Islam memilih Golkar, tidak mempunyai wakil seorang pun di dalam tubuh pimpinan Golkar. Sebaliknya sekitar sepertiga pimpinannya terdiri dari mereka yang kebetulan orang-orang Kristen … Di samping itu, ada beberapa sikap tokoh-tokoh Golkar, baik di dalam maupun di luar DPR yang dapat dianggap berbahaya bagi Islam.

Mengacu pada usaha Golkar menghapus Departemen Agama, ditiadakannya pendidikan agama dan pensekularan hukum perkawinan, Hasbullah Bakry menegaskan: Belanda saja tidak turut campur dalam urusan hukum kekeluargaan Islam. Boleh jadi, itu terjadi karena “islamophobia” masih terlintas di benak kaum militer pembuat keputusan dan klien-klien mereka di Golkar.

Undang-undang perkawinan adalah unifikasi yang longgar. Hal ini tampak dari pasal 2-nya. Dari adanya keberagaman hukum yang ditunjuk oleh Undang-Undang Perkawinan bagi kesahan suatu perkawinan, Hazairin berpendapat bahwa Undang-Undang Perkawinan adalah unifikasi yang unik, yang “menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan kepercayaan yang berketuhanan Yang Maha Esa”. Dari kuatnya kedudukan hukum agama dalam hukum perkawinan, Mahadi – seperti dikutip oleh Rachmat Djatnika – menyatakan:

Penelitian terhadap Undang-Undang (perkawinan) membawa kami kepada pendapat bahwa sejak berlakunya undang-undang ini sampailah ajal teori ‘resepsi’, seperti yang telah diajarkan di zaman Hindia Belanda. Apabila dulu diteorikan bahwa hukum Islam baru berlaku di Indonesia untuk penganut agama Islam apabila sesuatu hukum Islam telah nyata-nyata diresepsi oleh dan dalam hukum adat, maka dengan misalnya pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama, maka jelas hukum Islam itu telah… menjadi sumber hukum.

Salam …