Status Hukum Pernikahan yang Tidak Tercatat

Pernikahan merupakan salah satu kebutuhan hidup yang paling utama dalam kehidupan masyarakat yang sempurna. Namun perkawinan juga merupakan suatu hal yang mempunyai dasar-dasar hukum. Jadi perkawinan bukan sesuatu permainan, karena perkawinan mempunyai kedudukan hukum, baik hukum menurut syariat Islam maupun hukum menurut UU.

Oleh karena itu, untuk mengetahui status hukum pernikahan yang tidak tercatat atau nikah di bawah tangan maka akan dijelaskan secara rinci melalui uraian sebagai berikut :

Status hukum pernikahan yang tidak tercatat menurut syariat Islam

Perkawinan merupakan salah satu perikatan yang telah disyariatkan dalam Islam sebagaimana yang telah dijelaskan terlebih dahulu. Hal ini dilaksanakan  untuk memenuhi perintah Allah agar manusia tidak terjerumus ke dalam perzinaan maka diperintahkan untuk melangsungkan pernikahan.

Untuk membicarakan apakah sah pernikahan yang tidak tercatat (nikah di bawah tangan), menurut hukum Islam maka kita harus memahami syarat-syarat dan rukun pernikahan menurut hukum Islam.

Karena perkawinan merupakan ikatan yang sangat kuat maka hal ini harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang tanpa adanya pemberitahuan pada pihak yang berwenang mengenai masalah perkawinan, sehingga tidak mempunyai dokumen resmi. Dengan melaksanakan perkawinan di bawah tangan, berarti telah mengabaikan dan tidak melaksanakan ketentuan yang telah diperintahkan. Apabila dalam perkawinan telah terpenuhi rukunnya dan syaratnya yang telah ditetapkan dalam undang-undang maka dalam suatu daerah akan berkurang pernikahan di bawah tangan.

Apabila perkawinan itu tercatat maka hak seseorang akan terlindungi. Artinya apabila dalam keluarga tersebut timbul suatu permasalahan maka akan dapat diselesaikan melalui pengadilan dengan membawa barang bukti akta nikah. Karena akta nikahlah merupakan salah satu bukti autentik bahwa dia telah resmi menikah dan apabila tidak memiliki maka perkawinan itu tidak dapat dibuktikan bahwa dia sudah menikah atau belum dan pengadilan pun tidak dapat membuktikannya. Karena pernikahan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.

Pernikahan itu sendiri merupakan suatu ikatan lahir bathin antara seorang laki-laki dan perempuan ke dalam suatu ikatan yang sah. Oleh karena itu, pernikahan tidak dapat dipermainkan. Jadi setiap orang yang akan melaksanakan pernikahan itu harus dipikirkan dengan matang terlebih dahulu, apabila kemauan dan kemampuan sudah ada sepenuhnya barulah pernikahan itu dilaksanakan.

Pelaksanaan  pernikahan itu ditetapkan menurut hukum Islam maupun menurut undang-undang, untuk menjaga agar tidak terjadi suatu hal yang mengkhawatirkan terhadap suatu umat, maka hal itu diperintahkan kepada para pemuda untuk melaksanakan suatu pernikahan dengan maksud untuk menjaga pandangan bagi para pemuda agar terhindar dari perbuatan zina.[1]

Islam menyukai perkawinan dan segala akibat baik yang bertalian dengan perkawinan, bagi baik yang bersangkutan, bagi masyarakat maupun bagi kemanusiaan pada umumnya. Walaupun pernikahan itu dilakukan menurut syariat Islam dan pernikahan itu sah, tetapi pengadilan tidak menerima keberadaannya tentang pernikahan yang tidak tercatat.[2]

Juga pengumuman dan pendaftaran itu penting dan perihal untuk menghindari akibat hukum yang timbul dari perkawinan di bawah tangan dalam hubungannya dengan pihak ketiga; misalnya tentang sahnya anak, wali nikah, tentang waris mal waris. Bahwa bagaimanapun pendaftaran itu penting bagi kemaslahatan kedua belah pihak. Kepastian hukum bagi masyarakat demikian juga baik suami dengan  isteri tidak demikian saja dapat mengingkari perjanjian perkawinan yang suci tersebut, dan tidak dengan mudah menjatuhkan talak, sesuai dengan analogi (qiyas).

