PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Praktek pembelajaran yang terjadi di sebagian besar sekolah selama ini cenderung pada pembelajaran berpusat pada guru (teacher oriented). Guru menyampaikan materi pelajaran dengan menggunakan metode ceramah atau ekspositori sementara siswa mencatatnya pada buku catatan. Pengajaran dianggap sebagai proses penyampaian fakta-fakta kepada siswa. Siswa dianggap berhasil dalam belajar apabila mampu mengingat banyak fakta, dan mampu menyampaikan kembali fakta-fakta tersebut kepada orang lain atau menggunakannya untuk menjawab soal-soal dalam ujian.
Berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran matematika telah banyak dilakukan, baik oleh pemerintah maupun oleh berbagai pihak yang peduli terhadap pembelajaran matematika sekolah. Berbagai upaya tersebut antara lain dalam bentuk: (1) penataran guru, (2) kualifikasi pendidikan guru, (3) pembaharuan kurikulum, (4) implementasi model atau metode pembelajaran baru, (5) penelitian tentang kesulitan dan kesalahan siswa dalam belajar matematika. Namun berbagai upaya tersebut belum mencapai hasil yang optimal, karena berbagai kendala di lapangan. Akibatnya, sampai saat ini kualitas pembelajaran matematika di Indonesia masih rendah (Soedjadi, 2001b:1).
Pada umumnya, masalah pembelajaran matematika tampak dalam penjelasan Soedjadi yang menyatakan bahwa sudah cukup lama kita semua terbenam dalam pembelajaran matematika yang bagi banyak orang terasa asing, formal, dan hanya bermain angka atau simbol yang sulit dan serba tak berarti, bahkan tidak sedikit yang merasa ketakutan untuk menghadapi pelajaran matematika. Untuk mengatasi masalah pembelajaran seperti itu, maka diperlukan inovasi di bidang pembelajaran matematika. Salah satu hasil inovasi di bidang pembelajaran matematika adalah Pembelajaran Matematika Realistik (PMR).
Jenning dan Dunne (dalam Suharta, 2004:1), mengatakan bahwa kebanyakan siswa mengalami kesulitan dalam mengaplikasikan matematika ke dalam situasi kehidupan real. Faktor lain yang menyebabkan sulitnya matematika bagi siswa adalah karena pembelajaran matematika kurang bermakna. Soedjadi (dalam Suharta, 2004:1) mengemukakan bahwa agar pembelajaran menjadi bermakna (meaningful) maka dalam pembelajaran di kelas perlu mengaitkan pengalaman kehidupan nyata anak dengan ide-ide matematika. Guru dalam pembelajarannya di kelas tidak mengaitkan dengan skema yang telah dimiliki oleh siswa dan siswa kurang diberikan kesempatan untuk menemukan kembali dan mengkonstruksi sendiri ide-ide matematika. Menurut Van de Henvel-Panhuizen (dalam Suharta, 2004:1), bila anak belajar matematika terpisah dari pengalaman mereka sehari-hari maka anak akan cepat lupa dan tidak dapat mengaplikasikan matematika.
Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa pembelajaran yang hanya berorientasi pada pencapaian penguasaan materi berhasil dalam kompetisi mengingat jangka pendek tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang. Ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami sendiri apa yang dipelajarinya.
Berdasarkan uraian di atas, pembelajaran matematika di kelas seyogyanya ditekankan pada keterkaitan antara konsep-konsep matematika dengan pengalaman anak sehari-hari. Selain itu, perlu menerapkan kembali konsep matematika yang telah dimiliki anak pada kehidupan sehari-hari atau pada bidang lain. Salah satu pembelajaran matematika yang berorientasi pada matematisasi pengalaman sehari-hari (mathematize of everyday experience) adalah Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) setting kooperatif.
Salah satu materi matematika yang diajarkan di Kelas VII SMP adalah materi Aritmetika Sosial. Adapun pertimbangan yang dijadikan dasar dipilihnya materi tersebut sebagai materi yang diajarkan dalam penelitian ini adalah: (1) berdasarkan hasil diskusi dengan beberapa orang guru matematika diperoleh informasi bahwa materi Aritmetika Sosial masih merupakan materi yang agak sulit dipahami oleh siswa, (2) banyak permasalahan dalam kehidupan sehari-hari yang terkait dengan materi ini, dan (3) pada umumnya guru mendominasi sistem belajar mengajar di kelas, untuk itu diterapkan pembelajaran matematika realistik setting kooperatif. Dengan menerapkan pendekatan realistik setting kooperatif dalam pembelajaran matematika di sekolah, diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan penguasaan siswa terhadap materi tersebut, karena pembelajaran matematika realistik setting kooperatif memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan kembali dan merekonstruksi konsep-konsep matematika, sehingga siswa memiliki pemahaman yang baik tentang konsep-konsep matematika tersebut. Dengan demikian, pembelajaran matematika realistik setting kooperatif diharapkan memberikan kontribusi yang besar bagi pemahaman siswa.
Dalam upaya mengajarkan Aritmetika Sosial secara bermakna, maka guru matematika dapat menggunakan PMR sebagai salah satu pilihan. Namun persoalannya adalah bagaimanakah menerapkan PMR setting kooperatif dalam mengajarkan topik Aritmetika Sosial di Kelas VII SMP.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang dipaparkan di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah “bagaimanakah implementasi pembelajaran matematika realistik setting kooperatif topik Aritmetika Sosial di Kelas VII SMP?”
