Alat Bukti dalam Pengadilan Agama

ALAT BUKTI DALAM PENGADILAN AGAMA

  1. A. Pengertian dan Tujuan Alat Bukti

Setiap tuntutan hak atau menolak tuntutan hak harus dibuktikan di maka sedang pengadilan. Dalam pembuktian ini diperlukan alat-alat bukti. Alat bukti adalah alat-alat atau upaya yang bisa dipergunakan oleh pihak-pihak yang berperkara di muka sidang pengadilan untuk meyakinkan hakim akan kebenaran tuntutan atau bantahannya.[1] Alat bukti ini sangat penting artinya bagi para pihak yang berperkara merupakan alat atau sarana untuk meyakinkan  kebenaran tuntutan hak penggugat atau menolak tuntutan hak bagi hakim. Dan bagi hakim, alat bukti tersebut dipergunakan sebagai dasar memutus perkara.

Suatu perkara di pengadilan tidak dapat diputus oleh hakim tanpa didahului dengan pembuktian. Dengan kata lain, kalau gugatan penggugat tidak berdasarkan bukti maka perkara tersebut akan diputus juga oleh hakim tetapi dengan menolaknya gugatan karena tidak ada bukti.

Di dalam kitab-kitab fiqih kebanyakan fuqaha menyebut dengan alat bukti dengan Al Bayyinah, Al Hujjah , Ad Dalil, Al Burhan, tetapi yang tiga terakhir ini tidak lazim diperkara.[2]

Sebagaimana disebutkan di atas pengertian bayyinah merupakan suatu bukti-bukti yang menjelaskan dalam keperluan pembuktian agar menyakinkan hakim.[3] Yang dimaksudkan dengan yakin adalah sesuatu yang ada berdasarkan kepada penyelidikan yang mendalam dan sesuatu yang telah diyakini tidak akan lenyap kecuali datangnya keyakinan yang lain lebih kuat dari pada keyakinan yang ada sebelumnya.

Kalau seorang ahli waris ingin menuntut pembagian harta pusaka (warisan) seseorang yang belum pernah diadakan pembagian warisan, maka ia terlebih dahulu harus membuktikan dirinya bahwa ia betul-betul ahli waris dari si mayit (al mahrum) dan bahwa barang-barang sengketa termasuk harta peninggalan dari si mati yang belum terbagi, kesemuanya ini harus dibuktikan akan kebenaran yang diajukan ke pengadilan, walau demikian hakim juga tidak langsung menerima keinginan si pemohon tersebut, akan tetapi ia harus meneliti dan memeriksa bukti-bukti yang diajukan itu.

Dari uraian singkat di atas, maka dapat diketahui bahwa tujuan utama dari alat bukti ialah untuk lebih memperjelas dan meyakinkan hukum sehingga ia tidak keliru dalam menetapkan putusannya  dan pihak yang benar tidak dirugikan sehingga dengan demikian keadilan di muka bumi ini dapat ditegakkan.

  1. B. Macam-Macam Alat Bukti

Alat bukti terdiri dari beberapa macam di antaranya ada yang disepakati oleh Mazhab-mazhab dan sebagainya lagi masih diperselisihkan. Diantara alat bukti yang kebanyakan digunakan oleh para fuqaha seperti diungkapkan oleh Abu Yusuf :

Artinya :

(Sumpah, Pengakuan, penolakan sumpah, qasamah, bayyinah, ilmu qadhi dan petunjuk-petunjuk).[4]

Menurut sistem HIR dan RBg hakim terikat dengan alat-alat bukti sah  yang diatur dengan undang-undang. Ini berarti hakim hanya boleh menjatuhkan putusan berdasarkan alat-alat bukti yang telah diatur undang-undang. Menurut ketentuan Pasal 164 HIR, 284 RBg, dan 1866 BW ada lima jenis  alat bukti dalam perdata yaitu: surat, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah.[5]

Sedangkan menurut Hukum Acara Perdata yang biasa dipergunakan pada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama, ada 7 (tujuh) macam alat-alat bukti yang dapat dijadikan bukti kebenaran dan ketidakbenaran suatu di pengadilan, yaitu:

  1. Alat bukti surat-surat (tertulis)
  2. Alat bukti saksi
  3. Alat bukti persangkaan
  4. Alat bukti pengakuan
  5. Alat bukti sumpah
  6. Alat bukti pemeriksaan setempat
  7. Alat bukti keterangan ahli

Dari ketujuh  hal di atas  akan di jelaskan uraian sebagai berikut :

  1. Alat bukti surat – surat (tertulis)

Alat bukti surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda bacaan  yang di maksudkan  untuk mencurahkan isi hati atau untuk  menyampaikan  buah pikiran seseorang yang di pergunakan sebagai pembuktian.[6]­

