Tinjauan tentang Perwakafan di Indonesia

A. Pengertian Wakaf dan Dasar Hukumnya

Perkataan wakaf yang menjadi wakaf dalam bahasa Indonesia, berasal dari kata kerja bahasa Arab (???) yang berarti menghentikan, berdiam di tempat atau menahan sesuatu. [1]

Sedangkan menurut istilah, pengertian wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau bahkan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekakayaan yaitu berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan-peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.[2]

Perbuatan mewakafkan adalah sebagai suatu persembahan harta di jalan Allah swt. yang sifatnya adalah keagamaan dan suci, sangat besar pahalanya menurut ajaran Islam karena perbuatan mewakafkan merupakan amal yang tetap mengalir pahalanya meskipun pewakaf itu telah meninggal dunia.

Hal ini adalah berdasarkan ketentuan ajaran agama dengan tujuannya adalah taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah swt. yaitu untuk mendapatkan kebaikan dan mengharapkan ridha-Nya, perbuatan mewakafkan harta ini adalah lebih utama dan jauh lebih besar pahalanya daripada bersedekah biasanya, karena sifat perbuatan mewakafkan benda adalah bersifat kekal dan pahalanya pun adalah lebih besar.

Pahala bagi orang yang mewakafkan harta bendanya akan mengalir terus kepada siapa yang mewakafkan tersebut. Walaupun yang mewakafkan hata benda itu telah meninggal dunia.

Peranan harta wakaf ini amatlah besar bagi kehidupan masyarakat dan lebih-lebih bagi perkembangan serta kemajuan bangsa dan negara, maka kalau setiap orang yang beragama Islam bersedia dengan hati ikhlas untuk mewakafkan harta bendanya menurut kemampuan mereka atau kesanggupan yang mereka miliki, maka keadaan masyarakat, penduduk dan umat Islam secara khusus akan bertambah maju dan berkembang dengan kehidupan secara aman, damai serta rukun dan sejahtera.

Di dalam pengertian yang lain, wakaf dapatlah diartikan dengan “wakaf” menurut bahasa Arabnya adalah (?????) yang berasal dari kata kerja    ???-  ???? – ???? yang mempunyai pengertian, yaitu menjauhkan orang dari pada sesuatu atau mengarahkan, dan kemudian kata ini berkembang menjadi (???) yang berarti mewakafkan harta benda karena Allah swt.[3]

Pengertian tersebut di atas, merupakan pengambilan kata-kata yang berkaitan dengan mengemukakan arti kata wakaf dan dengan timbangan persamaan akan yang terkandung dalam suatu kata. Adapun pengertian dari kata wakaf itu sendiri adalah kata:

(???)   : fi’il madhi artinya kata kerja

(???)    : Fi’il mudhari artinya bentuk dari jamak mufrad

(????)     : Isim masdar artinya penggunaan kata kerja

Yang berarti berhenti atau berdiri.[4] Sedangkan pengertian wakaf dalam syariat adalah “menahan harta yang mungkin diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau merusak bendanya yang dipergunakan untuk kebaikan”. Yang dimaksud oleh syariat dalam hal ini menyimpan harta wakaf atau diwakafkan tersebut agar dapat dimanfaatkan bentuk wujudnya dengan tidak menjadikan barang yang diwakafkan hilang atau rusak.

Sedangkan pengertian wakaf menurut apa yang telah dirumuskan dalam Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik adalah:

Perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya, untuk kepentingan umum (kepentingan peribadatan atau lainnya) sesuai dengan ajaran agama Islam.

Ahli berbuat kebaikan adalah pemakaian kata-kata yang digunakan dalam istilah fikih Islam, yang dipahami dengan orang yang mempunyai ilmu pengetahuan di dalam urusan perwakafan dan ahli di dalam bidang perwakafan tanah milik, sehingga hal ini dianggap tidak dapat diragukan segala tindakannya, dan amat berbeda dengan orang yang bodoh, maka hal ini berakibat lain dan bahkan akan menimbulkan permasalahan yang perlu penyelesaiannya, karena orang yang bodoh atau tidak ahli dalam perwakafan tanah milik akan selalu diragukan diperhatikan dalam setiap prakteknya.

Kemudian perkataan “mubadzir” dalam hal ini diartikan sebagai orang yang membuang-buang harta miliknya kepada jalan yang tidak diridhai oleh Allah, karena perbuatan orang yang demikian ini dapat merugikan dirinya sendiri, masyarakat dan umumnya dan keluarga yang amat memerlukan harta tersebut, dan perbuatan “mubadzir” ini sangat dibenci oleh Allah karena perilaku ini sama dengan perilaku syaitan. Firman Allah swt. QS. Al-Isra’ (17): 27.

??????????????? ??????? ????????? ????????????? ??????? ???????????? ????????? ????????