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah memberikan contoh implementasi pembelajaran matematika realistik setting kooperatif untuk topik Aritmetika Sosial di Kelas VII SMP.
Batasan Istilah
Untuk menghindari perbedaan dalam penafsiran, maka perlu diberikan batasan untuk istilah-istilah di bawah ini:
- Model pembelajaran yang dimaksud dalam makalah ini adalah suatu pola yang digunakan sebagai petunjuk atau pedoman dalam merencanakan pembelajaran matematika di kelas sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.
- Model pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang didalamnya mengkondisikan para siswa bekerja bersama-sama didalam kelompok-kelompok kecil untuk membantu satu sama lain dalam belajar.
- Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) adalah suatu pendekatan pembelajaran matematika yang memiliki 3 prinsip, yaitu: (1) penemuan kembali secara terbimbing dan matematisasi progresif, (2 ) fenomena didaktik, dan (3) pengembangan model sendiri oleh siswa. Ketiga prinsip tersebut kemudian dioperasionalkan ke dalam lima karakteristik, yaitu (1) menggunakan masalah real sebagai langkah awal, (2) menggunakan model matematika yang dikembangkan siswa; (3) mempertimbangkan kontribusi siswa; (4) mengoptimalkan interaksi siswa dengan temannya, siswa dengan guru dan sarana pendukung lain; dan (5) mempertimbangkan keterkaitan antar materi pelajaran.
- Implementasi PMR dengan setting kooperatif adalah implementasi pembelajaran dengan penggunaan prinsip dan karakteristik PMR dalam menyusun langkah-langkah pembelajaran dengan setting kooperatif yang dimuat dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
- Aritmetika Sosial adalah materi matematika di kelas VII SMP yang diajarkan dengan implementasi PMR dengan setting kooperatif yang bertujuan agar siswa mencapai kompetensi dasar “Menggunakan bentuk aljabar dalam pemecahan masalah Aritmetika Sosial yang sederhana”
Manfaat Penulisan
Manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah diperolehnya informasi atau masukan tentang pendekatan dan model pembelajaran yang dapat digunakan dalam pembelajaran matematika khususnya topik Aritmetika Sosial di Kelas VII SMP.
PEMBAHASAN
Pembelajaran Matematika
Depdiknas (2003) menekankan bahwa dalam mengelola pembelajaran matematika, siswa dikondisikan untuk menemukan kembali rumus, konsep, atau prinsip dalam matematika melalui bimbingan guru. Ditegaskan bahwa belajar akan bermakna bagi siswa apabila mereka aktif dengan berbagai cara untuk mengonstruksi atau membangun sendiri pengetahuannya. Soedjadi (2003) menyatakan, guru hendaknya jangan punya anggapan bahwa siswa harus selalu diberi tahu, tetapi harus mulai percaya bahwa siswa pun memiliki kemampuan-kemampuan yang dapat muncul dari dirinya sendiri. Selanjutnya dikatakan bahwa guru perlu memberi waktu “cukup” kepada siswa untuk mencoba berpikir sendiri, menemukan sendiri dan berani mengungkapkan pendapat sendiri. Menurut Slavin (1997), salah satu prinsip yang paling penting dari psikologi pendidikan adalah guru tidak dapat hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun pengetahuan di dalam pikiran mereka sendiri. Guru dapat memudahkan proses ini, dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa.
Ausubel (Suparno, 2001) menyatakan bahwa pembelajaran secara bermakna adalah pembelajaran yang lebih mengutamakan proses terbentuknya suatu konsep daripada menghafalkan konsep yang sudah jadi. Konsep-konsep dalam matematika tidak diajarkan melalui definisi, melainkan melalui contoh-contoh yang relevan dengan melibatkan konsep tertentu yang sudah terbentuk dalam pikiran siswa. Pembelajaran secara bermakna terjadi bila siswa mencoba menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka, tidak hanya sekedar menghafal.
Berdasarkan pendapat-pendapat yang dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika merupakan suatu bentuk kegiatan pembelajaran yang mengutamakan keterlibatan siswa untuk membangun pengetahuan matematikanya dengan caranya sendiri. Dalam kegiatan tersebut guru berperan sebagai fasilitator dan mediator. Sebagai fasilitator, guru menyediakan berbagai sarana pembelajaran yang memudahkan siswa membangun pengetahuan matematikanya sendiri. Sebagai mediator, guru menjadi perantara dalam interaksi antar siswa atau antara siswa dengan ide matematika dan menghindari pemberian pendapatnya sendiri ketika siswa sedang mengemukakan pendapat.
Pembelajaran Matematika Realistik (PMR)
Latar belakang pembelajaran matematika realistik
PMR pada dasarnya adalah pemanfaatan realitas dan lingkungan yang dipahami peserta didik untuk memperlancar proses pembelajaran matematika sehingga mencapai tujuan pendidikan matematika secara lebih baik dari pada masa yang lalu. Lebih lanjut Soedjadi menjelaskan bahwa yang dimaksud realitas yaitu hal-hal yang nyata atau konkret yang dapat dipahami atau diamati peserta didik lewat membayangkan. Sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan adalah lingkungan tempat peserta didik berada baik lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat yang dapat dipahami peserta didik. Lingkungan ini disebut juga kehidupan sehari-hari peserta didik.