Al-Qur’an kepada orang yang beriman untuk menuliskan transaksi yang terjadi di antara manusia, sebagai mana terdapat dalam Al- Baqarah (3) : 282 berikut :

Terjemahnya :

Wahai orang–orang yang   beriman apabila kamu melakukan utang – piutang untuk waktu yang di tentukan, hendaklah kamu menuliskannya dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar, janganlah penulis menolak untuk menulis sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah orang yang berhutang itu mendiktekan, dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah.[7]

Ayat di atas dapat disimpulkan bahwa Islam menetapkan perlunya mendokumentasikan misalnya dalam bentuk tulisan berbagai peristiwa-peristiwa penting yang terjadi diantara manusia karena itu sangat beralasan kalau tulisan atau surat-surat dijadikan  sebagai salah satu alat bukti.

Surat sebagai alat bukti tertulis dapat dibedakan dalam 2 jenis yaitu: surat akta otentik dan surat akta tidak otentik (dibawah tangan)

  1. Akta otentik

Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapkan pejabat yang berwenang untuk itu, menurut ketentuan yang telah ditetapkan sebagai pejabat yang berwenang dimaksudkan antara lain notaris, jurusita, panitra, dan hakim pengadilan, pegawai catatan sipil dan lain-lain.[8]

Pada setiap akta  otentik dikenal 3 (tiga) macam kekuatan bukti, yaitu :

1)     Kekuatan bukti lahir yakni berkenaan dengan syarat-syarat formal suatu akta otentik dipenuhi atau tidak

2)     Kekuatan bukti formal yakni berkenaan dengan soal kebenaran peristiwa yang disebutkan dalam akta otentik

3)     Kekuatan bukti material yakni berkenaan dengan kebenaran isi akta otentik.[9]

  1. Akta tidak otentik (di bawah tangan)

Akta tidak otentik atau akta di bawah tangan adalah segala tulisan yang memang sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tetapi tidak dibuat di hadapan atau oleh pejabat yang berwenang  untuk itu dan bentuknya pun tidaklah terikat kepada bentuk tertentu.

Misalnya: Surat jual beli tanah, yang dibuat oleh kedua bela pihak, sekalipun di atas kartu segel dan ditandatangani oleh ketua RT, ketua RW, lurah/kepala desa, tidak bisa disebut akta otentik karena pejabat  berwenang membuat akta tanah yang disebut PPAT, hanyalah notaris dan camat.

  1. Alat bukti saksi

Kata sandi jika dilihat dari pengertian terminologi berarti orang yang mempertunjukkan, memperlihatkan, sebagai bukti.[10] Sedangkan menurut istilah syara’ ialah orang yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri.[11]

Jadi saksi yang dimaksud dalam hal ini adalah manusia hidup. Sedangkan menurut Sayid Sabiq dalam kitab sunnah bahwa yang dimaksud dengan saksi itu adalah memberitahukan seseorang tentang apa yang disaksikan dan dilihatnya.[12] Maknanya ialah pemberitahuan seseorang tentang apa yang dia ketahui dengan sebenarnya.

Bila dimaksudkan bahwa saksi adalah orang  yang betul-betul  sebagai saksi karena menyaksikan sendiri suatu perkara maka dinilai bahwa kesaksian tersebut adalah merupakan salah satu bukti dalam hukum pembuktian.

Kebanyakan ahli hukum Islam (Fuqaha) menyamakan kesaksian itu dengan bayyinah, apabila saksi disamakan dengan bayyinah maka itu berarti pembuktian di muka hakim hanya dimungkinkan dengan saksi saja.[13]

Dasar hukum daripada alat bukti saksi dapat dilihat dalam Q.S. al Baqarah (2): 282

Terjemahnya :

“…Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil…”[14]

Dalam dalam Q.S. an Nisah (4) 135 yaitu :

Terjemahnya :

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah…” [15]

Kesaksian hanya wajib ditunaikan jika saksi mampu menunaikannya tanpa adanya bahaya yang menimpanya baik dibadannya, kehormatannya, hartanya, ataupun keluarganya, berdasarkan firman Allah swt dalam Q.S. al Baqarah (2) 282  yaitu:

Terjemahnya :

“….Janganlah penulis dan saksi itu mendapat kesulitan …”[16]

Kesimpulannya bahwa setiap saksi yang memberikan kesaksiannya di depan hakim hendaknya memperoleh jaminan keamanan baik jiwa, harta dan kehormatannya. Karena setiap kesaksian dipandang wajib bagi setiap orang yang memiliki pengetahuan akan perkara yang ia ketahui secara pasti tentang kebenaran tersebut.