Terjemahnya:

Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.[5]

Ayat tersebut berkaitan dengan harta benda lihat Tafsir Ibnu Katsir, Juz 3, halaman 36.

Menurut penjelasan ayat tersebut di atas, bahwa perilaku “mubadzir” adalah disamakan dengan perbuatan syaitan dan syaitan adalah musuh Allah dan sekaligus musuh yang nyata bagi manusia, maka perlu dan wajib dilawan. Hal ini disebabkan perkara mewakafkan tanah milik tidaklah dipandang sebagai pemborosan dan sangat bernilai di hadapan Allah swt.

Demikian pula dengan istilah baligh adapun yang dimaksud dengan istilah baligh dalam hal ini adalah orang yang telah mampu untuk membedakan mana yang baik ataupun buruk untuk dilakukannya, dewasa dalam berfikir dan bertindak sehingga segala perilakunya dapat dipandang sebagai suatu yang baik dan berguna bagi dirinya sendiri atau bagi keluarganya dan masyarakat pada umumnya. Demikian pula dewasa dalam menyelesaikan permasalahan perwakafan menurut akal pikirannya yang sehat.

Masalah syarat-syarat bagi wakaf adalah dimaksudkan bagi barang yang diwakafkan oleh si wakif, yang ditentukan persyaratan sebagai berikut:

  1. Barang atau benda yang diwakafkan tidak rusak atau habis ketika diambil manfaatnya;
  2. Kepunyaan orang yang berwakaf (wakif), benda yang bercampur haknya dengan orang lain pun boleh diwakafkan seperti halnya boleh dihibahkan ataupun disewakan;
  3. Bukan barang haram atau najis.[6]

Sedangkan bagi orang atau pihak atau pihak-pihak yang akan menerima wakaf (mauquf alaih) berlaku pula dengan ketentuan, yaitu orang yang ahli memiliki, seperti syarat-syarat bagi orang yang berwakaf (wakif) artinya orang menerima harta wakaf yang diwakafkan oleh wakif itu adalah berakal (tidak gila), baligh tidak mubadzir (boros). Sebagai penegasan atau penjelasan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dengan memperhitungkan atau membandingkan amal perbuatan dalam masa kehidupan ummat manusia yang selanjutnya akan mengalami kematian. Hadits Nabi tersebut adalah:

Artinya:

Dari Ibnu Umar ra. Berkata: Umar mendapat sebidang tanah di Khaibar, lalu datang kepada Nabi saw. untuk meminta fatwanya tentang tanah itu ia berkata: Ya Rasulullah, saya dapat sebidang tanah di Khaibar dan saya tidak dapatkan barnag yang lebih baik buat saya daripadanya. Maka Rasulullah saw. bersabda, kalau engkau mau tahanlah batangnya dan sedekahkanlah ia, Ibnu Umar berkata: lalu Umar mensedekahkannya, batangnya tidak dijual dan tidak diwariskan. Ia sedekahkan kepada orang-orang fakir kerabat-kerabat, hamba sahaya, sabilillah, musyafir yang kehabisan bekal dan untuk tamu. Dan pengurus tanah itu boleh makan hasilnya dengan cara yang baik dan ia memberi makan sahabatnya dengan tidak mengambil harta (HR. Bukhari Muslim).

B. Unsur-unsur dan Syarat-syarat Wakaf

Dalam beberapa kitab fiqh Islam, masalah wakaf ini merupakan pembahasan yang amat rinci, walaupun dalam praktek pelaksanaan perwakafan ini mengalami banyak permasalahan dan permasalahan tersebut bukan saja muncul di dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya Indonesia, tetapi juga terjadi di berbagai negeri yang lain yang mempunyai masalah yang sama, yaitu praktek penyelesaian harta wakaf.

Sebenarnya untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan perwakafan yang timbul di dalam masyarakat adalah dikembalikan dengan tuntunan dengan dalam Al-Qur’an, hadits dan kitab-kitab yang memberikan penjelasan dan keterangan tentang aturan penyelesaiannya, termasuk juga aturan perundang-undangan yang diberlakukan bagi suatu kondisi masyarakat dimana praktek pelaksanaan wakaf ini dilaksanakan.[8]

Demikian pula dalam lebih jelasnya, harus mengetahui tentang apa saja yang termasuk unsur dan syarat dari wakaf itu sendiri. Adapun unsur-unsurnya adalah:

  1. Orang yang berwakaf (wakif)
  2. Benda yang diwakafkan (mauquf)
  3. Penerima wakaf (mauquf alaih)
  4. Lafaz atau pernyataan penyerahan wakaf (shighat)[9]
  5. Dewasa
  6. Berakal sehat
  7. Atas kehendak sendiri tanpa paksaan orang lain
  8. Benda itu bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan, dan sengketa.[10]

Bagi orang yang berwakaf (wakif) disyaratkan bahwa ia adalah orang yang “ahli berbuat baik” dan perbuatan mewakafkan yang dilakukannya itu adalah secara suka rela dan bukan karena ia dipaksa, seperti juga dengan disyaratkan bagi si penjual dan pembeli, maka yang dimaksudkan dengan “ahli berbuat baik” di sini adalah orang yang mempunyai akal (yaitu tidak gila atau tidak bodoh) tidak mubadzir (karena harta orang mubazir berada di bawah penguasaan walinya), dan baligh.