Menurut Marpaung (2001:3), PMR dilandasi oleh pandangan bahwa siswa harus aktif, tidak boleh pasif. Siswa harus aktif mengkonstruksi sendiri pengetahuan matematika. Siswa didorong dan diberi kebebasan untuk mengekspresikan jalan pikirannya, menyelesaikan masalah menurut idenya, mengkomunikasikannya, dan pada saatnya belajar dari temannya sendiri.
Dari uraian di atas, jelas bahwa dalam PMR pembelajaran tidak dimulai dari definisi, teorema atau sifat-sifat kemudian dilanjutkan dengan contoh-contoh, seperti yang selama ini dilaksanakan di berbagai sekolah. Namun sifat-sifat, definisi dan teorema itu diharapkan seolah-olah ditemukan kembali oleh siswa melalui penyelesaian masalah kontekstual yang diberikan guru di awal pembelajaran. Jadi dalam PMR siswa didorong atau ditantang untuk aktif bekerja, bahkan diharapkan dapat mengkonstruksi atau membangun sendiri pengetahuan yang diperolehnya.
Prinsip pembelajaran matematika realistik
Gravemeijer (1994:90-91), mengemukakan bahwa ada tiga prinsip kunci (utama) dalam PMR. Ketiga prinsip tersebut dijelaskan secara singkat sebagai berikut:
# Penemuan kembali secara terbimbing dan proses matematisasi secara progresif (guided reinvention and progressive mathematizing)
Prinsip ini menghendaki bahwa, dalam PMR melalui penyelesaian masalah kontekstual yang diberikan guru di awal pembelajaran, dengan bimbingan dan petunjuk guru yang diberikan secara terbatas, siswa diarahkan sedemikian rupa sehingga, seakan-akan siswa mengalami proses menemukan kembali konsep, prinsip, sifat-sifat dan rumus-rumus matematika, sebagaimana ketika konsep, prinsip, sifat-sifat dan rumus-rumus matematika itu ditemukan.
Prinsip ini mengacu pada pandangan kontruktivisme, yang menyatakan bahwa pengetahuan tidak dapat ditransfer atau diajarkan melalui pemberitahuan dari guru kepada siswa, melainkan siswa sendirilah yang harus mengkontruksi (membangun) sendiri pengetahuan itu melalui kegiatan aktif dalam belajar.
# Fenomena yang bersifat mendidik (didactical phenomenology)
Prinsip ini terkait dengan suatu gagasan fenomena didaktik, yang menghendaki bahwa di dalam menentukan suatu materi matematika untuk diajarkan dengan pendekatan PMR, didasarkan atas dua alasan, yaitu: (1) untuk mengungkapkan berbagai macam aplikasi materi itu yang harus diantisipasi dalam pembelajaran dan (2) untuk dipertimbangkan pantas tidaknya materi itu digunakan sebagai poin-poin untuk suatu proses matematisasi secara progresif.
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa prinsip ke-2 PMR ini menekankan pada pentingnya masalah kontekstual untuk memperkenalkan materi-materi matematika kepada siswa. Hal itu dilakukan dengan mempertimbangkan aspek kecocokan masalah kontekstual yang disajikan dengan: (1) materi-materi matematika yang diajarkan dan (2) konsep, prinsip, rumus dan prosedur matematika yang akan ditemukan kembali oleh siswa dalam pembelajaran.
# Mengembangkan sendiri model-model (self developed models)
Prinsip ini berfungsi sebagai jembatan antara pengetahuan matematika informal dengan pengetahuan matematika formal. Dalam menyelesaikan masalah kontekstual, siswa diberi kebebasan untuk membangun sendiri model matematika terkait dengan masalah kontekstual yang dipecahkan. Sebagai konsekuensi dari kebebasan itu, sangat dimungkinkan muncul berbagai model yang dibangun siswa.
Berbagai model tersebut pada mulanya mungkin masih mirip atau jelas terkait dengan masalah kontekstualnya. Ini merupakan langkah lanjutan dari re-invention dan sekaligus menunjukkan bahwa sifat bottom up mulai terjadi. Model-model tersebut diharapkan akan berubah dan mengarah kepada bentuk yang lebih baik menuju ke arah pengetahuan matematika formal. Dalam PMR diharapkan terjadi urutan belajar yang bottom up, dengan urutan:
“dari situasi nyata” – “model dari situasi itu”-“model ke arah formal”
“pengetahuan formal” (Soedjadi, 2001 b: 4).
Karakteristik pembelajaran matematika realistik
Sebagai operasionalisasi ketiga prinsip utama PMR di atas, menurut Freudenthal (dalam Gravemeijer, 1994:114-115), PMR memiliki lima karakteristik, diuraikan sebagai berikut:
- Menggunakan masalah kontekstual (the use of context). Pembelajaran diawali dengan menggunakan masalah kontekstual sehingga memungkinkan siswa menggunakan pengalaman sebelumnya dan pengetahuan awal yang dimilikinya secara langsung, tidak dimulai dari sistem formal. Masalah kontekstual yang diangkat sebagai materi awal dalam pembelajaran harus sesuai dengan realitas atau lingkungan yang dihadapi siswa dalam kesehariannya yang sudah dipahami atau mudah dibayangkan. Menurut Treffers dan Goffree (dalam Suherman, dkk., 2003:149-150), masalah kontekstual dalam PMR memiliki empat fungsi, yaitu: (1) untuk membantu siswa dalam pembentukan konsep matematika, (2) untuk membentuk model dasar matematika dalam mendukung pola pikir siswa bermatematika, (3) untuk memanfaatkan realitas sebagai sumber dan domain aplikasi matematika dan (4) untuk melatih kemampuan siswa, khususnya dalam menerapkan matematika pada situasi nyata (realitas). Realitas yang dimaksud di sini sama dengan kontekstual.