Sehingga dengan adanya kesaksian dari saksi tersebut diharapkan akan terungkapnya suatu kebenaran diantara pihak-pihak yang berperkara dengan sebab itulah maka berdosa hukumnya bagi orang yang memenuhi syarat untuk menjadi saksi menolak untuk tidak memberikan kesaksiannya, berdasarkan firman Allah swt di dalam Al-Qur’an Q.S. al Baqarah (2) 283 yaitu :

Terjemahnya :

“…dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. [17]

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, tentang kedudukan saksi dalam hukum pembuktian yaitu sebagai alat bukti, diantara alat bukti lainnya yang dapat diajukan oleh pihak-pihak yang berperkara. Namun dalam berbagai alasan demi untuk membuktikan suatu kebenaran antara pihak-pihak yang berperkara, hingga adanya saksi sebagai alat bukti yang diajukan oleh pihak-pihak yang berperkara, tidak begitu saja diterima sebelum saksi yang diajukan kemuka pengadilan memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh hukum pembuktian. Dan dalam hal ini yakni hukum pembuktian yang dianut oleh peradilan khususnya Peradilan Agama yang merupakan pembahasan utama dalam skripsi ini, dalam kaitannya dengan eksistensi saksi non muslim di mata hukum Islam.

Untuk memberitahukan kesaksian yang dapat diterima serta dapat di jadikan pembuktian kuat wajib memenuhi syarat-syarat tertentu yaitu :

a)      Beragam Islam

Saksi dalam hal ini haruslah beragama Islam karena syarat para fuqaha menetapkan, bahwa dalam kesaksian ini yang dapat diterima bagi kesaksian seseorang haruslah beragama Islam.

b)     Baliqh

Saksi yang belum mencapai usia baliqh tidak dapat dijadikan sebagai saksi, terlebih memberikan kesaksian.

c)     Berakal

Persaksian dari pada saksi dapat dijadikan saksi sebagai pembuktian dalam Peradilan Agama jika saksi memiliki akal dan jiwa yang sehat sebagai salah satu syarat yang harus dimiliki oleh saksi dalam suatu persaksian.

d)     Merdeka

Merdeka ialah saksi dalam memberikan kesaksian harus termasuk orang yang merdeka yaitu tidak sebagai budak atau  orang yang tidak memiliki kebebasan hidup seperti manusia lainnya.

e)     Adil[18]

Sifat keadilan dari saksi dalam memberikan kesaksian sangatlah menentukan dalam penilaian hakim karenanya sifat adil dalam hal ini ialah menjauhi perbuatan dosa, baik hati, menjaga kehormatan diri, dan bukan musuh atau lawan dari pihak yang berperkara.

Syarat-syarat saksi yang dikemukakan di atas adalah merupakan syarat-syarat yang diperpegangi oleh peradilan agama, namun ada beberapa tambahan syarat seperti yang dikemukakan oleh Sayyid Sabiq dalam fiqh  sunnahnya, dengan dua syarat tambahannya yaitu mampu berbicara tidak bisa, dan bukan sanak famili atau keluarga terdekat salah satunya.

Persyaratan yang harus dimiliki oleh saksi atau beberapa orang saksi seperti yang telah diuraikan di atas merupakan syarat mutlak yang mesti ada pada saksi, walaupun dalam beberapa hal sebagaimana yang dimaksud oleh Sayyid Sabiq harus tidak bisu dan khusus yang diatur oleh Peradilan Agama dalam perkara perdata.[19]

Syarat-syarat saksi yang diuraikan di atas adalah merupakan syarat yang dikenakan pada seorang saksi sebelum memberikan kesaksian, karena saksi dalam hal ini merupakan orang yang menyaksikan suatu peristiwa hukum yang sekaligus sebagai syarat hukum dalam membuktikan kebenaran yang terdapat pada salah satu pihak yang mengajukan perkaranya di muka sidang, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa syarat-syarat tersebut adalah merupakan ketentuan khusus yang dianjurkan oleh hukum pad seorang saksi.

Lima syarat yang dikemukakan di atas ditambah dengan dua syarat oleh Sayyid Sabiq yaitu beragama Islam, baligh, berakal, merdeka adil tidak bisu dan bukan keluarga dekat dari pihak-pihak yang berperkara adalah merupakan ketentuan yang wajib dimiliki oleh seorang saksi.

