Jawaban Filsafat Terhadap Problema Pendidikan

PENDAHULUAN

Kerancuan arti sebuah istilah hampir dijumpai di semua bidang, termasuk dalam ilmu pendidikan. Istilah pendidikan, memang dapat diartikan secara sempit dan luas. Dalam arti yang sempit, pendidikan sering disama artikan dengan pengajaran, pembimbingan, atau pelatihan. Hal ini identik dengan ungkapan beberapa ahli pendidikan bahwa dalam pengertian yang lebih sempit, pendidikan dibatasi pada fungsi tertentu di dalam masyarakat yang terdiri dari penyerahan adat istiadat (tradisi) dengan latar belakang sosialnya, pandangan hidup masyarakat itu kepada warga masyarakat generasi berikutnya dan seterusnya (Tim Dosen FIP IKIP Malang, 1987:5).

Secara ilmiah (artian luas), Tirtaraharja (1996:37) mengemukakan bahwa pendidikan diartikan sebagai suatu kegiatan yang sistematis dan sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik. Sejalan dengan pendapat tersebut,  Drijarkara (1980) mengemukakan bahwa pendidikan adalah “memanusiakan” manusia muda. UU No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan, bahwa pendidikan merupakan usaha yang disengaja dan terencana dalam mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan bagi seseorang untuk masa depannya. Dalam pasal satu undang-undang tersebut, ditegaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.

Dari arti pendidikan itu, dapatlah dikaji bahwa pendidikan itu merupakan investasi jangka panjang, baik untuk diri peserta didik maupun untuk “kelangsungan” bangsa. Pendidikan berfungsi sebagai alat pengembangan pribadi, pengembangan warga negara, serta pengembangan kebudayaan dan pengembangan bangsa, yang pada akhirnya pendidikan itu diharapkan dapat mewujudkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.

Bisakah harapan itu diwujudkan? Jawabannya tentu banyak faktor yang ikut menentukannya. Sebab pendidikan hanyalah salah satu sektor dalam pembangunan suatu bangsa. Pendidikan hanya menggarap dari sisi sumber daya manusianya, sebagai kader pelaku pembangunan bangsa. Sedangkan proses pengkaderan itu sendiri sudah tentu terkait dengan proses-proses lainnya yang ada dalam sistem atau supra sistem sebuah negara. Yang terpenting, apakah tujuan pendidikan di negeri ini sudah relevan dengan pembangunan nasional?, karena kenyataannya produk pendidikan tersebut cenderung ‘tidak layak pakai’? Itulah masalah utama pendidikan yang dihadapi dewasa ini.

JAWABAN FILSAFAT TERHADAP PERENCANAAN PENDIDIKAN      YANG RELEVAN DENGAN PEMBANGUNAN NASIONAL

Masalah yang paling mendasar dalam pendidikan adalah tujuan pendidikan, dan jika kita berbicara tentang tujuan pendidikan, bagaimanapun juga kita harus berbicara tentang manusia; bagaimana sosok manusia yang mau kita bentuk melalui pendidikan (Sahabuddin, 1997:135).

Kualitas sumber daya manusia sebagai produk pendidikan, memang merupakan masalah utama pendidikan yang  selalu dipermasalahkan dan diupayakan oleh setiap negara, agar dapat melangsungkan pembangunan demi terciptanya kemakmuran bangsanya. Bagi bangsa Indonesia, pembangunan bidang pendidikan merupakan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur, serta memungkinkan para warganya mengembangkan diri, baik berkenaan dengan aspek jasmaniah, maupun rohaniah berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Untuk mencapai harapan tersebut, filsafat telah memberikan kontribusi pemikirannya bahwa pelaksanaan pembangunan pendidikan harus diatur dan direncanakan sedemikian rupa sehingga proses pengkaderan bangsa terarah pada tujuan dan terwujudnya cita-cita nasional. Perencanaan pendidikan yang dimaksud adalah penerapan yang rasional analisis dan sistematis mengenai proses pembangunan pendidikan dengan tujuan agar pendidikan itu lebih berhasil guna dan berdaya guna sesuai dengan kebutuhan dan tujuan peserta didik maupun masyarakat.

