Perspektif Hukum Positif terhadap Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Upaya Pemecahannya

Kasus-kasus kekerasan dengan korban perempuan terjadi hampir setiap hari di berbagai belahan dunia, baik secara individual maupun secara terintegrasi di dalam peristiwa sosial politik dalam skala besar, seperti konflik bersenjata atau kerusuhan sosial. Oleh karena itu, berbicara mengenai kekerasan terhadap perempuan akan menyangkut permasalahan yang sangat luas, baik karena bentuknya (kekerasan fisik, non fisik atau verbal dan kekerasan seksual) tempat kejadiannya (di dalam rumah tangga dan di tempat umum), jenisnya (perkosaan, penganiayaan, pembunuhan atau kombinasi dari ketiganya), maupun pelakunya (orang-orang yang memiliki hubungan dekat atau orang asing).

Kekerasan terhadap perempuan merupakan tindak penistaan dan pengebirian harkat manusia, dapat terjadi di semua tingkat kehidupan, baik di tingkat pendidikan, ekonomi, budaya, agama, maupun suku bangsa. Hal ini karena pada dasarnya kekerasan terjadi akibat paham dunia yang masih didominasi oleh laki-laki.

Tindak kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu tindak pidana yang banyak mendapat perhatian dari para ahli ilmu sosial pada tahun-tahun terakhir ini. dari data yang terkumpul belum diketahui secara pasti berapa banyak wanita (istri) yang menjadi tindak kekerasan mulai dari keengganan memberi nafkah kepada istri sampai kepada kekerasan seksualitas.

Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah kekerasan terhadap perempuan di lingkungan rumah tangga, perlu tindakan bersama antar semua pihak, dari masyarakat sampai dengan aparat. Akan tetapi suatu perilaku konkrit belum akan muncul apabila belum ada muncul apabila belum ada perubahan sikap mampu persepsi mengenai kekerasan dalam rumah tangga itu sendiri.

Hukum positif sebagaimana dituangkan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dimana di dalamnya termuat solusi dan upaya yang dilakukan oleh pemerintah melalui perundang-undangan guna menghapus terjadinya kekerasan dalam rumah tangga antara lain:

  1. Tujuan penghapusan KDRT termuat dalam Pasal 4

Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan:

  1. mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;
  2. melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;
  3. menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan
  4. memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
  1. Pemenuhan hak-hak korban KDRT termuat dalam

Pasal 10

Korban berhak mendapatkan:

  1. perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga  sosial, atau pihak Iainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
  2. pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
  3. penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
  4. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses  pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
  5. pelayanan bimbingan rohani.

Pasal 11

Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga.

Pasal 12

(1) Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, pemerintah ;

  1. merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga;
  2. menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam  rumah tangga;
  3. menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah  tangga; dan
  4. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang  sensitif gender.

(2)  Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh menteri.

(3)  Menteri dapat melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

Pasal 13

Untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing dapat melakukan upaya:

  1. penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian;
  2. penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing rohani;
  3. pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban; dan
  4. memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan teman korban.

Pasal 14

Untuk menyelenggarakan upaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing, dapat melakukan kerja sama dengan masyarakat atau lembaga sosial Iainnya.

Pasal 15

Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk :

  1. mencegah berlangsungnya tindak pidana;
  2. memberikan perlindungan kepada korban;
  3. memberikan pertolongan darurat; dan
  4. membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.

  1. Upaya pemberian sanksi pidana, termuat dalam pasal

Pasal 44

  1. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan. fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
  2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
  3. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).
  4. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).

Pasal 45

  1. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).
  2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).

Pasal 46

Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua betas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

Pasal 47

Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua betas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Pasal 48

Dalam hat perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 49

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima betas juta rupiah), setiap orang yang:

  1. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
  2. menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2).

Pasal 50

Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa:

  1. pembatasan gerak pelaku balk yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;
  2. penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.

Pasal 51

Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) merupakan delik aduan.

Pasal 52

Tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) merupakan delik aduan.

Pasal 53

Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakan delik aduan.

Demikianlah perspektif hukum Islam terhadap tindak kekerasan dalam rumah tangga, dan upaya pemenuhan hak korban serta sanksi pidana terhadap pelaku tindakan tersebut karena hal tersebut digolongkan sebagai tindak pidana.