Allah berfirman dalam QS. An-Nisa (4): 20.

Terjemahnya:

Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata.[3]

Dan melihat alasan tersebut di atas, pengumuman dan pencatatan itu sangat perlu untuk diperhatikan oleh kedua belah pihak, untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan.

Dengan melakukan perkawinan yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan, berarti telah melaksanakan ibadah kepada Allah swt.

Pencatatan tidak menentukan sah atau tidak sahnya suatu perkawinan. Perkawinan apabila dilakukan menurut ketentuan agama masing-masing, walaupun perkawinan tersebut tidak terdaftar dalam surat  Keputusan Mahkamah Islam tinggi, pada tahun 1953 No. 23/19 menegaskan bahwa bila izin nikah telah lengkap, walaupun tidak terdaftar maka nikahnya  tidak  didaftarkan.[4]

Setiap ketetapan yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang menangani hal perkawinan selalu menegaskan bila perkawinan itu rukunnya telah lengkap tetapi tidak terdaftar, akan menghadapi  kesulitan-kesulitan bahkan akan dikenakan denda sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan.

Manusia dan makhluk lainnya, Allah telah menetapkan adanya aturan yang boleh dilanggar, manusia tidak boleh berbuat semaunya seperti pada tumbuh-tumbuhan yang kawin dengan perantara angin.

Allah berfirman dalam QS. Al-Hijr (15) : 22.

Terjemahannya:

Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya.[5]

Syarat dan rukun dalam perkawinan tersebut berkedudukan pada tingkat pertama menurut syariat Islam walaupun tidak tercatat. Tetapi pegawai pencatat perkawinan (KUA) selalu mengawasi terjadinya perkawinan karena dialah yang berhak untuk melaksanakan hal itu.

Di dalam hukum Islam bahwa perkawinan di bawah tangan itu menempati kedudukan pada tingkatan kedua dari syarat yang telah ditentukan dalam syariat Islam. Walaupun demikian pernikahan di bawah tangan sebaiknya tidak dilaksanakan.

Terkadang ada orang yang takut-takut kawin karena sangat takut untuk memikul beban berat dan menghindarkan diri dari kesulitan.[6]

Memang banyak kesulitan yang dihadapi bagi orang yang telah melaksanakan pernikahan, tetapi dengan pernikahan akan dapat memperoleh hikmah-hikmah dalam pernikahan tersebut. Pernikahan merupakan salah satu aktivitas bagi setiap insan atau mendapatkan keturunan yang sah. Islam mengantarkan pernikahan sebagaimana tersebut karena pernikahan sangat mempunyai pengaruh bagi ummat manusia, tetapi apabila perkawinan itu tidak teratur maka akan mendapatkan dampak negatif, bagi kehidupan kita. Jika pernikahan itu dilakukan di bawah tangan dan telah diketahui oleh pihak yang berwewenang melaksanakan pencatatan pernikahan yang dilakukan bagi umat Islam yaitu KUA, maka hal itu akan menjadi permasalahan besar bahkan dinyatakan sebagai pernikahan yang tidak mempunyai kekuatan hukum.

Allah swt, tidak dunia berkembang sesuai dengan apa yang menjadi kehendak manusia. Allah mengatur naluri yang terdapat pada manusia prinsip-prinsip dan undang-undang, sehingga manusia  tetap utuh semakin baik suci dan bersih. Oleh karena itu, segala sesuatu yang ada pada jiwa manusia sebenarnya tidak akan terlepas dari didikan Allah semata.[7]

Sebenarnya segala hukum dan adat istiadat boleh dilakukan oleh setiap umat dalam hukum perkawinan asalkan tidak bertentangan dengan syariat Islam, kesucian dan keutuhan ikatan perkawinan hendaknya dijaga dengan sebaik-baiknya.