- Menggunakan instrumen vertikal seperti model, skema, diagram dan simbol-simbol (use models, bridging by vertical instrument). Istilah model berkaitan dengan situasi dan model matematika yang dibangun sendiri oleh siswa (self developed models), yang merupakan jembatan bagi siswa untuk membuat sendiri model-model dari situasi nyata ke abstrak atau dari situasi informal ke formal. Artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah kontekstual yang merupakan keterkaitan antara model situasi dunia nyata yang relevan dengan lingkungan siswa ke dalam model matematika. Sehingga dari proses matematisasi horizontal dapat menuju ke matematisasi vertikal.
- Menggunakan kontribusi siswa (student contribution). Siswa diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan berbagai strategi informal yang dapat mengarahkan pada pengkontruksian berbagai prosedur untuk memecahkan masalah. Dengan kata lain, kontribusi yang besar dalam proses pembelajaran diharapkan datang dari siswa, bukan dari guru. Artinya semua pikiran atau pendapat siswa sangat diperhatikan dan dihargai.
- Proses pembelajaran yang interaktif (interactivity). Mengoptimalkan proses belajar mengajar melalui interaksi antar siswa, siswa dengan guru dan siswa dengan sarana dan prasarana merupakan hal penting dalam PMR. Bentuk-bentuk interaksi seperti: negosiasi, penjelasan, pembenaran, persetujuan, pertanyaan atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk pengetahuan matematika formal dari bentuk-bentuk pengetahuan matematika informal yang ditemukan sendiri oleh siswa. Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkomunikasikan ide-ide mereka melalui proses belajar yang interaktif.
- Terkait dengan topik lainnya (intertwining). Berbagai struktur dan konsep dalam matematika saling berkaitan, sehingga keterkaitan atau pengintegrasian antar topik atau materi pelajaran perlu dieksplorasi untuk mendukung agar pembelajaran lebih bermakna. Oleh karena itu dalam PMR pengintegrasian unit-unit pelajaran matematika merupakan hal yang esensial (penting). Dengan pengintegrasian itu akan memudahkan siswa untuk memecahkan masalah. Di samping itu dengan pengintegrasian dalam pembelajaran, waktu pembelajaran menjadi lebih efisien. Hal ini dapat terlihat melalui masalah kontekstual yang diberikan.
Langkah-langkah pembelajaran matematika realistik
Fauzi (2002:) mengemukakan langkah-langkah di dalam proses pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR, sebagai berikut:
- Langkah pertama: memahami masalah kontekstual, yaitu guru memberikan masalah kontekstual dalam kehidupan sehari-hari dan meminta siswa untuk memahami masalah tersebut.
- Langkah kedua: menjelaskan masalah kontekstual, yaitu jika dalam memahami masalah siswa mengalami kesulitan, maka guru menjelaskan situasi dan kondisi dari soal dengan cara memberikan petunjuk-petunjuk atau berupa saran seperlunya, terbatas pada bagian-bagian tertentu dari permasalahan yang belum dipahami.
- Langkah ketiga: menyelesaikan masalah kontekstual, yaitu siswa secara individual menyelesaikan masalah kontekstual dengan cara mereka sendiri. Cara pemecahan dan jawaban masalah berbeda lebih diutamakan. Dengan menggunakan lembar kerja, siswa mengerjakan soal. Guru memotivasi siswa untuk menyelesaikan masalah dengan cara mereka sendiri.
- Langkah keempat: membandingkan dan mendiskusikan jawaban, yaitu guru menyediakan waktu dan kesempatan kepada siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban masalah secara berkelompok. Siswa dilatih untuk mengeluarkan ide-ide yang mereka miliki dalam kaitannya dengan interaksi siswa dalam proses belajar untuk mengoptimalkan pembelajaran.
- Langkah kelima: menyimpulkan, yaitu guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menarik kesimpulan tentang suatu konsep atau prosedur.
Langkah-langkah PMR
Soedjadi (2001:3) menyatakan bahwa dalam pembelajaran matematika realistik juga diperlukan upaya “mengaktifkan siswa”. Upaya itu dapat diwujudkan dengan cara (1) mengoptimalkan keikutsertaan unsur-unsur proses belajar mengajar, dan (2) mengoptimalkan keikutsertaan seluruh sense peserta didik. Salah satu kemungkinan adalah dengan memberi kesempatan kepada siswa untuk dapat menemukan atau mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang akan dikuasainya. Salah satu upaya guru untuk merealisasikan pernyataan di atas adalah menetapkan langkah-langkah pembelajaran yang sesuai dengan prinsip dan karakteristik PMR.
Berdasarkan prinsip dan karakteristik PMR serta memperhatikan berbagai pendapat tentang proses pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR di atas, maka disusun langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan PMR sebagai berikut:
Langkah 1. Memahami masalah kontekstual
Guru memberikan masalah kontekstual sesuai dengan materi pelajaran yang sedang dipelajari siswa. Kemudian meminta siswa untuk memahami masalah yang diberikan tersebut. Jika terdapat hal-hal yang kurang dipahami oleh siswa, guru memberikan petunjuk seperlunya terhadap bagian-bagian yang belum dipahami siswa.