Untuk mewakafkan harta benda wakaf, maka diperlukan penjelasan atau keterangan tentang siapa yang diwakafkan benda wakaf tersebut, karena orang yang akan menerima benda wakaf yang diwakafkan oleh si wakif telah berada di tempat terjadinya perwakafan. Oleh karena itu, tidaklah sah satu benda untuk anak yang belum lahir, dan tidaklah dianggap sah wakaf kalau seseorang misalnya berkata: “Saya wakafkan rumah ini” karena tidak terang ataupun jelas pada siapa diwakafkan serta apa manfaatnya mewakafkan harta benda tersebut, maka kalau si penerima harta wakaf itu adalah pihak-pihak tertentu, sebahagian ulama berpendapat bahwa dalam hal ini perlu adanya istilah “qabul” (jawaban penerima harta wakaf) akan tetapi kalau wakaf tersebut ditujukan untuk kepentingan umum belaka, maka tidak perlu adanya istilah “qabul” (jawaban penerima harta wakaf).[11]

Di samping persyaratan-persyaratan yang disebutkan di atas, maka terdapat pula persyaratan yang sifatnya adalah umum, dan hal ini sangat perlu untuk diperhatikan di dalam melaksanakan wakaf di antaranya:

  1. Tujuan wakaf tidak boleh bertentangan dengan kepentingan agama Islam
  2. Jangan memberikan batas waktu tertentu di dalam perwakafan, karena itu tidak sah kalau seseorang menyatakan: “Saya mewakafkan kebun ini satu tahun”;
  3. Tidak mewakafkan benda wakaf/barang yang semata-mata menjadi larangan Allah swt. tentang bisa menimbulkan fitnah;
  4. Kalau wakaf diberikan melalui wasiat yaitu baru terlaksana setelah si wakif meninggal, maka nilai harta wakaf yang dapat diwakafkan tidak boleh lebih dari 1/3 bagian jumlah maksimal yang diwasiatkan.[12]

C. Macam-macam Harta yang dapat Diwakafkan

Tentang segala sesuatu yang menyangkut harta yang dapat diwakafkan, maka perlu dijelaskan bagaimana sifat dari wakaf, yaitu menahan suatu benda dan memanfaatkan hasilnya, agar dapat berkesinambungan manfaat benda wakaf tersebut. Oleh karena itu, benda wakaf haruslah bertahan lama, dan tidak cepat rusak, namun demikian, wakaf tidaklah terbatas pada benda-benda yang tidak bergerak saja, akan tetapi dapat pula berupa benda-benda yang bergerak.

Dengan demikian dapatlah ditegaskan bahwa macam-macam harta yang dapat diwakafkan yaitu:

  1. Benda tidak bergerak, seperti tanah, sawah dan bangunan. Benda-benda macam inilah yang sangat dianjurkan untuk dapat diwakafkan, karena mempunyai nilai jariyah yang lebih lama, dan hal inilah yang sejalan dengan praktek wakaf yang dilaksanakan dan dijalankan oleh para sahabat terutama Umar bin Khattab atas tanah Khaibar dengan adanya perintah dari Rasulullah saw. Demikian pula yang dilakukan oleh Bani al-Najjar yang mewakafkan sebuah bangunan berdinding pagarnya kepada Rasulullah agar dipergunakan untuk kepentingan umum, yaitu masjid.
  2. Benda yang bergerak, misalnya mobil, sepeda motor, bidang ternak dan benda-benda lainnya dan yang disebutkan terakhir yaitu binatang ternak dan benda-benda lainnya inilah yang juga diwakafkan. Tetapi demikian nilai jariyahnya terbatas hingga benda-benda tersebut dapat dipertahankan. Bagaimanapun juga, apabila benda-benda itu tidak dapat lagi dipertahankan keberadaannya, maka selesailah wakaf tersebut. Terkecuali apabila masih memungkinkan diupayakan untuk dapat ditukar atau diganti dengan benda yang baru yang lain.[13]

Sementara itu, para ulama ada yang membagi harta benda wakaf itu kepada benda yang berbentuk masjid atau benda yang bukan masjid, yang berbentuk masjid sudah jelas, termasuk benda-benda yang tidak bergerak. Dan untuk benda-benda yang bukan berbentuk masjid, dibagi seperti pembagian terdahulu, yaitu benda-benda yang tidak bergerak dengan benda-benda yang bergerak. Di dalam Kompilasi Hukum Islam tidak disebutkan apakah benda berwujud dan tidak berwujud, misalnya hak cipta/hak paten apakah dapat diwakafkan atau tidak, karena hak cipta atau hak paten sudah diatur dalam Undang-undang tentang hak cipta hal ini tercakup di dalam hukum perdata.

Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 menekankan peraturannya pada tanah milik, sebagai benda tak bergerak. Ini tidak berarti bahwa wakaf untuk benda bergerak tidak dimungkinkan. Kemungkinan itu dapat terjadi, misalnya seseorang mewakafkan buku-bukunya untuk kepentingan umum, seseorang ingin mewakafkan pengeras suara dan lain-lain.

Menurut KHI jika benda yang diwakafkan berupa benda tidak bergerak, maka harus disertai surat keterangan dari Kepala Desa yang diperkuat oleh Camat setempat yang menerangkan benda tidak bergerak yang dimaksud.[14]

Tanah wakaf sebagai lembaga sosial Islam pada hakekatnya mempunyai fungsi yang sama dan dapat digunakan sebagai salah satu sumber daya ekonomi. Artinya penggunaan tanah wakaf tidak terbatas hanya untuk keperluan kegiatan-kegiatan tertentu saja seperti pendidikan, masjid, rumah sakit, panti asuhan dan lain-lain tetapi tanah wakaf dalam pengertian makro dapat pula dimanfaatkan untuk kegiatan ekonomi, seperti pertanian, termasuk mixed farm (pertanian dan peternakan) industri dan pertambangan, real estate, office building, restoran, dan lain-lain kedudukan tanahnya tetap, sebagai tanah wakaf, tetapi hasilnya mungkin dapat dimanfaatkan secara lebih optimal, dari pada misalnya wakaf hanya digunakan untuk sarana-sarana yang terbatas saja. Tentu saja ummat Islam tidak perlu dimanfaatkan semua tanah wakaf untuk tujuan-tujuan produktif saja, tetapi hal ini dapat dianggap sebagai salah satu alternatif untuk mengoptimalkan fungsi wakaf itu.

Peran serta masyarakat swasta kecuali menyediakan tanah (lahan) wakaf itu sendiri, juga pihak swasta diharapkan bersedia menjadi sponsor dalam usaha-usaha yang dilakukan. Mungkin secara garis besar kegiatan optimalisasi tanah wakaf secara ekonomis dapat dikategorikan ke dalam kelompok:

–          Usaha-usaha pertanian, peternakan dan pembudidayaan ikan, udang dan yang lain-lain yang dibenarkan syara’

–          Usaha-usaha industri, pabrik genteng, ubin, dan lain-lain ke dalam kelompok ini tidak tertutup kemungkinan industri ringan dan berat

–          Usaha-usaha dalam real estate, perkantoran, perhotelan, rumah makan dan lain-lain yang tidak bertentangan dengan syara’.[15]

Melihat penjelasan yang digambarkan tersebut, maka dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwa keseluruhan dari pada benda-benda yang bergerak maupun yang tidak bergerak tersebut dapatlah diwakafkan, apabila termasuk dalam kategori atau golongan benda yang disebut sebagai bentuk benda-benda yang bergerak atau bentuk benda-benda yang tidak bergerak.

D. Sejarah Singkat Perwakafan di Indonesia

Wakaf sebagai suatu institusi keagamaan di samping berfungsi “ubudiyah” juga berfungsi sosial, karena wakaf adalah sebagai suatu pernyataan dari perasaan iman yang mantap dan rasa solidaritas yang amat tinggi antara sesama ummat manusia. Oleh karena wakaf adalah salah satu usaha untuk mewujudkan dan memelihara (??? ?? ???? ) dan (??? ?? ?????), maka di dalam fungsinya sebagai suatu ibadah, maka wakafpun akan menjadi bekal kehidupan si wakif (orang yang mewakafkan harta) di hari kemudian.

Wakaf sebenarnya telah dipraktekkan oleh orang-orang yang terdahulu sebelum agama Islam datang meskipun belum dinamakan dengan istilah “wakaf”. Demikianlah hasil penelitian Muhammad Abu Zahrah. Hal ini dikarenakan tempat-tempat ibadah berdiri secara permanen, hal-hal yang tersedia di antaranya berupa kebutuhan operasional diberikan oleh pendiri-pendiri tempat ibadah tersebut, agar dapat dipergunakan untuk menunjang kegiatan-kegiatan ibadah. Hal inilah yang mampu menunjukkan bahwa cara tersebut sama dengan istilah “wakaf”.[16]

Seperti halnya dengan jual beli, sewa menyewa atau urusan pernikahan dan lain sebagainya adalah mode daripada transaksi yang sebelumnya telah ada dan dipraktekkan oleh orang-orang. Maka Islampun mengakuinya dan kemudian dimasukkan aturan untuk dapat menghindari ataupun menanggulangi dari penipuan dan dimasukkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan.