Pada prinsipnya, setiap orang dapat menjadi saksi. Namun demikian, untuk memelihara obyektifitas saksi dan kejujurannya, ada orang tertentu oleh Undang-undang tidak dapat diperkenankan menjadi saksi sebagai dasar untuk memutus perkara, karena adanya hubungan tertentu dengan para pihak, atau karena keadaan tertentu orang tidak boleh di dengar sebagai saksi adalah :

  1. Keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah  satu pihak menurut keturunan yang sah
  2. Istri atau suami dari salah satu pihak meskipun sudah  ada perceraian
  3. Anak yang tidak diketahui benar umurnya sudah 15 tahun
  4. Orang gila, meskipun ia kadang-kadang mempunyai ingatan yang terang.[20]

Sejalan dengan maksud di atas, nabi saw telah memperingatkan agar tidak mengangkat saksi orang pengkhianat, orang yang memiliki rasa dengki terhadap saudaranya, dan pembantu terhadap tuannya. Nabi bersabda :

Artinya :

Tidak boleh diterima kesaksian seorang pengkhianat laki-laki dan tidak pula pengkhianat perempuan, orang yang memiliki perasaan dengki terhadap saudaranya, dan tidak diterima kesaksiannya seorang pembantu atas tuannya.[21]

Selain itu, ada pula golongan orang yang  atas permintaan mereka sendiri dibebaskan dari kewajiban untuk memberi kesaksian, mereka yang boleh mengundurkan diri sebagai saksi disebutkan dalam  pasal 146 ayat (1) HIR, pasal 114 RBg. dan pasal 1909 alinea 2 BW, atau disebut dengan sebagai hak ingkar. Mereka itu adalah :

  1. Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan dari salah satu pihak
  2. Keluarga saudara  menurut keturunan yang lurus, dan saudara laki-laki dan perempuan dari suami  atau isteri salah satu pihak
  3. Semua orang yang karena martabatnya, pekerjaannya atau jabatan yang sah diwajibkan menyimpan rahasia akan tetapi hanya semata-mata mengetahui pengetahuan yang diserahkan kepadanya karena martabat, pekerjaan atau jabatannya itu.[22]

Saksi-saksi yang dipanggil ke muka sidang pengadilan mempunyai kewajiban menurut hukum yaitu :

  1. Kewajiban untuk menghadap atau datang memenuhi panggilan persidangan, yang mana dirinya dipanggil dengan patut dan sah
  2. Kewajiban untuk bersumpah sebelum memberi keterangan, sumpah ini menurut ketentuan agamanya  dan bagi suatu agama yang tidak memperkenankan adanya sumpah maka diganti dengan mengucapkan janji
  3. Kewajiban untuk memberikan keterangan yang benar

Dalam peraturan perundang-undangan tentang hukum acara perdata tidak ada persyaratan secara mutlak untuk diterima sebagai saksi, baik jenis kelamin, sifat, dan beberapa jumlah ideal. Perbedaan agama tidak menjadi halangan untuk diterimanya seseorang menjadi saksi, karena prinsip utama dalam masalah pembuktian adalah terungkapnya suatu kebenaran suatu peristiwa yang menjadi sengketa antara para pihak dimuka majelis hakim, dengan hal tersebut keadilan dan kebenaran dapat ditegakkan.[23]

Hal ini dapat dilihat dari berbagai keterangan ayat-ayat Al-Qur’an dan beberapa hadits yang menyangkut soal saksi dan persaksiannya, di sisi lain dapat pula dilihat pendapat-pendapat yang  dikeluarkan oleh para ahli hukum Islam atau fuqaha Islam. Dimana para ahli hukum Islam memberikan suatu dalil yang diambil dari sumber hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan sunnah dan dari sumber hukum Islam lainnya.

Kesaksian dan persaksian yang diberikan oleh para saksi harus pula memenuhi kriteria atau syarat-syarat yang dipakai dan disepakati oleh para ahli hukum Islam, sehingga kesaksian yang diberikan di muka Pengadilan Agama  dapat dijadikan sebagai alat pembuktian

Dalam hal membuktikan suatu peristiwa yang terjadi antara orang-orang yang berperkara atau lebih dikenal dengan istilah pihak-pihak yang  berperkara maka dalam Hukum Acara perdata dikenal adanya asas hukum pembuktian yang di dalamnya terdapat saksi sebagai salah satu unsur pembuktian dan merupakan pelengkap terhadap bukti-bukti lain yang diajukan oleh penggugat, karena pembuktian itu sendiri sebagaimana yang dimaksud kitab undang-undang hukum perdata pasal 1856 BW bahwa :

“Setiap orang yang mendalihkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain atau menunjukkan pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.[24]

Ini merupakan petunjuk bahwa setiap perkara dalam kasus perdata, yang dikemukakan oleh pihak-pihak yang berperkara diharuskan memberikan pembuktian yang nyata dan jelas. Sedangkan pembuktian yang dimaksud oleh Prof. R. Subekti, S. H. dalam bukunya “Hukum Pembuktian” , menjelaskan bahwa pembuktian ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau  dalil-dalil yang dikemukakan dalam   suatu persengketaan.[25]