Perencanaan pendidikan menurut para filosof harus selalu ada relevansinya dengan pembangunan nasional. Kesenjangan yang terjadi dewasa ini berupa menumpuknya calon tenaga kerja sebagai produk pendidikan yang “tidak layak pakai” disinyalir sebagai akibat dari kelemahan sisi perencanaan pendidikan tersebut. Kenyataan tersebut tidak saja berakibat kurang lajunya pembangunan, tetapi yang lebih ironis lagi, akan menjadi bumerang bagi pendidikan itu sendiri. Pendidikan dituding sebagai pihak yang bersalah dalam hal ini.

Bertolak dari kenyataan tersebut, maka pendapat Crepley (1973) tentang alternatif pendekatan dalam perencanaan pendidikan tampaknya patut dipertimbangkan. Ketiga pendekatan tersebut adalah sebagai berikut: (1) social demand approach, (2) needs for national approach, yang meliputi; (a) man power needs approach, dan (b) economic return approach; dan (3) employment approach.

Dari ketiga pendekatan perencanaan pendidikan tersebut, tampaknya social demand approach yang paling banyak digunakan. Pertimbangan yang paling penting bagi proses perencanaan pendidikan adalah seberapa banyak sebenarnya pendidikan itu diperlukan oleh anggota masyarakat. Pandangan yang mendasar dari pendekatan ini adalah bahwa pendidikan merupakan hak manusia secara universal, sebagaimana tercantum dalam pasal 31 UUD 1945.

Melalui pendidikan, manusia dipersiapkan untuk menjadi anggota masyarakat yang “berterima” di masyarakatnya. Walau terkadang proses pendidikan itu terkesan tidak “berorientasi pasar”, atau kurang memperhatikan relevansinya dengan tuntutan masyarakat yang akan ditujunya.

Pendekatan yang disebut dengan needs for national development, orientasinya menekankan bahwa pendidikan harus menghasilkan pengetahuan, keterampilan, dan keahlian yang benar-benar relevan dengan kebutuhan pembangunan nasional dalam berbagai bidang. Pendekatan ini memusatkan perhatiannya pada kebutuhan pembangunan secara langsung. Termasuk dalam pendekatan ini adalah:

(a)      Man power approach, yang menganggap bahwa pendidikan akan dapat menghasilkan manusia-manusia berpengetahuan dan terampil untuk mengisi kebutuhan-kebutuhan sektor formal modern. Pendekatan ini menghendaki bahwa  pendidikan itu hanya mencetak tenaga-tenaga yang diperlukan pembangunan saja. Kenyataan yang kita alami sekarang ini adalah buah dari kekurang telitian pengelolaan pendidikan masa silam, sehingga output dari pendidikan itu bukan saja tidak sesuai dengan kebutuhan pembangunan, tetapi juga sudah menjadi salah satu elemen yang memperlambat percepatan pembangunan itu. Terkait dengan hal tersebut, menjamurlah pola nepotisme. Prinsip “the right man of the right job” tinggal menjadi slogan yang tak punya makna lagi. Pejabat dipilih dari unsur yang tidak profesional, yang selanjutnya mengangkat pejabat di bawahnya yang tidak kalah bobroknya, sehingga timbullah musibah krisis multi dimensional.

(b)      Economic return approach, menghendaki adanya perencanaan pendidikan berdasar analisis untung rugi. Pendekatan ini sangat memperhatikan perbandingan antara ongkos-ongkos pendidikan dan produktivitas pendidikan yang diukur dengan pendapatan seumur hidup dari para lulusannya. Kelemahan dari pendekatan ini adalah sulitnya mengukur dan membuat standard produktivitas para lulusan suatu jenjang pendidikan. Istilah bahwa pendidikan itu mahal, seyogianya seimbang dengan pola pendidikan yang menjanjikan masa depan yang cemerlang. Bertolak dari prinsip tersebut, maka perencanaan dan pengelolaan pendidikan sudah seharusnya diarahkan kepada pendidikan profesionalisme. Produktivitas yang tinggi para lulusan suatu jenjang pendidikan akan menjadi piranti pembangunan, yang sekaligus sebagai elemen masyarakat yang berterima dan bukan sebagai beban masyarakat.