Dalam ajaran Islam “wakaf” tidak terbatas pada tempat-tempat ibadah saja, atau hal-hal yang menjadi prasarana dan sarananya saja, akan tetapi diperbolehkannya di dalam semua macam sedekah yang sifatnya dapat tahan lama dan dapat dipergunakan oleh orang-orang demi kemaslahatan. Seperti galian sumur, tikar shalat, dan sebagainya serta kepada semua kegiatan yang bermaksud untuk dapat mendekatkan diri kepada Allah swt. (taqarrub ila Allah), misalnya pemberian kepada keluarga dan lain-lainnya yang hal ini belumlah terdapat di dalam tatanan ajaran agama Islam sebelumnya.[17]

Melihat sejarah perkembangan yang dialami oleh seluruh umat Islam dari zaman ke zaman, maka hukum Islam mempunyai pengaruh yang amat besar bagi perkembangan dan jalannya roda hukum di Indonesia, di antara sebab-sebabnya adalah karena + 90% penduduk di Indonesia adalah penganut agama Islam.

Di samping besarnya pengaruh penduduk yang beragama Islam juga agama Islam berbeda dengan ajaran agama lainnya yang hanya dapat mengatur tentang hubungan Tuhan saja, akan tetapi ajaran agama Islam adalah mengatur seluk beluk kehidupan umat manusia di alam dunia ini dan mengatur pula berbagai hubungan, baik itu hubungannya dengan manusia dengan Tuhannya (aqidah dan ibadah) maupun hubungan manusia dengan manusia lainnya dalam bentuk muamalah yaitu dalam bentuk tata aturan hukum-hukum.[18]

Bidang hukum sangatlah dominan dalam ajaran agama Islam, sehingga para orientalis sering menyebut ajaran agama Islam ini dengan istilah “Muhammadan Law” atau yang disebut dengan “Hukum Muhammad”, begitu dominannya hukum Islam di dalam bentuk aturan-aturan tingkah laku manusia sehingga di antara lukisan lambang orang-orang pembangun hukum Islam di dunia yang dipahat di dinding Mahkamah Agung Amerika Serikat adalah ajaran Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw.[19]

Sebuah kerajaan kolonial Belanda datang di Indonesia banyak kerajaan-kerajaan pemerintahannya yang dikendalikan oleh raja-raja beragama Islam, sehingga hukum yang berlaku dalam kerajaan tersebut adalah ajaran agama Islam.

Sebagai badan hukum yang melaksanakan ajaran agama Islam pada waktu itu di antara satu tempat dengan tempat lain tidak ada keseragaman, masing-masing mempunyai nama-nama tersendiri. Umpamanya di Jawa disebut “Pristerrad” atau “Rad agama” di Sulawesi Selatan sebagai hakim syara’ dan demikian pula di lain tempat lainnya.[20]

Peranan dan fungsi badan hukum tersebut di atas, merupakan bentuk wujud dari diundang-undangkan adanya ketetapan hukum yang menangani atau mengatur masalah peradilan dan di dalamnya terdapat pembahasan hukum perwakafan dengan segala seluk beluknya.

Dengan pengaruh yang dialami oleh perkembangan dan pembentukan hukum di negara Indonesia maka perlu untuk menyusun kekuatan tata aturan atau perundang-undangan hukum yang wajib dipedomani, selain itu pula haruslah dapat mengimbangi adanya etika hukum yang berlaku yaitu baik dan buruknya, adil atau tidaknya, cocok atau tidaknya dan segala bentuk pengembangan kebutuhan masyarakat, oleh karena itu maka ada hubungannya dengan ditaati atau tidaknya hukum itu dalam suatu kondisi masyarakat.

Jadi ketaatan pada hukum yang berlaku, erat kaitannya dengan kesadaran hukum, karena tanpa kesadaran hukum sukar diharapkan orang akan taat akan hukum tetapi semakin tinggi tingkat kesadaran hukum seseorang semakin tinggi pula ketaatannya pada hukum. Sebaliknya kesadaran hukum yang rendah akan mengakibatkan kurangnya kepatuhan atau ketaatan terhadap hukum.

Dalam kenyataannya kesadaran hukum akan terbina dengan baik apabila hukum yang diciptakan tersebut sesuai dengan perasaan dan keyakinan religius, yang mayoritas beragama Islam, maka setiap norma hukum yang diciptakan harus diusahakan tidaklah bertentangan dengan adanya keyakinan masyarakat terhadap ajaran agama yang dianutnya dan adapun peraturan hukum yang bertentangan dengan keyakinan mereka maka kesadaran hukum pasti tidak dapat berjalan lancar.

