Faktor Penyebab Putus Sekolah

A.    Pengertian Putus Sekolah

Berdasarkan fakta yang kongkrit, bahwa setipan anak yang telah memasuki usia balita atau berusia sekitar 7 tahun akan membutuhkan pendidikan, baik itu pendidikan didalam rumah tangga maupun dalam lingkungan yang formal seperti sekolah, kursus atau bahkan dalam lingkungan masyarakat. Pendidikan tidak hanya di dapat melalui pendidikan formal atau yang sering disebut sekolah, tetapi pendidikan juga didapat dalam lingkungan informal yang bersumber dari keluarga, masyarakat dan lingkungan.

Untuk menghindari terjadinya perbedaan persepsi atau kesalah pahaman dalam persoalan pengertian pendidikan dan  putus sekolah, maka penulis akan lebih dahulu mencoba mengemukakan pengertian pendidikan itu sendiri.

Pendidikan dapat diartikan sebagai perbuatan mendidik, pengetahuan tentang mendidik.1 Pendidikan dapat pula diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai dan budaya masyarakat.

Pendidikan dapat pula diartikan sebagai sebuah proses timbal balik dari pribadi-pribadi manusia dalam menyesuaikan diri dengan manusia lain dan dengan alam semesta. Sedangkan pengertian sekolah menurut WJS. Poerwodarminta adalah bangunan atau lembaga untuk belajar dan memberi pelajaran.2

Berdasarkan penjelasan diatas, maka penulis dapat menarik kesimpulan bahwa pengertian putus sekolah adalah seseorang yang telah masuk dalam sebuah lembaga pendidikan baik itu pada tingkat SD, SMP, maupun SMA untuk belajar dan menerina pelajaran tetapi tidak sampai tamat atau lulus kemudian mereka berhenti atau keluar dari sekolah.

Pengertian putus sekolah dapat pula diartikan sebagai Drop-Out (DO) yang artinya bahwa seorang anak didik yang karena sesuatu hal, biasa disebabkan karena malu, malas, takut, sekedar ikut-ikutan dengan temannya atau karena alasan lain sehingga mereka putus sekolah ditengah jalan atau keluar dan tidak lagi masuk untuk selama-lamanya.3

2.     Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Putus Sekolah dan Kegagalan Pendidikan

Pendidikan adalah merupakan bagian terpenting dalam kehidupan manusia yang sekaligus dapat membedakan antara manusia dengan hewan. Hewan juga belajar, tetapi lebih ditentukan oleh instiknya. Sedangkan bagi manusia belajar berarti bahwa rangkaian kegiatan menuju pendewasaan guna mencapai sebuah kehidudpan yang lebih berarti. Oleh karena itu pendidikan atau yang lebih sering kita kenal dengan istilah sekolah adalah merupakan bagian dari suatu aktivitas yang sadar akan tujuan. Sekolah dalam hal ini pendidikan menempati posisi yang sangat sentral da nstrategis dalam membangun kehidupan secara tepat dan terhormat.

Pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu keharusan bagi setiap manusia secara keseluruhan. Setiap manusia berhak mendapatkan atau memperoleh pendidikan, baik secara formal, informal maupun non formal, sehingga pada gilirannya ia akan memiliki mental, akhlak, moral dan fisik yang kuat serta menjadi manusia yang berbudaya tinggi dalam melaksanakan tugas, kewajiban dan tanggung jawabnya di dalam masyarakat.

Namun jika kita melihat kenyataan dalam melaksanakan, khususnya mereka yang berada di Kecamatan Anggeraja  Kabupaten Enrekang ternyata kebanyakan anak-anak remaja mereka banyak yang putus sekolah dan memilih bekerja untuk membantu orang tua dalam hal menambah penghasilan orang tuanya. Hal inilah yang menyebabkan banyaknya remaja putus sekolah di Kecamatan Anggeraja Kabupaten Enrekang.

Adapun faktor-faktor penyebab banyaknya remaja putus sekolah di Kecamatan Anggeraja sebagai akibat kegagalan pendidikan adalah kurangnya sarana dan prasarana pendidikan serta kurangnya mutu pendidikan. Faktor lain yang menyebabkan banyaknya remaja putus sekolah adalah kurangnya ikhwal serta peranan orang tua dan juga banyaknya pengaruh lingkungan sosial.6

Adapun faktor lain yang menyebab banyaknya remaja putus sekolah dan kegagalan pendidikan menurut Bapak Umar Hatta salah satu guru di SMA Negeri I Anggeraja mengatakan bahwa ada 3 permasalahan pokok yang menyebabkan banyaknya remaja rawan DO atau putus sekolah sebagai berikut:

  1. Kurangnya perhatian atau pengawasan orang tua terhadap kegiatan belajar anak di rumah.
  2. Figur orang tua yang senantiasa melihat keberhasilan seseorang dari ukuran yang praktis dan pragmatis. Artinya dimata orang tua yang terpenting adalah si anak dapat cepat bekerja dan mencari uang sendiri.
  3. Kesadaran akan kebutuhan belajar anak kurang.7