Di Indonesia perkawinan umat Islam telah mendapat jaminan hukum dari pemerintahan RI, dengan UU perkawinan No. 2 tahun 1946 dan telah dinyatakan bagi seluruh bangsa Indonesia dengan UU No. 35 tahun 1954 menyatakan: “Barang siapa melakukan perkawinan yang tidak menurut Undang-undang dapat dituntut; walaupun sah menurut hukum Islam, karena Undang-undang mengatur perlindungan hakim yang tegas supaya benar-benar syariat Islam ditegakkan”.

Olehnya itu, kita wajib mengikut segala peraturan yang telah menjadi ketetapan pemerintah. Hukumlah yang mengatur segala yang dikerjakan oleh setiap manusia, baik hukum itu berasal dari Allah, Rasulullah maupun dari ketetapan pemerintah.

Allah memudahkan pernikahan, tetapi  pernikahan itu sendiri tidak boleh dimudah-mudahkan untuk melaksanakan. Pernikahan itu kita tidak terlepas dari hukum-hukum yang telah disyariatkan. Setiap manusia yang akan melangsungkan pernikahan maupun bentuk akad lainnya selalu terikat oleh hukum, tergantung dari niat seseorang yang akan melaksanakan pernikahan itu.

Dengan memahami hukum-hukum perkawinan maka seseorang tidak akan keliru dalam mempraktekkan kehidupannya dalam berumah tangga dan dalam bermasyarakat. Dengan demikian kedudukan perkawinan sangatlah penting menurut hukum Islam. Olehnya itu masyarakat tidak akan lagi melaksanakan pernikahan yang dimaksudkan.

Kedudukan pernikahan yang tidak tercatat (Nikah di bawah tangan) menurut UU No. 1 tahun 1974

Pencatatan pernikahan bertujuan untuk menjadikan peristiwa pernikahan itu menjadi jelas, baik bagi yang bersangkutan, bagi orang lain maupun bagi masyarakat. Suatu surat yang bersifat resmi dibuat dalam suatu daftar sehingga surat itu sewaktu-waktu dapat dipergunakan bilamana hal itu perlu, terutama sehingga sebagai suatu alat bukti yang autentik.[8]

Dengan ketetapan tersebut di atas adalah sama seperti yang disyariatkan dalam Islam. Jadi dengan pencatatan peristiwa pernikahan itu dapat menjadi jelas dan bersifat resmi karena perkawinan tersebut telah terdaftar di KUA bagi beragama Islam.

Pada tanggal 1 April 1977 pemerintahan mengundangkan Undang-undang RI No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam pasal 2 ayat (1):

“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya”.[9]

Yang dimaksud menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya yaitu apabila pernikahan itu dilakukan bagi orang yang beragama Islam maka pernikahan sebelum dilaksanakan kita harus melapor terlebih dahulu ke KUA dan jika melakukan pernikahan itu selain dari yang beragama Islam maka melapor pada kantor catatan sipil.

Tentang tidak adanya pernikahan di luar hukum masing-masing agamanya itu, Prof. Dr. Hazairin, S.H. dalam bukunya tinjauan mengenai undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan menjelaskan:

Jadi bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk melanggar hukum agama itu sendiri. Demikian juga bagi orang non muslim seperti yang dijumpai di Indonesia.[10]

Dari penjelasan tersebut di atas juga menjelaskan bahwa dengan adanya pelanggaran pernikahan itu sebenarnya tidak diinginkan baik menurut hukum Islam itu sendiri maupun menurut agama lain yang ada di Indonesia. Setiap agama tentu sudah mempunyai peraturan-peraturan sendiri, bagi orang yang beragama Islam dicatat di KUA dan bagi non muslim dicatat di kantor catatan sipil.