Karakteristik PMR yang muncul pada langkah ini adalah karakteristik pertama yaitu menggunakan masalah kontekstual sebagai titik tolak dalam pembelajaran, dan karakteristik keempat yaitu interaksi.
Langkah 2. Menyelesaikan masalah kontekstual
Siswa mendeskripsikan masalah kontekstual, melakukan interpretasi aspek matematika yang ada pada masalah yang dimaksud, dan memikirkan strategi pemecahan masalah. Selanjutnya siswa bekerja menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri berdasarkan pengetahuan awal yang dimilikinya, sehingga dimungkinkan adanya perbedaan penyelesaian siswa yang satu dengan yang lainnya. Guru mengamati, memotivasi, dan memberi bimbingan terbatas, sehingga siswa dapat memperoleh penyelesaian masalah-masalah tersebut. Karakteristik PMR yang muncul pada langkah ini yaitu karakteristik kedua menggunakan model.
Langkah 3. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban
Guru menyediakan waktu dan kesempatan pada siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban mereka secara berkelompok, selanjutnya membandingkan dan mendiskusikan pada diskusi kelas. Pada tahap ini, dapat digunakan siswa untuk berani mengemukakan pendapatnya meskipun pendapat tersebut berbeda dengan lainnya.
Karakteristik pembelajaran matematika realistik yang tergolong dalam langkah ini adalah karakteristik ketiga yaitu menggunakan kontribusi siswa (students constribution) dan karakteristik keempat yaitu terdapat interaksi (interactivity) antara siswa dengan siswa lainnya.
Langkah 4. Menyimpulkan
Berdasarkan hasil diskusi kelas, guru memberi kesempatan pada siswa untuk menarik kesimpulan suatu konsep atau prosedur yang terkait dengan masalah realistik yang diselesaikan.
Karakteristik pembelajaran matematika realistik yang tergolong dalam langkah ini adalah adanya interaksi (interactivity) antara siswa dengan guru (pembimbing).
Ciri PMR
Fauzan (2001:2) mengemukakan bahwa pembelajaran yang menggunakan PMR memiliki beberapa ciri, yaitu:
- Matematika dipandang sebagai kegiatan manusia sehari-hari, sehingga memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari (contextual problem) merupakan bagian yang esensial.
- Belajar matematika berarti bekerja dengan matematika (doing mathematics).
- Siswa diberi kesempatan untuk menemukan konsep-konsep matematika di bawah bimbingan orang dewasa (guru).
- Proses belajar mengajar berlangsung secara interaktif dan siswa menjadi fokus dari semua aktivitas di kelas.
- Aktivitas yang dilakukan meliputi: menemukan masalah-masalah kontekstual (looking for problems), memecahkan masalah (solving problems), dan mengorganisir bahan ajar (organizing a subject matter).
Kelebihan dan kesulitan implementasi PMR
Sebagaimana setiap pendekatan, strategi maupun metode pembelajaran, di satu sisi memiliki berbagai kelebihan, namun juga memiliki kesulitan. Demikian halnya dengan PMR.
# Kelebihan pembelajaran matematika realistik
Menurut Suwarsono (2001:5) terdapat beberapa kekuatan atau kelebihan dari pembelajaran matematika realistik, yaitu:
- Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa tentang keterkaitan matematika dengan kehidupan sehari-hari dan kegunaan pada umumnya bagi manusia.
- Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa matematika adalah suatu bidang kajian yang dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut.
- Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa cara penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal dan tidak harus sama antara yang satu dengan orang yang lain. Setiap orang bisa menemukan atau menggunakan cara sendiri, asalkan orang itu sungguh-sungguh dalam mengerjakan soal atau masalah tersebut. Selanjutnya dengan membandingkan cara penyelesaian yang satu dengan cara penyelesaian yang lain, akan bisa diperoleh cara penyelesaian yang paling tepat, sesuai dengan tujuan dari proses penyelesaian masalah tersebut.
- Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa dalam mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama dan orang harus menjalani proses itu dan berusaha untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika dengan bantuan pihak lain yang sudah lebih tahu (misalnya guru). Tanpa kemauan untuk menjalani sendiri proses tersebut, pembelajaran yang bermakna tidak akan tercapai.
# Kesulitan dalam implementasi pembelajaran matematika realistik
Adanya persyaratan-persyaratan tertentu agar kelebihan PMR dapat muncul justru menimbulkan kesulitan tersendiri dalam menerapkannya. Kesulitan-kesulitan tersebut, yaitu:
- Tidak mudah untuk merubah pandangan yang mendasar tentang berbagai hal, misalnya mengenai siswa, guru dan peranan soal atau masalah kontekstual, sedang perubahan itu merupakan syarat untuk dapat diterapkannya PMR.
- Pencarian soal-soal kontekstual yang memenuhi syarat-syarat yang dituntut dalam pembelajaran matematika realistik tidak selalu mudah untuk setiap pokok bahasan matematika yang dipelajari siswa, terlebih-lebih karena soal-soal tersebut harus bisa diselesaikan dengan bermacam-macam cara.
- Tidak mudah bagi guru untuk mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara dalam menyelesaikan soal atau memecahkan masalah.
- Tidak mudah bagi guru untuk memberi bantuan kepada siswa agar dapat melakukan penemuan kembali konsep-konsep atau prinsip-prinsip matematika yang dipelajari.