Adapun faktor lain di luar faktor keluarga menurut pak Umar adalah masalah lingkungan sosial masyarakat desa, dimana sudah menjadi rahasia umum bahwa lulusan SLTP banyak yang tidak melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Lanjutan Atas (SMA), atau bahkan ke jenjang perguruna tinggi, tetapi malah mereka lebih memilih untuk mencari kerja.8

Selain itu ada juga faktor lain yang menyebabkan banyaknya remaja putus sekolah yang mengakibatkan pendidikan menjadi gagal adalah akibat media massa, dimana banyak remaja-remaja usia sekolah yang tergantung dan bahkan terpengaruh dengan hadirnya stasiun TV yang banyak menawarkan berbagai macam acara-acarah menarik, sehingga acapkali belajar pun rela mereka tinggalkan demi untuk mengikuti acara-acara di TV, seperti acarah-acarah sinetraon, Filem India, acara KDI, AFI, dan acara-acarah lain yang menarik, sehingga banyak remaja/pelajar yang lebih memili untuk menonton dari pada belajar dan mengerjakan tugas.

Faktor yang lain yang juga merupakan penyebab banyaknya remaja putus sekolah di Kecamatan Anggeraja yang pada akhirnya akan terjadi kegagalan pendidikan adalah masalah lingkungan sekolah, yang mana disekitar Kecamatan Anggeraja jumlah sekolah yang relati kurang . Faktor lain yaitu jarak antara sekolah dan rumah relatuf jauh, sehingga kebanyakan remaja mengatakan kepada orang tuanya bahwa mereka ke sekolah tetapi ternyata mereka tidak sampai di sekolah. Meskipun hal ini jarang terjadi namun kadang-kadang dapat mempengaruhi remaja untuk tidak masuk sekolah dan akhirnya tidal lagi melanjutkan sekolahnya atau dengan kata lain mereka telah putus sekolah. Kerasanya guru atau pengajar dalam memberikan sansi atau hukuman kepada siswa yang berbuat suatu kesalahan, terutama hukum yang bersifat fisik mengakibatnya banyaknya anak sekolah yang trauma dan akhirnya mereka lebih memilih untuk tidak melanjutkan sekolahhnya.

Adapun masalah keterbatasan dan kurangnya dorongan dari orang tua murid juga termasuk penyebab banyknya remaja putus sekolah sehingga menyebabkan mutu pendidikan menjadi rendah yang akhirnya terjadi kegagalan pendidikan. Kesibukan orang tua yang sangat padat, sampai-sampai tidak ada waktu juga untuk mengetahui serta membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh anak-anaknya di sekolah. Disamping itu tidak jarang pula terjadi akibat orang tua itu sendiri yang ternyata adalah sama sekali tidak pernah mengenal bangku sekolah, sehingga wajar jika mereka tidak mampu mendampingi anak-anaknya ketika mengerjakan PR di rumah.9

Kasus siswa atau remaja yang tinggal kelas atau bahkan putus sekolah dan prestasi belajar buruk/kurang bukan semata karena pengartuh TV. Memang diakui sebagai abak/remaja putus sekolah akibat pengaruh TV, namun ada faktor lain seperti faktor psikologis anak itu sendiri dalam banyak hal juga berpengaruh. Salah satu guru SD di Kecamatan Anggeraja  menuturkan bahwa adanya kebiasaan buruk dari murid-murid, yaitu bersikap cuek atau acuh tak acuh dalam menerima mata pelajaran dan mengerjakan PR. Didugah oleh Ibu Hajrah bahwa acapkali dirasakan murid-murid yang masuk kelas tanpa kurang bersemangat dan bahkan bersikap acuh terhadap penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh guru dimuka kelas, justru murid-murid sepertinya tampak gembira kalau guru menyatakan bahwa hari ini tidak ada pelajaran atau kosong.10 Terkadang juga sering kita jumpai banyak remaja-remaja entah sengaja atau tidak, tetapi sering meninggalkan bukunya di sekolah sehingga anak-anak pulang hanya orangnya sendiri saja tidak membawa pulang juga peralatan sekolahnya, sehingga jarang atau bahkan tidak pernah anak-anak belajar di rumah kalau tidak mendesak ada PR dan bahkan PR itu sering kali mereka kerjakan menjelang masuk sekolah.