Ilustrasi Asas Pembuktian tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :

A (Penggugat) menggugat B (tergugat) agar B membayar utang kepada A, maka kepada A dibebankan oleh hakim untuk membuktikan adanya hutang B kepada A, sebab di ketika itu A mengatakan bahwa ia mempunyai hak berupa piutang dari B. selanjutnya, di muka sidang B membantanh, menurut B adanya utang di atas kwitansi tersebut bukanlah karena B mempunyai utang kepada A tetapi adalah karena B dipaksa oleh A  untuk membuatnya maka B dibebankan untuk membuktikan akan kebenaran bantahan tersebut, karena B ketika itu membantah hak orang lain atasnya. Mungkin juga B di muka sidang mengatakan bahwa utang tersebut betul ada tetapi sudah dibayarkannya hanya saja tidak memakai tanda pembayaran/kwitansi dan kwitansi utang dahulunya tidak diminta kembali dari A. dalam hal ini kepada B dibebankan oleh hakim untuk membuktikan peristiwa pembayaran tersebut.

Dari gambaran di atas dapat  dilihat bahwa beban pembuktian sesewaktu kepada penggugat A dan sesewaktu kepada tergugat B, karena asas pembuktian mengatakan demikian. Dalam Asas Pembuktian mengenal adanya saksi sebagai alat bukti dalam persidangan, maka pembuktian dengan saksi merupakan alternatif bagi pihak-pihak yang berperkara untuk mengajukan tuntutan dan bantahan sekaligus sebagai penguat terhadap beban pembuktian yang diminta oleh hakim.

Dari uraian contoh diatas dapat diketahui bahwa pembuktian sangatlah penting dimuka sidang pengadilan, dan eksistensi saksi dalam suatu Persidangan dinilai sangat membantu hakim dalam mengambil suatu keputusan, karena kesaksian itu sendiri sebagaimana Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo maksudkan ialah “kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang suatu peristiwa yang dipersengketakan”.[26]

Eksistensi  saksi dalam memberikan kesaksian merupakan alat bukti yang wajar, karena keterangan yang diberikan kepada hakim dipersidangkan itu berasal dari pihak ketiga yang melihat/mengetahui sendiri tentang yang bersangkutan. Pada umumnya pihak ketiga lebih obyektif di dalam memberikan keterangan dari pada pihak yang berperkara, para pihak yang berperkara pada umumnya akan mencari benarnya sendiri. Oleh karena itu, dapat dikatakan pula akan betapa pentingnya arti kesaksian sebagai alat bukti tampak dari kenyataan bahwa banyak dari peristiwa-peristiwa hukum yang tidak dicatat atau tidak ada alat bukti tertulisnya, sehingga kesaksian hanya merupakan satu-satunya alat bukti yang masih ada atau tersedia.

Pembuktian dengan kesaksian merupakan cara pembuktian yang terpenting dalam suatu perkara yang disidangkan, suatu kesaksian harus mengenai peristiwa-peristiwa yang ia lihat dengan mata kepala sendiri atau yang dialami oleh seorang saksi. Jadi tidak dibenarkan bagi saksi memberikan kesaksiannya berdasarkan pendengaran saja dari orang lain, atau merupakan kesimpulan yang ditarik sendiri dari peristiwa yang dilihat atau dialaminya, sebab hanya hakim yang  berhak menarik kesimpulan dari peristiwa hukum yang terjadi antara pihak-puak yang berperkara.

Walaupun eksistensi saksi dalam suatu persidangan dipandang sangat penting, namun ia tidak bersifat mengikat hakim, tetapi terserah pada hakim untuk menerimanya atau tidak, artinya hakim leluasa untuk mempercayai atau tidak mempercayai keterangan saksi.[27]

  1. Alat bukti persangkaan

Alat bukti persangkaan (Belanda, Ver Moeden) yang di  dalam Hukum Acara Peradilan Islam disebut al Qarinah menurut bahasa artinya “istri” atau “hubungan” atau “pertalian”, sedangkan menurut istilah hukum ialah hal-hal yang mempunyai hubungan atau pertalian yang erat demikian rupa terhadap sesuatu sehingga memberikan petunjuk.[28]

