Dampak Perbedaan Penetapan Awal Ramadan dan Hari Raya

Dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk, dalam setiap penyambutan Hari Raya, kemajemukan tersebut seolah lebur dalam tradisi penyambutan dan perayaan  Hari Raya yang hampir memiliki kesamaan di seluruh pelosok tanah air.

Setiap orang menyambut datangnya Hari Raya dengan segenap suka cita. Bahkan persiapannya dilakukan jauh hari semenjak masih melaksanakan ibadah puasa, misalnya untuk Idul Fitri. Juga pada Idul Adha, persiapan meliputi pengadaan hewan kurban.

Hari Raya tersebut bahkan menjelma menjadi momen ketika semua individu meleburkan diri dalam kebersamaan, segala perbedaan yang mengkotak-kotakkan satu dari yang lainnya, ataupun predikat yang dilekatkan pada diri pribadi sesaat ditanggalkan

Olehnya menjadi hal yang lumrah, jika pada hari tersebut seolah nampak tidak ada lagi individu yang membebani diri dengan aktivitas rutin harian, tenaga dan pikiran terfokus untuk larut dalam kegembiraan yang datangnya hanya sekali setahun. Bahkan hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi meliputi seluruh negara, seluruh Umat Islam.

Metode penentuan kriteria awal bulan Kalender Hijriah yang berbeda seringkali menyebabkan perbedaan penentuan awal bulan, hal ini berakibat adanya perbedaan hari melaksanakan ibadah seperti puasa, Idul Fitri dan Idul Adha. Perbedaan tersebut tentu saja menimbulkan beragam tanggapan di masyarakat. Tidak hanya di kalangan muslim tapi juga oleh penganut agama lain.

Namun beberapa tahun belakangan ini akibat terjadinya perbedaan penetapan Hari Raya atau Awal Ramadan, seolah mengurangi makna dan keindahan Hari Raya tersebut. Pada beberapa daerah di tanah air menunjukkan beragam kasus mengenai dampak perbedaan tersebut.

Anggapan yang berkembang di masyarakat, adalah perbedaan tersebut disebabkan perbedaan metode penetapan, ada yang menggunakan metode Hisab adapula yang menggunakan metode rukyah. Tetapi sebetulnya hal tersebut lebih dipicu perbedaan kriteria yang digunakan pada dua metode tersebut.

Perbedaan  hari raya akibat perbedaan metode dan kriteria itu tampak jelas pada penentuan Idul Fitri  pada tahun 1992 (1412 H). Ada yang berhari raya pada Jumat (3 April) mengikuti Arab Saudi, ada pula yang merayakan pada Sabtu (4 April) ini berdasarkan hasil rukyat NU. Lalu ada juga yang merayakan pada Ahad (5 April) berdasarkan pada Imkanur Rukyat[1]

Begitu halnya pada tahun 1993 dan 1994, penetapan 1 Syawal juga urung terjadi. Namun dampak  perbedaan saat itu tidak begitu membuat resah masyarakat layaknya saat ini. Karena pemerintah begitu getol mengampanyekan bahwa perbedaan tersebut hendaknya tidak dijadikan persoalan, tergantung pada keyakinan dan kemantapan masing-masing.

Kejadian serupa kembali berulang pada penentuan Idul Fitri 1418 H. Saat itu pertama kalinya, Mentri Agama tidak memberikan keputusan tegas dengan menyatakan bahwa pemerintah berhari raya pada 30 Januari 1998, namun mempersilahkan ummat yang meyakini hari raya 29 Januari untuk shalat Ied.

Saat itu Muhammadiyah yang menggunakan hisab wujudul hilal beridul fitri pada 29 Januari. Sedangkan pemerintah dan Persis yang mempertimbangkan hisab dengan imkanurru’yah beridul fitri pada 30 Januari. NU di Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah menerima kesaksian di Bawean dan Cakung sehingga beridul fitri ada 9 Januari, lain halnya dengan PB NU, mereka sepakat merayakan pada 30 Januari[2].

Salah satu konsekuensi ketidakpastian itu adalah adanya dua hari libur Idul Fitri. Hari pertama adalah 1 Syawal menurut hisab wujudul hilal. Hari libur kedua untuk menjaga kemungkinan bila hasil rukyat gagal dan terjadi istikmal. Namun dalam perkembangannya, pertimbangan tersebut tidak terlihat lagi, lebur dalam anggapan masyarakat sebagai ‘lebaran pertama dan kedua’.

Banyak hal yang terjadi di masyarakat akibat perbedaan penentuan tersebut. Salah satunya kejadian di sebagian desa di Jawa Timur yang semula warganya saling bersitegang dalam mempertahankan pendapat masing-masing dalam menetapkan Idul Fitri, antara  Senin dan Selasa (pada tahun 2007), namun akhirnya mereka sepakat untuk beridul Fitri pada  Selasa.

Bukan atas dasar rukyah maupun hisab, tapi karena faktor megengan ! Dan itu atas keputusan (bukan usulan!) kalangan ibu-ibu yang ber-“hujjah” jika Idul Fitri diadakan Senin (yang berarti esok harinya, karena polemik terjadi pada  Ahad), maka mereka tidak sempat lagi masak-masak untuk keperluan megengan (kenduri).