Walaupun pada pendekatan PMR memiliki kesulitan-kesulitan dalam upaya implementasinya, namun penulis optimis bahwa kendala-kendala tersebut hanya bersifat sementara. Hal ini sangat tergantung dari upaya dan kemauan yang sungguh-sungguh dari guru, serta respons siswa untuk menerapkannya pada kegiatan belajar mengajar di kelas, kiranya berbagai kesulitan tersebut lambat laun dapat diatasi.
Model Pembelajaran Kooperatif
Model pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang didalamnya mengkondisikan para siswa bekerja bersama-sama didalam kelompok-kelompok kecil untuk membantu satu sama lain dalam belajar. Menggunakan model pembelajaran kooperatif mengubah peran guru dari peran yang berpusat pada gurunya ke pengelolaan siswa dalam kelompok-kelompok kecil. Menurut teori konstruktivis, tugas guru (pendidik) adalah memfasilitasi agar proses pembentukan (konstruksi) pengetahuan pada diri tiap-tiap siswa terjadi secara optimal. Sebagai contoh, jika seorang siswa membuat suatu kesalahan dalam mengerjakan sebuah soal, maka guru tidak langsung memberitahukan di mana letak kesalahannya. Sebaiknya guru mengajukan beberapa pertanyaan untuk menuntun siswa supaya pada akhirnya siswa menemukan sendiri letak kesalahan tersebut (Suwarsono, 2002:37). Sebagai tambahan, belajar kooperatif menekankan pada tujuan dan kesuksesan kelompok, yang hanya dapat dicapai jika semua anggota kelompok mencapai tujuan atau penguasaan materi (Slavin, 1995:5).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam pembelajaran dengan pendekatan konstruktivis, siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri secara aktif melalui tugas-tugas atau masalah yang diajukan oleh guru. Siswa menyelesaikan tugas-tugas atau memecahkan masalah tersebut berdasarkan pengetahuan yang telah mereka miliki kemudian mendiskusikannya dalam kelompok kooperatif.
Belajar kooperatif dapat berbeda dalam banyak cara, tetapi dapat dikategorikan sesuai dengan sifat berikut (1) tujuan kelompok, (2) tanggung jawab individual, (3) kesempatan yang sama untuk sukses, (4) kompetisi kelompok, (5) spesialisasi tugas, dan (6) adaptasi untuk kebutuhan individu (Slavin, 1995: 12-13). Hal ini bermanfaat untuk melatih siswa menerima perbedaan dan bekerja dengan teman yang berbeda latar belakangnya.
Ciri pembelajaran kooperatif
Menurut Ibrahim (2005:2), ciri dari pembelajaran kooperatif ditandai dengan adanya:
- Struktur tugas. Struktur tugas mengacu kepada dua hal yaitu pada cara pembelajaran itu diorganisasikan dan jenis kegiatan yang dilakukan oleh siswa di dalam kelas. Hal ini berlaku pada pengajaran klasikal maupun dengan pengajaran kelompok belajar kecil.
- Struktur tujuan. Struktur tujuan suatu pelajaran adalah jumlah saling ketergantungan yang dibutuhkan siswa pada saat mereka mengerjakan tugas mereka. Terdapat tiga macam struktur tujuan yang telah berhasil diidentifikasi. Struktur tujuan disebut individualistik jika pencapaian tujuan itu tidak memerlukan interaksi dengan orang lain dan tidak bergantung pada baik buruknya pencapaian orang lain. Struktur tujuan kompetitif terjadi bila seorang siswa dapat mencapai suatu tujuan jika dan hanya jika siswa lain tidak mencapai tujuan tersebut. Dengan demikian setiap usaha yang dilakukan setiap individu untuk mencapai tujuan merupakan saingan bagi individu lainnya. Struktur tujuan kooperatif terjadi jika siswa dapat mencapai tujuan mereka hanya jika siswa lain dengan siapa mereka bekerja sama mencapai tujuan tersebut. Tiap-tiap individu mempunyai andil menyumbang pencapaian tujuan itu.
- Struktur penghargaan (Reward). Struktur penghargaan terhadap berbagai model pembelajaran juga bervariasi. Seperti halnya dengan struktur tujuan yang dapat diklasifikasi menjadi individualistik, kompetitif, dan kooperatif, begitu pula halnya dengan struktur penghargaan. Struktur penghargaan individualistik terjadi jika suatu penghargaan itu bisa dicapai oleh siswa manapun tidak bergantung pada pencapaian individu lain. Struktur penghargaan kompetitif terjadi bila penghargaan diperoleh sebagai upaya individu melalui persaingan dengan orang lain. Struktur penghargaan kooperatif terjadi jika situasi dimana upaya individu membantu individu lain mendapat penghargaan.
Tujuan pembelajaran kooperatif
Ibrahim (2005:7) mengemukakan bahwa model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting, yaitu:
- Hasil belajar akademik. Pembelajaran kooperatif juga bertujuan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik. Disamping mengubah norma yang berhubungan dengan hasil belajar, pembelajaran kooperatif dapat memberi keuntungan baik pada siswa kelompok bawah maupun siswa kelompok atas yang bekerjasama menyelesaikan tugas-tugas akademik. Siswa kelompok atas akan menjadi tutor bagi siswa kelompok bawah, jadi siswa kelompok bawah ini memperoleh bantuan khusus dari teman sebaya, yang memiliki orientasi dan bahasa yang sama. Dalam proses tutorial ini, siswa kelompok atas akan meningkat kemampuan akademiknya karena memberi pelayanan sebagai tutor membutuhkan pemikiran lebih mendalam tentang hubungan ide-ide yang terdapat dalam materi tertentu.