Eksistensi saksi dalam persidangan adalah disamping sebagai syarat pembuktian sekaligus sebagai syarat hukum dimana kesaksian yang diberikan dapat memperjelas permasalahan yang  terjadi antara kedua belah pihak yang berperkara, dengan adanya asas keadilan sebagai asas terpenting diharapkan dapat terwujud kepastian hukum yang diberikan melalui proses hukum di Peradilan sebagai salah satu lembaga yang dapat memberikan keadilan yang ingin diperoleh setiap orang atau sebagai komunitas manusia yang benar-benar memiliki tanggung jawab dalam bersosialisasi dengan sesamanya, sehingga tidak  terdapat kesalahan-kesalahan yang  dirasa merugikan semuanya.[29]

Sedangkan menurut M. Nur Rosaid, S.H. dalam bukunya Hukum Acara Perdata, persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dianggap terbukti, yang menarik kesimpulan ini adalah hakim atau undang-undang. Satu persangkaan saja tidak cukup untuk membuktikan sesuatu, jadi harus banyak persangkaan-persangkaan yang satu sama lain saling berhubungan/saling menutupi. Oleh karena itu hakim harus berhati-hati dalam  menarik kesimpulan tersebut.[30]

Oleh karena saksi adalah merupakan orang yang diminta kesaksiannya, maka pihak yang berperkara apabila dipanggil sebagai saksi tentu memiliki tanggung jawab untuk memberikan kebenaran sebagai manifestasi dari rasa keadilan bagi setiap orang. jadi saksi adalah merupakan pihak ketiga  yang diminta keterangannya untuk membuktikan gugatan yang diajukan kemuka pengadilan.

Oleh karena persangkaan itu merupakan kesimpulan belaka, maka dalam hal ini yang dipakai sebagai alat bukti sebetulnya bukan persangkaan itu, melainkan alat-alat bukti lain, yaitu misalnya kesaksian atau surat-surat, atau pengakuan salah satu pihak, yang membuktikan bahwa suatu peristiwa adalah terang ternyata, baru kemudian disimpulkan adanya suatu peristiwa tertentu.

Persangkaan-persangkaan hakim sebagai alat bukti mempunyai kekuatan bebas,  yaitu terserah kepada kebijaksanaan hakim, seberapa jauh di akan memberi kekuatan bukti kepada persengketaan-persengketaan yang didapat pada pemeriksaan perkara.

  1. Alat bukti pengakuan

Pengakuan atau iqrar yaitu pernyataan dari penggugat atau tergugat atau pihak-pihak  lainnya mengenai ada tidaknya sesuatu. Ikrar adalah pernyataan seseorang tentang dirinya sendiri yang bersifat sepihak dan tidak memerlukan persetujuan pihak lain. Ikrar atau pengakuan dapat diberikan di muka hakim di persidangan atau di luar persidangan.

Syarat-syarat pelaku ikrar (pengakuan)

a)      Baliqh     : dewasa

b)     Aqil         : berakal/waras, tidak gila

c)     Rasyid     : punya kecakapan bertindak

Jenis-jenis pengakuan

a)      Lisan

b)     Isyarat, kecuali dalam perkara zina

c)     Tertulis.[31]

Dasar hukum pengakuan sebagai alat bukti diatur dalam pasal 174 HIR dan Pasal 311 R. Bg. Serta pasal 1923-1928 KUH Perdata.[32] Sedangkan dasar pengakuan sebagai alat bukti menurut Acara Peradilan Islam, antara lain:

1)     Al-Qur’an, surat 4 An Nisa ayat 135 yaitu

Terjemahnya :

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu….. [33]

2)     Hadits Riwayat Bukhary Muslim, dari Abi Hurairah

Artinya :

Sewaktu Rasulullah saw di dalam masjid, telah datang seorang laki-laki muslim. Ia berseru kepada Rasulullah ya Rasulullah, sesungguhnya saya telah berzina. Rasulullah berpaling dari padanya orang itu berputar menghadap kearah Rasulullah dan berkata. Ya Rasulullah, saya telah berzina, Rasulullah berpaling dari padanya hingga orang itu ulangi yang demikian itu sampai empat kali. Tatkala orang itu telah saksikan (kesalahan) dirinya empat persaksian (maksudnya empat kali mengaku), Rasulullah panggil ia dan Rasulullah bertanya. Apakah anda tidak gila? Orang itu menjawab, tidak. Tanya Rasulullah lagi, apakah anda sudah kawin? Orang itu menjawab, sudah, maka Rasulullah saw bersabda bawalah orang ini pergi dan rajamlah ia.[34]

Hadits ini di samping sebagai dasar pengakuan sebagai alat bukti, juga sebagai dasar bahwa pengakuan  zina dapat menggantikan alat bukti 4 orang saksi lelaki yang beragama Islam untuk berlakunya pidana rajam/had zina/qisas

  1. Alat bukti sumpah

Sumpah menurut bahasa hukum Islam disebut al amin atau al hiff tetapi kata al yamin lebih umum dipakai.