Idul Fitri tanpa megengan akan menjadi kurang afdhal, tentu menurut persepsi mereka. Jadi ternyata megengan-lah yang justru bisa menjadi faktor pentarjih dan penyatu disini[3].

Adapun masalah yang seringkali muncul terkait perbedaan penentuan Idul Adha berkenan dengan puasa Arafah, 9 Zulhijjah, yaitu ketika jamaah haji melakukan wukuf. Seperti yang terjadi pada tahun 1999, Arab Saudi memutuskan wukuf jatuh pada Jumat 26 Maret, karena ada yang menyebut ibadah haji tahun itu adalah haji akbar.

Namun, keputusan itu menimbulkan kontroversi tentang penentuan Idul Adha di Indonesia. Di Indonesia sebagian besar mengikuti pemerintah (Departemen Agama) yang beridul Adha pada 28 Maret 1999, sedangkan sebagian lainnya mengikuti Arab Saudi. Kontroversi yang senantiasa berulang[4].

Masalah yang banyak membingungkan adalah, haramkah muslim Indonesia berpuasa pada Sabtu 27 Maret sedangkan di Arab Saudi sudah beridul Adha? Atau Jika melaksanakan Idul Adha pada 27 Maret, jangan sampai mendahului, bukan mengikut di Arab Saudi

Beragam masalah yang timbul berkenan penentuan hari raya dan awal Ramadan tersebut mendorong beberapa pihak untuk mencari solusi. Ada beberapa langkah yang bisa disarankan untuk mencapai kesatuan.

ü Pertama, pemakaian hisab global. Masalah teknis ilmiah relatif paling mudah diselesaikan. Rukyat bisa dibantu dengan hasil hisab untuk menentukan posisi hilal, tetapi kepastian hilal bisa termati atau tidak masih tergantung faktor cuaca yang di luar kemampuan manusia untuk mengatasinya. Dengan makin akuratnya hisab astronomi, hisab bisa dijadikan dasar pengambilan keputusan bukan sekedar alat bantu rukyat[5]

ü Kedua, konvirmasikan setiap kesaksian rukyatul hilal. Kesaksian rukyat seringkali kontroversial yang menyebabkan munculnya perbedaan. Olehnya perlu disepakati kriteria untuk mengkonfirmasikannya, tidak cukup sekedar sumpah. Salah satunya dengan menolak kesaksian hilal bila secara hisab yang akurat, bulan sebenarnya sudah di bawah ufuk saat magrib[6]

ü Ketiga, adakan  lembaga antar pemerintah sebagai otoritas tunggal yang ditaati. Kesaksian hilal di suatu wilayah hanya bisa dijadikan dasar keputusan global bila ada otoritas tunggal pengambil keputusan. Selama belum ada otoritas tunggal yang dipercaya sebagai pengambil keputusan dan bisa mengumumkan keseluruh dunia, kesaksian hilal itu malah akan memunculkan keputusan yang berbeda-beda karena informasinya tidak mungkin tersebar merata[7]

Dr. T. Djamaluddin, dalam bukunya Menggagas Fiqh Astronomi, Telaah Hisab-Rukyat dan Pencarian Solusi Perbedaan Hari Raya, mencoba memberi solusi terhadap masalah perbedaan kriteria yang menyebabkan perbedaan penetapan hari raya. Ia menerangkan bahwa kalau dikaji akar permasalah perbedaan penetapan Hari Raya selama ini sebenarnya solusinya sederhana. Samakan kriterianya dalam menafsirkan angka-angka hasil hisab. Untuk menafsirkan makna angka-angka hisab yang seharusnya tidak bertentangan dengan hasil rukyat adalah dengan belajar dari induknya, astronomi. Penyatuan hasil hisab dan rukyat dalam menyimpulkan masuk awal bulan atau belum, terletak pada kriteria awal bulan. Kini ada dua kriteria yang digunakan Ormas Islam yang sering menimbulkan kesimpulan berbeda ketika posisi bulan di Indonesia berada pada ketinggian di antara dua kriteria tersebut. Muhammadiyah menggunkan kriteria wujudul hilal dengan wilayatul hukmi, sementara NU menggunakan ketinggian minimal 2 derjat dengan menunggu hasil rukyat[8]


[1] Id. Wikipedia.org. Perbedaan Kriteria. Jumat 22 Pebruari 2008

[2] Dr Thomas Djamaluddin, lo cit, h.43

[3] Mesjidkotabogor.com Syiar Kebersamaan dan Persatuan

[4] Dr Thomas Djamaluddin, Kontroversi yang Berulang, Perbedaan Idul Adha dengan Arab Saudi, Pikiran Rakyat, 26/3/1999

[5]Dr Thomas Djamaluddin, Sifat Ijtihadiyah, Penentuan Awal Ramadan dan Hari Raya,Republika, 23/12/1997

[6] Ibid

[7] Ibid

[8] Dr T Djamaluddin, Menggagas Fiqih Astronomi, Telaah Hisab-Rukyat dan Pencarian Solusi Perbedaan Hari Raya, (Cet I; Jakarta: Kaki Langit, 2005) h.58-59

Salam …