Hal ini sebagaimana juga yang telah dinyatakan dalam pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Perkawinan sebagai berikut:

1)      Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu

2)      Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.[11]

Dalam pasal 2 ayat (2) menjelaskan secara umum bahwa tiap-tiap pernikahan sama dengan pencatatan peristiwa penting dalam kehidupan seseorang misalnya kelahiran kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, surat akta resmi yang dimuat dalam daftar pencatatan. Hal tersebut tidak menjelaskan maksud diadakan pencatatan tetapi hanya menjelaskan.[12]

Dalam suatu pernikahan, sebelum pernikahan itu dilaksanakan sebaiknya terlebih dahulu kedua calon mempelai datang menghadap sendiri  kepada pegawai pencatat pernikahan sehingga pegawai pencatat pernikahan secara langsung menanyakan segala sesuatu kepada yang berkepentingan. Sebaiknya pertanyaan itu dilakukan secara lisan, supaya lebih jelas.

Berdasarkan dengan isi pasal 3 peraturan pelaksanaan  menjelaskan:

“Pada prinsipnya untuk melaksanakan pernikahan harus dilakukan secara lisan oleh salah satu atau kedua calon mempelai, atau orang tuanya atau wakilnya. Tetapi apabila karena  sesuatu alasan yang sah pemberitahuannya kehendak melangsungkan secara lisan, atau tidak mungkin dilakukan, maka pemberitahuan dapat dilakukan secara tertulis. Selain itu maka yang dapat mewakili dari mempelai atau memberitahukan kehendak melangsungkan pernikahan adalah wali atau orang lain yang ditunjuk berdasarkan kuasa khusus.[13]

Untuk menghindari diri dari hal-hal yang tidak diinginkan dalam pernikahan, olehnya itu seseorang diharuskan memperhatikan segala ketentuan yang telah disyariatkan baik dalam Islam maupun peraturan perundang-undangan. Pernikahan yang tidak tercatat sebaiknya tidak dilaksanakan bagi umat Islam.

Sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam undang-undang perkawinan pasal 26 ayat 2 yang berbunyi:

“Hak untuk membatalkan suami atau istri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka sudah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat nikah yang tidak berwenang dan pernikahan harus diperbaharui supaya sah”.[14]

Jika dalam pernikahan tidak memenuhi syarat dan rukun pernikahan dan ketentuan yang telah ditetapkan surat akte nikah itu dibuat oleh pihak yang berwewenang, maka perkawinan itu dapat dibatalkan.

Catatan pada tiap-tiap pernikahan sangatlah penting karena dengan pencatatan seseorang telah dapat membuktikan, bahwa adanya pernikahan tersebut telah terbukti bahwa kelahiran anaknya adalah anak yang sah.

Dengan demikian kedudukan pernikahan di bawah tangan menurut Undang-undang No. 1 / 1974 belum memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dalam ketentuan tersebut.

[1]Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid VI. Cet. VII (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1990), h. 23.

[2]Djoko Prakoso, Asas-asas Hukum Perkawinan di Indonesia (Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara, 1987) h. 3.

[3]Departemen Agama,  Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 2000), h, 64

[4]Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia (berlaku bagi ummat Islam), Cet. IV (Jakarta: UL. Press, 1986), h. 21.

[5]Departemen Agama RI. op.cit. h. 210.

[6]Sayyid Sabiq, op.cit., h. 13.

[7]H. Ibrahim Lubis, Agama Islam (Suatu Pengetahuan) (Cet I; Jakarta Timur: Ghalia Indonesia, 1982), h. 329.

[8]Kwantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia (Cet. IV; Jakarta: Ghalia Indonesia, 1976),    h. 17.

[9] H. Ibrahim Lubis op.,cit, h. 329.

[10]Kwantjik Saleh op.,cit h. 16.

[11]PP. No. 10 tahun 1983 dan SE No. 181 SE 1 1983, Izin  Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil (Peraturan Pelaksanaannya), (Cet. II; Jakarta Timur: Ghalia Indonesia, 1985),    h. 30.

[12]Kwantjik Saleh, op.,cit, h. 17.

[13]Lili  Rasjid, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1991), h. 87.

[14]H. Ibrahim Lubis, op.,cit. h. 328.