Sumpah ialah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat sifat maha kuasa Tuhan dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh Nya.[35]

Pada dasarnya, sumpah ini adalah dari pihak yang digugat atau dituntut.

Ahli bukti sumpah ini bermacam-macam sumpah ini ada yang memiliki bentuk tersendiri, seperti sumpah Li’an (dalam perkara zina) dan sumpah Qasamah (di lapangan pidana), bagaimanapun juga, selain dari sumpah Li’an dan sumpah pemutus, alat bukti sumpah tidak bisa berdiri sendiri. Artinya, hakim tidak bisa memutus hanya semata-mata berdasarkan kepada sumpah tanpa disertai oleh alat bukti lainnya. Sumpah hanyalah merupakan salah satu alat bukti dapat diandalkan untuk pengambilan putusan terakhir.

Alat bukti sumpah ini juga diatur dalam HIR Pasal 135-158, 177) R.Bg. (pasal 182, 185, 314) dan BW (pasal 1929-1945)

Ada 3 macam sumpah sebagai alat bukti, yaitu

a)      Sumpah pelengkap (suppletion)

b)     Sumpah pemutus yang bersifat menentukan (decisior)

c)     Sumpah penaksiran (aestimatoir, schatting seed)[36]

  1. Alat bukti pemeriksaan setempat

Pemeriksaan di tempat dilakukan dengan pergi ketempat barang yang menjadi objek perkara, yang tidak dapat dibawa ke persidangan, misalnya keadaan perkarangan bangunan. Pemeriksaan ditempat dilakukan oleh hakim dengan dibantu oleh pemitra. Dalam melakukan pemeriksaan setempat, panitra membuat berita acara yang  ditanda tangani oleh hakim dan panitra yang bersangkutan.[37]

Tujuan pemeriksaan setempat ialah agar hakim memperoleh gambarkan yang jelas tentang peristiwa yang menjadi sengketa, maka fungsi pemeriksaan setempat pada hakekatnya adalah sebagai alat bukti.

Jika benda obyek perkara yang akan diperiksa itu terletak diluar daerah hukum tempat kedudukan pengadilan itu, maka ketua dapat meminta kepada pengadilan negeri setempat agar melakukan atau menyuruh melakukan pemeriksaan itu dan mengirimkan secepat-cepatnya berita acara pemeriksaannya.

  1. Alat bukti keterangan ahli

Keterangan dari pihak ketiga untuk memperoleh kejelasan bagi hakim dari suatu peristiwa yang disengketaan, kecuali dari saksi, juga diperoleh dari keterangan ahli, yang dalam praktek pengadilan sering juga disebut saksi ahli. Keterangan ahli adalah keterangan pihak ketiga yang objektif dan bertujuan untuk membantu hakim dalam pemeriksaan guna menambah pengetahuan hakim sendiri.[38]

Kalau saksi biasa ia dilarang menilai dan menyimpulkan terhadap apa yang dialami/dilihat/diketahui/didengarnya tetapi harus menyebutkan “sebab ia tahu” maka saksi ahli malahan sebaliknya, ia diminta untuk memberikan penilaian atau kesimpulan menurut bidang keahliannya seobyektif-obyektifnya terhadap suatu peristiwa yang sedang diperiksa di muka pengadilan.

Keterangan saksi  ahli mungkin diberikan secara lisan di depan sidang tetapi mungkin pula diberikan secara tertulis yang kemudian dibacakan  di depan sidang. Karena dibaca di depan sidang maka statusnya sama dengan keterangan lisan di depan sidang. Hasil pemeriksaan dokter misalnya, biasanya selalu diberikan dengan tertulis, bahkan diberikan dan ditandatangani oleh tim.

Penulis sendiri sependapat untuk memberlakukannya juga dilingkungan Peradilan Agama, toh banyak manfaatnya, sedangkan hakim agama juga pasti banyak memerlukannya. Hanya saja untuk kewaspadaan, sebaiknya keterangan ahli dianggap satu keterangan saksi, dan harus didukung oleh alat bukti yang lain.

  1. C. Kesaksian Sebagai Alat Bukti

Saksi sebagai alat bukti adalah sangat kuat karena saksi itu melihat, mendengar dan merasa apa yang terjadi (suatu peristiwa), tapi tidaklah semua saksi dapat diterima dengan begitu saja tanpa adanya seleksi, maka saksi haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai saksi, sebagaimana telah dibahas oleh penulis pada bab sebelumnya.

Dalam mempergunakan saksi di muka sidang pengadilan agama hendaknya kita harus membedakan apakah saksi sebagai syarat hukum ataukah sebagai alat pembuktian. Sebab fungsi keduanya berbeda.