(c)       Employment generation approach, menekankan pada penciptaan tenaga kerja. Pertimbangannya yang pokok bertumpu kepada perluasan kesempatan lapangan kerja yang lebih produktif untuk semua lapisan masyarakat. Kehadiran anggota masyarakat di tengah kancah pendidikan dengan image ingin menjadi pegawai, pada hakikatnya merupakan pandangan yang keliru. Meskipun hal itu terkait erat dengan persoalan sosial kemasyarakatan, namun pihak pendidikan hendaknya mencermati bahwa fenomena semacam itu merupakan indikasi keraguan masyarakat terhadap kemampuannya untuk mendiri dengan bekal pendidikan yang telah diperolehnya. Oleh karena itu, maka perencanaan dan pengelolaan pendidikan yang berorientasi kepada luaran yang sanggup mandiri sudah menjadi keharusan.

Menurut J.F.Herbart (dalam Sahabuddin,1997:137), pendidikan mempunyai dua aspek, yaitu normatif dan deskriptif. Pada segi normatif, etika yang harus menunjuk ke arah perumusan tujuan (perencanaan) pendidikan, sedangkan pada segi deskriptif, psikologilah yang menuju ke arah cara mencapai tujuan.

Secara historis filosof telah memperhatikan subyek-subyek seperti sifat alam semesta, pikiran, kebaikan, sejarah, dan masyarakat. Filosof pendidikan mempertimbangkan prinsip-prinsip umum yang digunakan untuk proses pendidikan. Prinsip adalah landasan atau struktur dasar yang atasnya gejala, peristiwa, dan realita dipahami. Filosof  pendidikan  menaruh perhatian besar terhadap prinsip-prinsip umum tertentu yang tercakup dalam pendidikan; seperti tujuan pendidikan, kurikulum atau bidang studi, prinsip-prinsip metodologi umum, analisis proses belajar mengajar, dan hubungan antara pendidikan dan masyarakat yang di dalamnya pendidikan berlangsung.

Kurikulum pendidikan sebagai pedoman seluruh elemen lembaga pendidikan, sudah selayaknya diramu sedemikian rupa sehingga kebutuhan peserta didiknya baik yang berkaitan dengan rencana kelanjutan studinya ke jenjang yang lebih tinggi, rencana kembali ke masyarakat dengan bekal yang memadai, serta tingkat keberterimaan mereka di dalam berbagai sektor pembangunan sebagai tenaga kerja yang siap pakai, sudah terakumulasi secara baik dan sistematis di dalam kurikulum.

Dalam hubungannya dengan pembangunan itulah, para filosof memandang bahwa pendidikan dan pembangunan mempunyai hubungan secara timbal balik, dalam arti bahwa pendidikan berpengaruh terhadap pembangunan nasional, karena semua elemen yang direncanakan dalam tujuan pendidikan pada hakikatnya berorientasi kepada pemanfaatan produk pendidikan tersebut dalam pembangunan, demikian pula sebaliknya, kemajuan pembangunan nasional berpengaruh terhadap pendidikan, karena kemajuan pembangunan di segala bidang tentu saja akan berdampak positif terhadap pendidikan. Namun demikian, Tirtaraharja mengingatkan bahwa persepsi yang keliru tentang arti pembangunan, yang menganggap bahwa pembangunan itu hanya semata-mata pembangunan material dapat berdampak menghambat pembangunan sistem pendidikan, karena pembangunan itu semestinya bersifat komprehensif yaitu mencakup pembangunan manusia dan lingkungannya.

Oleh karena itulah, maka perencanaan pembangunan secara cermat dan teliti khususnya di sektor pendidikan menjadi hal yang mutlak. Karena kemajuan suatu bangsa sebagai akibat dari pembangunan, tidak terlepas dari kemajuan sektor pendidikannya. Pengaruh pendidikan terhadap pembangunan nasional, contoh sederhananya dapat dicermati  sebagai berikut:

(1)      Pengaruh pendidikan terhadap pembangunan ekonomi, adalah  semakin tinggi tingkat pendidikan yang dimiliki masyarakatnya, sudah tentu akan meningkatkan kemampuan dalam mengelola perekonomian dengan cepat dan efisien. Dengan pendidikan yang relatif tinggi, berarti masyarakat yang bersangkutan mampu menciptakan dan mengembangkan IPTEK sehingga mampu menghasilkan alat-alat industri untuk kegiatan perekonomian lebih lanjut.

(2)      Pengaruh pendidikan terhadap perkembangan politik, yaitu bahwa usaha pendidikan  itu berfungsi mempersiapkan rakyat menjadi bagian dalam kehidupan politik, sehingga mereka menyadari akan hak-hak dan kewajibannya masing-masing di dalam kehidupan demokrasi.