- Penerimaan terhadap individu. Pembelajaran kooperatif memberi peluang kepada siswa yang berbeda latar belakang dan kondisi untuk bekerja saling bergantung sama lain atas tugas-tugas bersama, dan melalui penggunaan struktur penghargaan kooperatif, belajar untuk menghargai satu sama lain.
- Pengembangan keterampilan sosial. Keterampilan bekerjasama dan kolaborasi amat penting untuk dimiliki dalam masyarakat di mana banyak kerja orang dewasa sebagian besar dilakukan dalam organisasi yang saling bergantung satu sama lain dan dimana masyarakat secara budaya semakin beragam.
Deskripsi Topik Aritmetika Sosial
Berdasarkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), materi aritmetika sosial terdiri atas:
- Melakukan simulasi aritmetika sosial tentang kegiatan ekonomi sehari-hari.
- Memahami pengertian harga beli, harga jual dan menemukan persamaan umum untung, rugi, harga jual, harga beli, rabat, neto pajak, dan bunga.
- Menghitung nilai keseluruhan, nilai perunit, dan nilai sebagian, dan
- Menentukan besar dan persentase, laba, rugi, harga jual, harga beli, rabat, neto, pajak dan bunga tunggal dalam kegiatan ekonomi.
Berikut uraian kompetensi dasar dan indikator-indikator pencapaian hasil belajar pada materi aritmetika sosial berdasarkan kurikulum satuan pendidikan (KTSP), mata pelajaran SMP kelas VII semester ganjil.
a Kompetensi dasar. Menggunakan bentuk Aljabar dalam pemecahan masalah aritmetika sosial yang sederhana
b Indikator pencapaian hasil belajar materi Aritmetika Sosial
Harga pembelian, harga penjualan, untung, dan rugi.
- Membahas tentang pengertian harga pembelian, harga penjualan, untung dan rugi;
- Membahas tentang hubungan harga pembelian, harga penjualan, untung, dan rugi;
Persentase untung dan rugi
- Membahas tentang pengertian persentase untung dan rugi;
- Membahas mengenai cara menentukan persentase untung dan rugi;
- Membahas mengenai cara menentukan harga pembelian atau harga penjualan berdasarkan persentase untung atau rugi yang diketahui;
Rabat (diskon), bruto, tara, dan netto
- Membahas pengertian diskon, bruto, tara, dan netto
- Membahas hubungan antara netto, Tara, dan bruto
Bunga tabungan dan pajak
- Membahas pengertian bunga tabungan;
- Membahas pengertian pajak penghasilan, dan pajak pertambahan nilai;
PMR untuk Mengajarkan materi Aritmetika Sosial
Dalam bagian ini dipaparkan contoh implementasi PMR dalam mengajarkan topik Aritmetika Sosial khususnya dalam mencapai indikator kompetensi dasar yaitu “Menggunakan bentuk Aljabar dalam pemecahan masalah aritmetika sosial yang sederhana”.
Implementasi PMR ini dilakukan dengan mengikuti 4 (empat) langkah operasional, yaitu:
Memahami masalah kontekstual
Guru memberikan masalah kontekstual untuk memahami masalah yang harga jual, harga beli, untung, dan rugi. Jika terdapat hal-hal yang kurang dipahami oleh siswa, guru memberikan petunjuk seperlunya terhadap bagian-bagian yang belum dipahami siswa.
Memecahkan masalah kontekstual
Untuk menuntun pemikiran siswa kearah pengertian harga beli, harga jual dan cara menentukan untung dan rugi, maka pertanyaan-pertanyaan dalam setiap masalah itu perlu dirinci. Siswa secara individu diminta memecahkan masalah “Pedagang Buah” dan “Sepeda Motor”. Masalah-masalah yang dimaksud adalah:
Masalah “Pedagang Buah”.
Pak Badu adalah seorang pedagang buah. Ia membeli 10 kg jeruk dengan harga Rp100.000,00. Kemudian ia menjual jeruk tersebut dengan harga Rp12.000,00 per kg.
- Berapa harga beli untuk 10 kg jeruk tersebut?
- Berapa harga jual untuk 10 kg jeruk tersebut?
- Apakah harga jual lebih besar dari harga beli? Atau sebaliknya?
- Untung atau rugikah Pak Badu?
- Berapa besar keuntungan atau kerugian Pak Badu?
Masalah “Sepeda Motor”.
Pak Andi membeli sebuah sepeda motor merk Vega R dengan harga Rp12.000.000,00. Beberapa bulan kemudian karena kebutuhan yang mendesak, sepeda motor tersebut dijual kembali dengan harga Rp 9.000.000,00.
- Berapa harga beli sepeda motor tersebut?
- Berapa harga jual sepeda motor tersebut?
- Apakah harga beli lebih besar dari harga jual? Atau sebaliknya?
- Untung atau rugikah Pak Andi?
- Berapa besar keuntungan atau kerugian Pak Andi?
Pada tahap ini siswa dibimbing untuk menemukan kembali konsep matematika melalui masalah kontekstual yang diberikan, yaitu “pengertian harga beli dan harga jual serta cara menentukan besar untung atau rugi” melalui ungkapan dengan kata-kata sendiri. Selain itu, pada tahap ini siswa juga diarahkan untuk membentuk dan menggunakan model sendiri guna memudahkan menyelesaikan masalah.