Misalnya, 2 orang saksi adalah sebagai syarat hukum untuk sahnya perkawinan, namun untuk membuktikan, adanya perkawinan tidak mesti dengan 2 orang saksi betul, melainkan dapat dengan cara lain, seperti dengan pengakuan kedua suami isteri dengan sumpahnya, dengan adanya akta nikah, dengan seseorang saksi ditambah sumpah dari salah seorang suami isteri dimaksudkan dan lain-lain. Hal-hal di atas ini diakui sendiri oleh para ahli hukum Islam.[39]

Pengadilan agama dalam hal ini, tentunya bukan bermaksud mau mengawinkan orang melainkan hanya untuk membuktikan ada atau tidaknya nikah. Jika saksi sebagai syarat hukum, rasanya kita sepakat  bahwa tanpa kesaksian 2 orang saksi yang beragama Islam perkawinan tidak sah.

Status saksi ada kalanya ia menempati sebagai syarat hukum dan adakalanya sebagai alat bukti bahkan ada kalanya ia menempati sebagai syarat  hukum sekaligus sebagai syarat pembuktian. Pada keadaan yang disebutkan terakhir ini kita harus menggunakan saksi disitu sebagai syarat hukum, sebab syarat pembuktian sudah sekaligus tercakup (implisit) di dalam syarat hukum, dengan kata lain, segala saksi yang memenuhi syarat hukum, otomatis memenuhi syarat pembuktian, tetapi tidak sebaliknya.

Oleh karena itu, para praktisi hukum di pengadilan agama harus membedakan status saksi antara status saksi sebagai syarat hukum agama Islam dengan status saksi sebagai alat bukti, untuk dapat mengetahui kedudukan saksi tersebut, tidaklah mungkin dilakukan oleh praktisi hukum kalau tidak mengetahui sepenuhnya hukum materil Islam, sedangkan saksi sebagai alat bukti merupakan pembenaran suatu peristiwa yang berkaitan dengan hukum formal.


[1]Lomba Sultan dan Halim Talli, Peradilan Islam dalam Lintasan Syari’ah (Makassar : tp. 2001), h. 100.

[2]Ibid

[3]Gemala Dewi, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005, h. 133.

[4]Lomba Sultan dan Halim Talli, op. cit., h. 100-101.

[5]Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia (Cet. VII; Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), h. 119.

[6] Lomba Sultan dan Halim Talli, loc. cit.,

[7]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Mekar Surabaya, 2002), h. 59

[8]H. Raihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama (Cet. VIII; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h. 148

[9]Abdul Kadir Muhammad, op. cit., h. 120-121.

[10]Anton M. Muliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. II; Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 779.

[11]H. Roihan A. Rasyid, op. cit., h. 152.

[12]Lihat, Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid 3 (Jakarta: al Maktabah al Khadimat al Haditsah, 1989), h. 318.

[13]H. Raihan A Rasyid op. cit., h. 152-153 .

[14]Departemen Agama RI, loc. cit.

[15]Ibid., h. 131

[16]Ibid., h.  60

[17]Ibid.,

[18]H. Raihan A Rasyid op. cit., h. 166.

[19]Sayyid  Sabiq  loc. cit

[20]Abdul Manan Penerapan Hukum Islam Perdata di Lingkungan  Peradilan Agama (Cet. IV; Jakarta : Kencana, 2006) h. 373.

[21]Lomba Sultan, op. cit., h. 105-106.

[22]Abdul Manan, loc. cit

[23]Ibid., h. 373-374

[24]R. Subketi dan R. Tjitrosudibo, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Cet. 35; Jakarta: Pradnya Paramita, 2004), h. 419.

[25]R. Subekti, Hukum Pembuktian (Cet. X; Jakarta: Pradnya Paramita, 1993), h. 7.

[26]Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Ed. IV, Cet. I; Yogyakarta: Liberty, 1993), h. 136.

[27]R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata (Cet. 4; Jakarta: Intermasa,  1992), h. 181.

[28]H. Raihan A Rasyid op. cit., h.  166.

[29]R. Subekti  Hukum Pembuktian, op. cit, h. 11.

[30]M. Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata (Cet. IV; Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 42.

[31]Gemala Dewi, op. cit., h. 135.

[32]Abdul Manan, op. cit.,  h. 257.

[33]Departemen Agama RI, op. cit., h. 131.

[34]H. Roihan A. Rasyid, op. cit., h. 171.

[35] Gemala Dewi, op. cit., h. 137.

[36]Ibid., h. 142

[37]Abdul Kadir Muhammad, op. cit., h. 143.

[38]M. Nor Rasaid, op. cit., h. 47.

[39]H. Raihan A Rasyid, op. cit., h. 153.