(3)      Pengaruh pendidikan terhadap pembangunan sosial budaya, yaitu bahwa pendidikan dapat diharapkan tentunya untuk membimbing rakyat, mengasuh rakyat, dan memberikan bantuan pada rakyat, agar lebih sempurna dan kaya secara rohani, serta menjadi manusia susila.

(4)      Pengaruh pendidikan terhadap pembangunan pertahanan dan keamanan, yaitu bagaimana sistem pendidikan nasional yang cukup dapat dijamin keberhasilannya dalam menciptakan para lulusan yang berkualitas, relevan dengan usaha pembangunan, serta kualitasnya sesuai dengan permintaan tenaga kerja (seimbang). Sudah tentu akan dapat menyumbangkan secara positif terhadap kemajuan kehidupan, dengan hasil akhir semakin mantapnya ketahanan nasional.

Di sini terlihat bahwa esensi pembangunan bertumpu dan berpangkal dari manusianya, bukan pada lingkungannya, karena hanya pembangunan yang terarah kepada pemenuhan hajat hidup manusia sesuai dengan kodratnya sebagai manusia, yang dapat meningkatkan martabatnya sebagai manusia. Tegasnya, pembangunan apapun jika berakibat mengurangi nilai manusiawi berarti keluar dari esensinya (Tirtaraharja, 1996:341).

Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa, jika pembangunan bertolak dari sifat hakikat manusia, berorientasi kepada pemenuhan hajat hidup manusia sesuai dengan kodratnya sebagai manusia maka dalam ruang gerak pembangunan, manusia dapat dipandang sebagai “objek” dan sekaligus juga sebagai “subjek” pembangunan.

Sejalan dengan pendapat tersebut, Fuad Hasan (op cit) menyatakan bahwa manusia adalah mahluk yang terentang antara “potensi” dan “aktualisasi”. Di antara dua kutub itu terentang upaya pendidikan. Dengan demikian, maka semakin jelaslah betapa pentingnya peranan pendidikan itu yang memungkinkan berubahnya potensi manusia menjadi aksidensi, dan naluri menjadi nurani, sehingga manusia menjadi sumber daya atau modal utama pembangunan yang manusiawi.


KESIMPULAN

Berdasarkan uraian singkat tersebut di atas, maka dapat ditarik beberapa simpulan, antara lain:

  1. Hubungan pendidikan dengan pembangunan bersifat komplimentri, artinya saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya.
  2. Pendidikan merupakan investasi jangka panjang, sehingga tuntutan peningkatan mutu pendidikan dalam waktu singkat, memerlukan waktu yang cukup untuk mewujudkannya.
  3. Esensi pembangunan adalah pada manusia, bukan pada lingkungan.
  4. Masalah utama yang dihadapi pendidikan adalah mutu luaran yang tidak siap pakai, terutama dalam sektor pembangunan.
  5. Para filosof memandang bahwa untuk meningkatkan mutu pendidikan, maka sektor perencanaan perlu mendapatkan prioritas, namun bukan berarti bahwa sektor lain diabaikan.
  6. Perencanaan pendidikan harus selalu ada relevansinya dengan pembangunan nasional.
  7. Fenomena adanya masyarakat yang bersekolah karena ingin menjadi pegawai, merupakan salah satu indikator keraguan masyarakat terhadap kemampuannya untuk mandiri dengan berbekal pendidikan yang telah diperolehnya.

DAFTAR PUSTAKA

Crepley, A.J. 1973. Life Long Education, a Psychological Analysis, terjemahan N. Sardjan Kadir. Surabaya: Usaha Nasional

Drijarkara. 1980. Tentang Pendidikan. Jakarta: Yayasan Kanisius

Sahabuddin. 1997. Filsafat Pendidikan. Prog.S-2 IKIP Ujung Pandang

Tim Dosen FIP IKIP Malang. 1987. Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan. Surabaya: Usaha Nasional

Tirtaraharja, Umar dan La Sulo, 1996. Pengantar Pendidikan. FIP IKIP Ujung Pandang

Tjokroamidjojo, Bintoro. 1980. Teori Strategi Pembangunan Nasional. Jakarta: Gunung Agung

UURI No.2 Tahun 1989

***

(Source : Fitriani Nur, Mahasiswa PPs UNM Makassar | Prodi Pendidikan Matematika, 2008)