Kurangnya waktu belajar yang cukup buat remajah/anak sekolah pada akhirnya membuat mereka kelabakan sendiri jika PR dari sekolah. Bisa dikatakan bahwa anak-anaka cenderung akan belajar hanya jika ada Prnya saja, jangankan belajar untuk materi yang akan datang, materi yang sudah diajarkan saja tidak jarang anak-anak tidak belajar untuk mengulangnya lagi. Seringkali didapati murid-murid mengerjakan PR secara dadakan, dengan membawa PR tersebut ke sekolah dan dikerjakan bersama-sama dengan teman-temananya yang lain yang kebetulan sudah mengerjakan PR. Biasanya mereka datang pagi-pagi sekali ke sekolah, dan menungguh teman-temannya yang sudah mengerjakan PR. Dengan berbekal PR pinjaman teman-temannya merekapun mencontek.11

Seperti halnya soaal standarisasi untuk menentukan seorang siswa layak atau tidak naik kelas, masalah pemberian sanksi bagi siswa yang tidak mengerjakan Rp, bagi seorang guru adalah sesuatu yang sangat dilematis. Di satu sisi jika guru bertindak lunak, tetapi di sisi yang lain jika guru bertindak kasar, mungkin siswa yang bersangkutan akan malas dan tidak masuk sekolah, atau bahkan pada akhirnya siswa tersebut lebih memilih untuk tidak lanjut lagi dan akhirnya mereka putus sekolah. Disamping itu, para guru umumnya juga menyadari bahwa untuk siswa yang sehari-harinya merangkap antara belajar dan bekerja, entah itu di rumah atau bekerja di sektor publik, faktor kelelahan pisik juga sangat mempengaruhi stamina siswa untuk dapat belajar dengan baik.

Menurut Bapak Ilham  yang sehari harinya bekerja sebagai ketua BP3 di SD Negeri ….. Anggeraja, faktor-faktor yang menyebabkan sehingga banyak remaja usia sekolah tidak naik kelas yang akhirnya memilih untuk tidak lanjut lagi/memilih untuk putus sekolah, sebenarnya sangat komplek. Secara garis besarnya ada 3 faktor utama yang menyebabkan prestasi belajar anak di sekolah tidak maksimal adalah sebagai berikut :

  1. Keadaan anak itu sendiri yang memang lebih senang bekerja dari pada belajar, bagi anak-anak yang senang bekerja ini karena mereka sudah tahu bagaimana enaknya kalau mendapatkan uang sendiri, sehingga mereka menganggap bahwa dengan adanya uang tersebut mereka dapat melakukan apa saja demi memenuhi keinginannya.
  2. Masalah ekonomi, dimana anak-anak disuruh untuk bekerja membantu orang tuanya untuk mencari uang demi tambahan penghasilan dan demi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
  3. Masalah kecerobohan orang tua dalam hal pengawasan, sehingga sering dijumpai orang tua dan anak sedang asyik menonton TV sampai larut malam, apalagi kalau ada stasiun TV yang menayangkan siaran langsung sepak bola.13

Walaupun disadari bahwa ketiga faktor di atas bukanlah satu-satunya faktor penyebab banyaknya remaja putus sekolah, namun faktor kemiskinan dalam banyak hal dipandang sebagai kondisi yang sifatnya sangat struktural, yang artinya bahwa masalah ekonomi memiliki peranan besar dalam memberikan kesempatan kepada anak-anak dari keluarga yang secara kenyataan memiliki ekonomi yang relatif kurang/keluarga miskin.

Seperti diketahui bahwa pada keluarga miskin di pedesaan khususnya di Kecamatan Anggeraja  umumnya masyarakat berpenghasilan yang relatif kurang yaitu antara RP. 300.000 sampai RP. 400.000 perbulan dimana hal ini hanya cukup untuk keperluan sehari-hari/pas-pasan, sekedar cukup untuk hidup dan makan saja. Kalau kemudian keluarga tersebut memaksakan diri untuk menyekolahkan anaknya secara penuh, maka dampak yang paling mereka rasakan, bukan pada biaya yang harus mereka tanggung untuk membiayai keperluan sekolah, tetapi yang justru mereka rasakan sangat berat adalah kemungkinan mereka akan kehilangan satu sumber penghasilan keluarga yang produktif yang selama ini disumbangkan oleh pekerjaan anak itu bagi orang tuanya.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, biasanya setiap orang tua yang memiliki ekonomi lemah/miskin mengambil 3 pilihan untuk menjembatami dua kepentingan yang bertolak belakang, keinginan untuk menyekolahkan anak dan keharusan anak untuk bekerja demi membantu penghasilan orang tua.


1Drs. Khaeruddin., Ilimu Pendidikan Islam. (Cet. I; CV. Berkah Utami, Makassar, 2003), h.2.

2Lihat W.J.S. Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia., (Cet. XV; Jakarta: CV……, h. 889.

3Bangong Suyanto et-al (Ed)., Pekerjaan Anak di Sektor Berbahaya., (Cet. I; Surabaya: Lutfansah Mediatama, 2001), h. 77.

6 Lihat Bagong Suyanto, et-al (Ed)., Ibid . h. 80.

7Umar Hatta., Wawancara di Anggeraja pada tanggal…….. 2005

8Lihat Ibid., h. 81.

9 Lihat Ibid., h. 81

10 Ibu Hajrah., Guru SD….. , Wawancara, di Cakke, tanggal 25 pebruari 2005.

11Lihat Ibid., h. 86.

13Bapak….., Wawancara di Cakke pada tanggal …2005