Tinjauan Islam Tentang Kesaksian Non Muslim

Seperti yang telah penulis uraikan pada berbagai pembahasan pada bab-bab sebelumnya, bahwa persaksian yang diberikan oleh non muslim adalah merupakan suatu pembuktian dalam Hukum Acara di Pengadilan Agama yang mana kesaksian yang diperoleh hanya dimungkinkan dengan saksi non muslim, karena dipertimbangkan ketidakadanya saksi lain yang beragama Islam.

Dikalangan Fuqaha, terjadi perselisihan pendapat tentang kesaksian non muslim terhadap muslim, ada yang membolehkan dan ada yang menolak. Namun yang penting untuk diketahui adalah kesaksian itu bertujuan untuk menyingkap tabir yang menutupi tabir kebenaran, ini dapat diperoleh juga dari saksi non muslim, maka persaksian non muslim terhadap muslim dapat diterima.

Imam Malik, Imam Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa kesaksian  non muslim sesama non muslim tidak dapat diterima secara mutlak, baik agama mereka sama maupun agama mereka berbeda. Pendapat ini didasarkan kepada firman Allah dalam surah al Baqarah ayat 282 yaitu:

Terjemahnya :

“… yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian dan lebih mendekatkan….[1]

Mereka mengemukakan bahwa orang yang bukan Islam, bukanlah orang yang bersifat adil dan bukan dari orang-orang yang ridha kepada kaum muslimin. Allah swt menyifatkan mereka sebagai orang yang suka dusta dan fasik, sedangkan orang yang demikian itu tidak dapat dijadikan saksi. Menerima kesaksian mereka berarti memaksa hakim untuk menghukum dengan kesaksiannya yang dusta, dan fasik sedang orang Islam tidak boleh dipaksa dengan kesaksian orang kafir dan tidak berhak menjadi saksi sesama mereka, kalau kesaksian mereka diterima berarti sama saja dengan memuliakan mereka dan mereka mengangkat derajatnya, sedangkan agama Islam melarang yang demikian.[2]

Imam Abu Hanifah dan pengikutnya mengatakan bahwa kesaksian antar non muslim dapat diterima, baik seagama maupun berbeda agama. Kesaksian Kafir Harbi terhadap sesamanya tidak diterima apabila negeri mereka berbeda, demikian pula kesaksian Kafir Zimmi yang sama-sama berbeda dalam suaka politik tidak dapat diterima secara mutlak. Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa kesaksian antara sesama orang dzimmi dapat diterima dengan dasar firman Allah surah al Imran ayat 75 yaitu :

Terjemahnya:

Di antara Ahli Kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu Dinar, tidak dikembalikannya padamu, kecuali jika kamu selalu menagihnya. Yang demikian itu lantaran mereka mengatakan: “Tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang ummi. Mereka berkata dusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahui. [3]

Dan surah al Anfal  ayat 73 yaitu :

Terjemahnya :

Dan orang-orang yang beriman sesudah itu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.[4]

Lebih lanjut dikemukakan bahwa banyak terjadi tindak pidana diantara mereka yang peristiwanya tidak disaksikan oleh orang Islam melainkan oleh kalangan mereka sendiri kemudian mereka berperkara kepada Mahkamah Syari’ah. Kalau kesaksian di antara mereka ditolak oleh Mahkamah Syri’ah maka akan mengakibatkan mereka teraniaya dan kehilangan hak asasinya, dengan demikian akan terjadi kerusakan yang besar dan akan mengganggu ketentraman umum.[5]

Para ahli hukum Islam telah sepakat bahwa kesaksian orang-orang non muslim terhadap orang Islam tidak diperkenankan secara mutlak. Mereka berpendapat bahwa keasksian itu adalah masalah kekuasaan, sedangkan orang-orang non muslim tidak berkuasa atas orang-orang Islam.[6]

Sebagaimana tersebut dalam surah Annisah ayat  140 yaitu :

Terjemahnya :

Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al Qur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam, [7]

Maksud dari ayat di atas bahwa Allah tidak akan menjadikan jalan bagi orang-orang non muslim berkuasa terhadap orang-orang  Islam. Demikian juga yang tersebut dalam surah At Thalaq ayat 2 yaitu:

Terjemahnya :

Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar.[8]

Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah swt, memerintahkan agar dalam menyelesaikan segala masalah agar dipersiapkan dengan dua orang saksi yang adil dari orang Islam.