Membandingkan dan mendiskusikan jawaban
Melalui masalah ke-1 siswa diharapkan dapat memahami pengertian harga beli, harga jual, keuntungan dan cara menentukan besar keuntungan dalam jual beli dengan mendiskusikan secara berkelompok sehingga diperoleh jawaban yang benar, begitu juga dengan permasalahan ke-2 siswa dapat memahami pengertian kerugian dan cara menentukan besar kerugian dalam jual beli dengan cara diskusi kelompok.
Kedua masalah tersebut beserta langkah-langkah tuntunan seperlunya, dimuat dalam Lembar Kerja Siswa (LKS). Sedangkan urutan pembelajaran lengkap dimuat dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Rencana pembelajaran itu juga memuat rincian kegiatan yang perlu dijalani siswa baik secara individu maupun melalui diskusi sesama siswa atau dengan guru.
Menyimpulkan
Berdasarkan hasil diskusi kelompok dan diskusi kelas yang dilakukan, guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan tentang “pengertian dan hubungan harga pembelian, harga penjualan, untung, dan rugi”. Selanjutnya dibahas tentang presentase untung dan rugi.
PENUTUP
KESIMPULAN
Implementasi PMR setting kooperatif untuk mengajarkan materi Aritmetika Sosial dapat dilakukan dengan langkah-langkah berikut.
- Penyajian masalah “Pedagang Buah” dan “Sepeda Motor”. Siswa diminta untuk memahami masalah-masalah tersebut. Jika terdapat hal-hal yang kurang dipahami oleh siswa, guru memberikan petunjuk seperlunya terhadap bagian-bagian yang belum dipahami siswa (fase 4 pembelajaran kooperatif, membimbing kelompok bekerja dan belajar).
- Secara individu siswa memecahkan kedua masalah menurut cara sendiri. Selanjutnya untuk membimbing siswa mengonstruksi pengertian harga jual, harga beli, untung, dan rugi, maka siswa memecahkan masalah-masalah tersebut dengan tuntunan LKS (fase 4 pembelajaran kooperatif, membimbing kelompok bekerja dan belajar).
- Dengan komunikasi interaktif, guru mengarahkan siswa untuk mencermati keterkaitan antara “harga beli dan harga jual” dengan “untung dan rugi”. Melalui pengarahan tersebut diharapkan siswa dapat menyimpulkan bahwa “cara menentukan besar keuntungan adalah harga jual – harga beli, sedangkan cara menentukan besar kerugian adalah harga beli – harga jual” (fase 4 pembelajaran kooperatif, membimbing kelompok bekerja dan belajar dan masih dilakukan pada fase 5 yaitu evaluasi).
- Guru bersama siswa merumuskan pengertian harga jual, harga beli dan cara menentukan besar keuntungan dan kerugian (fase 5 pembelajaran kooperatif, evaluasi).
SARAN
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka diharapkan kepada para guru matematika SMP dapat menerapkan pembelajaran matematika realistik setting kooperatif materi Aritmetika Sosial pada Siswa Kelas VII SMP. Dalam permasalahan yang dihadapi siswa dalam kegiatan pembelajaran sebaiknya dicermati dengan seksama oleh guru yang bersangkutan dari sudut pandang berbagai aspek, misalnya pengetahuan prasyarat, pengalaman mengajar sebelumnya, dan perangkat pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas, (2003). Kurikulum Berbasis Kompetensi: Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika, Jakarta : Depdiknas
Fauzan, Ahmad. 2001. Pengembangan dan Implementasi Prototipe I & II Perangkat Pembelajaran geometri untuk Siswa Kelas 4 SD Menggunakan Pendekatan Realistik. Makalah disajiakan dalam seminar nasional RME di Jurusan Matematika FMIPA UNESA.
Fauzi, Amin. 2002. “Pembelajaran Matematika Realistik pada Pokok Bahasan Pembagian di SD.” Tesis tidak diterbitkan. Surabaya: PPs Universitas Negeri Surabaya.
Gravemeijer, K. 1994. Developing Realistic Mathematics Education. Utrecht: Freudenthal Institute.
Ibrahim, Muslimin dkk. 2005. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: Pusat Sains dan Matematika Sekolah Universitas Negeri Surabaya.
Marpaung, Y. 2001a. Prospek RME untuk Pembelajaran Matematika di Indonesia. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Realistic Mathematic Education di FMIPA UNESA.
Slavin, R.E. 1995. Cooperative Learning, second edition. Allyn & Bacon: Massachusets.
. (1997). Educational Psychology-Theory and Practice. Fifth Edition. Boston : Allyn and Bacon.
Soedjadi, R. 2001b. Pembelajaran Matematika Realistik: pengenalan awal dan praktis. Makalah disampaikan pada seminar Nasional di FMIPA UNESA.
Suharta, I Gusti Putu. 2004. Matematika Realistic: Apa dan Bagaimana?. Diakses: 10 Juni 2008.
Suparno, P. 2001. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Suwarsono, St. 2001. Beberapa Permasalahan yang Terkait dengan Upaya Implementasi Pendekatan Matematika Realistik di Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional tentang Pendekatan Matematika Realistik Universitas Sanata Dharma tanggal 14 – 15 Nopember 2001.
. 2002. Teori-teori Perkembangan kognitif dan Proses pembelajaran yang Relevan untuk Pembelajaran Matematika. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
***
(Source : Fitriani Nur, Mahasiswa PPs UNM Makassar | Prodi Pendidikan Matematika, 2008)