Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab. Karena itu ada anggapan bahwa setiap orang yang mengerti bahasa Arab mengerti isi Al-Qur’an. Lebih dari itu, ada orang yang merasa telah dapat memahami dan menafsirkan Al-Qur’an. Lebih dari itu, ada orang yang merasa telah dapat memahami dan menafsirkan Al-Qur’an dengan bantuan terjemahannya sekalipun ia tidak mengerti bahasa Arab. Anggapan seperti itu sebenarnya keliru. Sebab, banyak orang yang mengerti bahasa Arab, tetapi tidak mengerti isi Al-Qur’an. Karena itu, tidak mengherankan bila orang Arab sendiri banyak yang tidak mengerti kandungan Al-Qur’an. Bahkan di antara para sahabat dan tabiin ada yang salah memahami Al-Qur’an, karena tidak memiliki instrumen untuk memahaminya, yaitu ilmu-ilmu Al-Qur’an.
Sebagaimana kita ketahui bahwa ulumul qur’an adalah ilmu yang mencakup pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan Al-Qur’an al-Karim, dari segi pengetahuan tentang sebab-sebab turunnya, pengumpulan Al-Qur’an dan urut-urutannya, pengetahuan tentang ayat Makkiyah dan Madaniah, dan hal-hal lain yang ada hubungannya dengan Al-Qur’an.
Sebelum membahas mengenai hubungan antara Ulumul Qur’an dengan tafsir, maka kita harus lebih dahulu mengemukakan hal-hal yang berhubungan dengan tafsir.
Kata tafsir, diambil dari kata tafsirah, yaitu : perkakas yang dipergunakan tabib untuk mengetahui penyakit orang sakit. Hal ini dapat dimaksudkan bahwa tafsir adalah alat yang digunakan untuk mengetahui kandungan yang tersimpan dalam Al-Qur’an.
Menurut bahasa, tafsir berarti “menerangkan dan menyatakan”. Sedangkan menurut istilah, artinya adalah menerangkan ayat-ayat Al-Qur’an, baik menerangkan artinya, maksud yang terkandung di dalamnya atau pun mengenai kandungan isinya, baik dengan ketentuan yang jelas atau dengan isyarat.
As Zarkasyy dalam Al-Burhan berpendapat bahwa tafsir adalah menerangkan makna-makna Al-Qur’an dan mengeluarkan hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya.
Sementara itu, Kata Al-Jurjany bahwa tafsir, pada asalnya ialah : “membuka dan melahirkan”. Pada istilah syara’ yaitu : menjelaskan makna ayat, urusannya, kisah dan sebab yang karenanya diturunkan ayat, dengan lafadh yang menunjuk kepadanya secara terang.
Untuk menjelaskan dan menafsirkan tentang ayat-ayat dalam Al-Qur’an, seseorang harus mempunyai pengetahuan yang mantap tentang ulumul Qur’an. Dengan demikian, maka antara Ulumul Qur’an dan tafsir mempunyai hubungan yang sangat erat sekali. Ulumul Qur’an amat menentukan bagi seseorang yang ingin menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara tepat dan dapat dipertanggung jawabkan. Bagi seorang mufassir, maka ulumul Qur’an secara mutlak merupakan yang harus lebih dahulu dikuasainya, sebelum ia mulai memberikan tafsir terhadap ayat-ayat Al-Qur’an.
Seperti halnya dalam bidang Hadits, maka seorang muhadis yang akan menerangkan hadits memerlukan ilmu-ilmu hadits. Demikian juga dalam tafsir, maka sebelum seorang mufassir menerangkan dan menafsirkan Al-Qur’an, terlebih dahulu harus juga menguasai ilmu-ilmu tafsir, atau yang lazim disebut sebagai ulumul Qur’an atau ilmu-ilmu Al-Qur’an.
Sudah barang tentu, di samping ulumul Qur’an sebagai pokok maka juga diperlukan ilmu-ilmu lain sebagai pembantu yang harus dikuasai oleh seorang mufassir, antara lain :
- Ilmu-ilmu bahasa Arab (Nahwu, Saraf dan Balaghah). Kata mujahid : “Orang yang tidak mengetahui seluruh bahasa Arab, tidak boleh baginya menafsirkan Al-Qur’an”.
- Ilmu Hadits. Penafsiran yang dilarang adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan tidak memperdulikan sunnah dan kaedah-kaedah yang ditetapkan.
- Ilmu Ushulul Fiqih
- Ilmu Qiraat. Dengan ilmu ini dapat diketahui bagaimana kita menyebut kalimat-kalimat Al-Qur’an dan dengan dialah kita dapat menafsirkan makna yang terkandung di dalamnya.
Seperti yang dikemukakan di atas bahwa menafsirkan Al-Qur’an berarti menerangkan ayat-ayatnya. Seorang mufassir baru dapat memberikan uraian dan keterangan sesuai dengan maksud ayat tersebut secara tepat dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya, apabila ia sebelumnya menguasai ulumul Qur’an tersebut. Dengan kata lain, setelah ia memahami dan menguasai ulumul Qur’an, baru ia akan mampu memberikan tafsir atau takwil terhadap sesuatu atau beberapa ayat-ayat Al-Qur’an. Dengan ulumul Qur’an seseorang baru bisa membuka dan menyelami apa yang terkandung di dalam Al-Qur’an.
Dengan demikian, maka ulumul Qur’an berfungsi sebagai kunci pembuka terhadap penafsiran Al-Qur’an sesuai dengan maksud apa yang terkandung di dalamnya. Sedangkan kedudukannya sebagai ilmu yang pokok, yang merupakan alat yang diperlukan bagi setiap mufassir.
Apabila dilihat dari segi lain, maka ulumul Qur’an juga dapat merupakan ukuran atau standar bagi tafsir Al-Qur’an. Artinya, semakin tinggi dan mendalam ulumul Qur’an dikuasai oleh seorang mufassir, maka tafsir yang diberikannya juga akan semakin mendekati kebenarannya. Oleh karena itu, maka selain berfungsi sebagai kunci pembuka, ulumul Qur’an juga dapat berfungsi sebagai standard terhadap tafsir Al-Qur’an yang dibuatnya. Fungsi sebagai standar, yaitu dengan ulumul Qur’an akan dapat dibedakan antara tafsir yang shahih dan yang tidak shahih.
Referensi :
- Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/ Tafsir, Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Jakarta : Penerbit Bulan Bintang, 1980.
- Ulumul Qur’an (Edisi Revisi), Drs. H. Ramli Abdul Wahid, MA. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
- 3. Ulumul Qur’an