Pada ahli hukum dikalangan ulama Hanabilah membolehkan kesaksian dari saksi non muslim atas orang-orang Islam dalam bidang wasiat apabila dilaksanakan dalam perjalanan (musafir) dan tidak ada orang lain yang dapat diangkat menjadi saksi dari kalangan orang Islam, kecuali mereka yang beragama non muslim. Menurut Ibnu Mudzin, pendapat ini dipakai juga oleh Syari’ah, an  Nukah’i dan al Ausat dalam memutuskan perkara yang diajukan kepadanya. Hanya saja mereka berselisih tentang pengertian non muslim, Syari’ah mengatakan bahwa hal itu hanya mencakup orang non muslim yang ahli kitab saja sedangkan lainnya mengatakan bahwa non muslim di sini mencakup semua orang di luar Islam, termasuk juga orang Majusi dan penyembah berhala.[9]

Ibnu Qoyyim mengemukakan bahwa penolakan secara mutlak terhadap kesaksian non muslim kepada orang Islam sebagaimana yang telah dilaksanakan oleh para ahli hukum Islam sebenarnya perlu ditinjau kembali. Lebih lanjut Ibnu Qoyyim mengemukakan bahwa dalam masalah persaksian yang penting adalah saksi-saksi tersebut dapat mengungkapkan tabir yang menutupi kebenaran, orang-orang yang dapat mengungkapkan kebenaran itu adakalanya dari orang-orang yang bukan Islam dan orang-orang itu dapat dijamin kepercayaannya, maka dalam hal ini kesaksiannya dapat diterima. Demikian juga dalam hal pembuktian yang harus diberikan dokter yang kebetulan dokter tersebut bukan Islam, menurut Ibnu Qoyyim tidak ada salahnya untuk diterima asalkan keterangan dokter tersebut dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.[10]

Dari beberapa pendapat yang tersebut di atas dan beberapa contoh kasus yang telah dibahas pada bab sebelumnya, maka penulis lebih cenderung pada pendapatnya Ibnu Qoyyim, karena melihat perkembangan zaman saat ini, dimana pengaruh globalisasi dunia mengakibatkan kehidupan masyarakat menjadi membaur satu sama lain yang tidak terikat dengan satu agama saja. Apabila terjadi permasalahan diantara mereka bukan suatu hal yang mustahil peristiwa dan kejadian yang terjadi itu justru disaksikan oleh orang-orang yang beragama selain Islam. Oleh karena itu, para praktisi hukum harus dapat membedakan saksi sebagai syarat hukum atau sebagai alat pembuktian, kalau syarat hukum berkenaan dengan syarat materil dan berhubungan dengan dinayatkan, sedangkan saksi sebagai alat bukti berhubungan dengan syarat formal yang berkaitan dengan Qodhaan.


[1]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Mekar Surabaya, 2002), h. 60.

[2]Ibnu Katsir, Qur’anil Adhim (Juz II; Libanon: Darul Fiqri Bailut, t.th)

[3]Departemen Agama RI op.cit., h. 74.

[4]Ibid., h. 252.

[5]Mahmud Saltout, dalam Bukunya Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata dilingkungan Peradilan Agama (Cet. IV; Jakarta : Kencana, 2006), h. 380.

[6]Abdul    Manan, op. cit., h. 380.

[7]Departemen Agama RI op. cit., h. 110.

[8]Ibid., h. 816.

[9]Salam Madzkur, al Qadha Fil Islam, alih bahasa Drs. Imron, AM dengan Judul Peradilan dalam Islam (Cet. IV; Surabaya : Bina Ilmu, 1993), h. 111.

[10] Syekh Rasyid Ridha, dalam bukunya Abdul Manan op. cit., h. 381.