Oleh karena itu, dalam pembinaan hukum nasional kita tidak dapat dihindari bahwa materi hukum Islam harus pula diperhatikan demi ketertiban di dalam kehidupan masyarakat pada umumnya. Menyia-nyiakan keyakinan dan kesadaran hukum maka masyarakat akan dapat menimbulkan keresahan yang akan berpengaruh terhadap stabilitas masyarakat tersebut.

Hal ini sesuai dengan politik hukum yang digariskan dalam GBHN tentang pembinaan hukum nasional dengan antara lain mengadakan pembaharuan serta unifikasi hukum di bidang-bidang tertentu dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum dalam masyarakat dan atas dasar itu pula pemerintah secara berangsur-angsur menciptakan peraturan perundang-undangan yang dapat diterima oleh masyarakat Islam secara khusus dan masyarakat lainnya yang bukan beragama Islam, seperti Undang-undang Perkawinan, kewarisan dan perwakafan, UU No. 7 tahun 1989 dan Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.[21]

Sebelum dilahirkannya Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977 tentang hukum perwakafan tanah milik di Indonesia, maka di dalam pelaksanaan wakaf di Indonesia ternyata ketentuan adanya nadzir bagi harta wakaf dalam persyaratan seperti yang disebutkan dalam berbagai kitab-kitab fikih, belum sepenuhnya mendapat perhatian masyarakat pada umumnya dan khususnya pihak yang berwakaf, karena pada diri si wakif yang amat menonjol adalah dilihat dari sisi ibadah dari praktek perwakafan, oleh karena itu boleh jadi seorang wakif (yang mewakafkan harta) tidak memperhitungkan tentang siapa yang akan memangku jabatan nadzirnya, ataupun tanpa memperhitungkan nadzir yang ditunjuknya apakah memenuhi syarat atau tidak untuk menjadi nadzir.

E. Bentuk-bentuk Perwakafan

Di dalam bentuk-bentuk wakaf yakni penulis membagi kepada dua bagian:

  1. Wakaf untuk keluarga
  2. Wakaf untuk umum (masyarakat)

Mengenai wakaf untuk keluarga, termasuk memberikan tunjangan hidup bagi keturunan seseorang keluarganya yang dianggap suatu wakaf yang wajar dan sah. Tetapi sesuatu wakaf yang objeknya untuk keluarga, hanya dapat diganggu jika dengan sistem keluarga yang keturunannya sudah punah atau tidak ada lagi, maka secara otomatis penggunaan dari wakaf jatuh kepada kepentingan umum, utamanya fakir miskin.

Memperhatikan sarana atau objek pemanfaatan harta yang berfungsi sosial seperti zakat, infak dan wakaf, pada prinsipnya ide yang seperti ini terdapat pula pada hukum positif, yaitu UUD 1945 Pasal 34 yang berbunyi “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”.[22]

Selanjutnya mengenai wakaf untuk keluarga ini atau wakaf khusus, adalah wakaf yang harus diperuntukkan bagi orang-orang tertentu, seorang atau lebih, baik ia keluarga wakif atau orang lain.

Di sisi lain seperti wakaf umum atau wakaf khairi yaitu wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan atau kemaslahatan umum. Wakaf jenis ini sifatnya sebagai lembaga keagamaan atau lembaga sosial dalam bentuk mesjid, madrasah, pesantren, asrama, rumah sakit, tanah kuburan dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, wakaf al-khairi atau wakaf umum ini dinilai yang paling sesuai dengan ajaran Islam dan dianjurkan pada orang yang mempunyai harta untuk melakukannya guna memperoleh pahala yang terus mengalir bagi orang yang bersangkutan kendatipun ia telah meninggal, selama wakaf itu masih dapat manfaatnya.[23]

Adapun yang termasuk wakaf umum, seperti: sekolah, rumah sakit, masjid, tetapi seseorang tidak dapat mempersembahkan untuk wakaf dengan sah sesuatu rumah judi, suatu toko anggur atau suatu toko yang menjual daging babi.

F. Tujuan dan Fungsi Wakaf

  1. Tujuan Wakaf

Wakaf merupakan ibadah yang mengandung dua dimensi, yaitu dimensi hablumminallah dan hablum minannas. Adanya wakaf di dalam Islam menunjukkan bahwa Islam sangat memperhatikan masalah-masalah kemasyarakatan. Adanya beberapa tujuan yang ingin dicapai di balik disyariatkannya wakaf. Tujuan tersebut antara lain:

  1. Untuk kepentingan umum, seperti (tempat) mendirikan masjid, sekolah, rumah sakit dan amal-amal sosial lainnya.
  2. Dapat pula ditentukan tujuannya yaitu untuk menolong fakir miskin, orang-orang terlantar dengan jalan membangun panti asuhan.
  3. Dapat juga disebutkan tujuan wakaf itu, untuk keperluan anggota keluarga itu sendiri dari orang-orang yang mampu. Namun yang lebih baik adalah kalau tujuan wakaf itu jelas diperuntukkan bagi kepentingan umum, kemaslahatan masyarakat.
  4. Tujuan wakaf itu tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai ibadah. Tujuan wakaf itu harus dapat dimasukkan ke dalam kategori ibadah pada umumnya, sekurang-kurangnya dengan tujuan harus merupakan hal yang mudah atau jaiz (boleh) saja kalau misalnya orang mewakafkan tanahnya untuk kuburan, pasar, lapangan olahraga, dan sebagainya dalam rangka pelaksanaan ibadah umum dan ibadah amah.

Dalam hubungannya dengan tujuan wakaf ini perlu dikemukakan bahwa tujuan wakaf sesungguhnya adalah untuk mendapatkan keridhaan Allah, dalam rangka beribadah kepada-Nya. sebagaimana halnya dengan zakat, wakaf merupakan ibadah amaliah berbentuk shadaqah jariyah yakni shadaqah yang terus mengalir pahalanya untuk orang yang menyedekahkan selama barang atau benda yang disedekahkan masih ada dan dimanfaatkan.

Sebagaimana hadits Rasulullah saw. yang berbunyi:

Artinya:

Apabila mati anak Adam, maka terputuslah dari padanya semua amalnya kecuali tiga hal, yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang saleh yang mendoakannya (HR. Muslim).

Dari hadits tersebut di atas, dapat dipahami bahwa di samping sebagai ibadah jariyah (pahalanya akan mengalir terus) selama benda yang diwakafkan masih dapat dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat, walaupun wakifnya telah meninggal dunia, juga wakif merupakan sarana sosial untuk memenuhi keperluan masyarakat, seperti untuk rumah sakit, panti asuhan, sekolah dan sebagainya.

Ajaran Islam mengajarkan untuk membelanjakan harta, tetapi dengan perintah, ini tidak membenarkan bahwa manusia membelanjakan harta dengan disertai syarat yaitu fisabilillah (di jalan Allah), seperti salah satu contoh mengeluarkan harta dengan jalan wakaf, dimana Allah menyediakan pahala yang cukup besar bagi orang-orang yang membelanjakan atau mengeluarkan harta di jalan Allah. Sebagaimana firman Allah swt. dalam QS. al-Hadid (57): 7 yang berbunyi:

Terjemahnya:

Berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah Telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.[25]

Dari ayat tersebut di atas, dapat dipahami bahwa Allah swt. memerintahkan untuk membelanjakan harta bendanya di jalan Allah termasuk mewakafkan harta. Membelanjakan harta itu pada hakekatnya adalah penggarapan atau realisasi dari suatu perbuatan kebajikan, dimana kebajikan itu menjadi salah satu tujuan yang penting dari ajaran Islam.

Dengan melihat uraian-uraian tersebut, maka penulis dapat berkesimpulan bahwa pada hakekatnya ada dua tujuan yang dapat dicapai dengan wakaf itu, yaitu:

  1. Agar memperoleh keridhaan Allah swt. dan pahalanya akan dinikmatinya di akhirat kelak insya Allah
  2. Memberikan pengayoman sosial dan dharma bakti kepada masyarakat serta menyantuni umat Islam yang memerlukan pertolongan

Kedua sarana wakaf tersebut, maka sarana yang kedua itu: ditujukan ke arah kebaikan untuk kemaslahatan umum dan merupakan pelaksanaan untuk menuju kesempurnaan pengayoman masyarakat dan membantu pemerintah mensukseskan pembangunan nasional.

Dr. Mustafa Assibai mengemukakan :

Perwakafan dibelanjakan untuk membiayai:

  1. Masjid
  2. Sekolah
  3. Perpustakaan umum
  4. Rumah sakit dan poliklinik
  5. Penginapan untuk kaum musafir
  6. Tempat-tempat amal dan zikir
  7. Persediaan air minum untuk umum
  8. Sumur-sumur penimbaan air
  9. Asrama-asrama untuk tentara
  10. Senjata dan kuda untuk peperangan
  11. Persiapan bekal untuk para pejuang berupa harta dan lain-lain
  12. Perbaikan jembatan dan jalan umum
  13. Pemakaman (kuburan)
  14. Biaya perawatan apa-apa yang ditemukan di jalan
  15. Pemeliharaan anak yatim
  16. Pemeliharaan orang lumpuh
  17. Pemeliharaan orang buta
  18. Pemeliharaan orang yang sudah lemah
  19. Kredit yang baik (tanpa bunga)
  20. Benih yang baik yang dibagikan kepada petani dengan cuma-cuma
  21. Alat-alat pertanian
  22. Binatang-binatang untuk keperluan pertanian
  23. Penanaman pohon yang boleh dimakan buahnya oleh siapa saja yang lewat di situ
  24. Perwakafan lain dan untuk kepentingan yang belum tercantum di atas.

Dalam pelaksanaan wakaf, maka terdapat beberapa sarana-sarana atau jalan yang memerlukan bantuan demi untuk kepentingan masyarakat umum dan membantu orang yang membutuhkan bantuan, seperti hal yang tersebut di atas. Namun perlu diingat dalam mengeluarkan harta wakaf terdapat pula beberapa hal yang dilarang oleh ajaran agama Islam, seperti mengeluarkan untuk maksiat dan lain sebagainya.

  1. Fungsi Wakaf

Sedangkan fungsi wakaf menurut PP itu, adalah mengekalkan manfaatnya, sesuai dengan tujuan wakaf yakni untuk peribadatan dan keperluan umum lainnya, melembagakan untuk selama lamanya. Sedangkan untuk memenuhi fungsi yang demikian itu, maka harta kekayaan yang dipisahkan itu haruslah tanah milik, karena hak atas tanah milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuhi yang dapat dipunyai oleh seseorang.

  1. G. Kerangka Teori

Harta merupakan suatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia, serta dapat  mengangkut harkat dan martabat manusia dalam bidang ekonomi. Perolehan harta itu juga hendaknya tetap mengarah pada harta yang baik dan benar, tanpa memperhatikan hal-hal demikian maka manusia selalu diliputi oleh kesengsaraan. Hal ini dikarenakan harta dapat menyilaukan mata sehingga lupa akan nilai-nilai dan fungsinya sebagai karunia Allah.

Pengalihan dan perolehan harta salah satu di antaranya dengan cara wakaf. Dalam hukum Islam dan ketentuan perundang-undangan amatlah jelas dinyatakan bahwa harta yang telah diwakafkan tidak dapat ditarik kembali menjadi harta milik yang sah.

Dengan ketentuan tersebut di atas, maka penulis akan menguraikan dengan jelas bagaimana sebenarnya harta yang dimiliki secara sah kembali. Karena pada kenyataan yang ada, harta yang jelas diwakafkan oleh si wakif dapat ditariknya kembali. Disebabkan oleh kepentingan-kepentingan tertentu serta tidak atau belum adanya bukti-bukti yang sah, baik menurut hukum Islam maupun peraturan perundang-undangan yang berbeda.


[1]Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf (Cet. I; Jakarta: Universitas Indonesia-UI Press, 1999), h. 50.

[2]KH. Sofyan Hasan, Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf (Cet. I; Surabaya: Al-Ikhlas, 1999), h. 21.

[3]Adijani Al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia (Cet. II; Jakarta: PT. Rajawali Press, 1992), h. 23.

[4]Lihat, Ibid.

[5]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 2000), h. 428.

[6]Ibid., h. 91.

[7]Imam Abu Al-Husain Muslim bin Al-Hajjaj al-Quraisyi al-Naisabury, Shahih Muslim, Juz III (Indonesia: Maktabah Dahlan, t.th.), h. 1255.

[8]Muh. Syarif Sukendi, Tarjamah Bulughul AMaram (Cet. IX; Bandung: PT. Al-Maarif, 1991),  h. 343.

[9]Ibid., h. 30.

[10]Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Cet. I; Jakarta: PT. Akademika Presindo, 1992), h. 166.

[11]Adijani al-Alabij, op.cit., h. 26.

[12]Ibid., h. 32.

[13]Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), h. 505.

[14]Abdurrahman, op.cit., h. 169.

[15]HM. Tahir Azhary, Wakaf dan Sumber Daya Ekonomi, Suatu Pendidikan Teoritis, dalam Mimbar Hukum No. 7 Tahun III 1992 (t.tp: Al-Hikmah dan Ditbenpera, 1992), h. 15.

[16]Ahmad Rofiq, op.cit., h. 479.

[17]Ibid., h. 480.

[18]Zainal Abidin Abubakar, Pengaruh Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia (Mimbar Hukum No. 9 tahun IV, Jakarta: PT. Intermasa, 1993), h. 51.

[19]Lihat Ibid., h. 51.

[20]Sumber Data Kantor Kecamatan Larompong Kabupaten Luwu

[21]Satria Efendi M. Zein, Analisis Yurisprudensi, tentang Sengketa Tanah Wakaf (Mimbar Hukum No. 13 Tahun V, Jakarta: PT. Intermasa, 1994), h. 65.

[22]Undang-Undang Dasar 1945, h. 4.

[23]Muhammad Daud Ali, op.cit., h. 89.

[24]Imam Abu Al-Husain Muslim bin Al-Hajjaj al-Quraisyi al-Naisabury, op.cit., h. 1261

[25] Departemen Agama RI, op.cit., h. 548