Aspek-Aspek Ajaran Psikologi Agama

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Eksistensi agama merupakan sarana pemenuhan kebutuhan esoteris manusia yang berfungsi untuk menetralisir seluruh tindakannya. Tanpa bantuan agama manusia senantiasa bingung, resah, bimbang gelisah, dan sebagainya. Sebagai akibatnya manusia tidak mampu memperoleh arti kebahagiaan dan kesejahteraan hidupnya.

Kondisi jiwa yang tidak tenang, seperti gelisah, resah, bingung, dan sebagainya dapat dikategorikan dalam gangguan jiwa atau dalam istilah psikopatologi disebut neurosis

Rumusan Masalah

Kemukakan aspek-aspek anjuran-anjuran dalam psikologi agama.

BAB II

PEMBAHASAN

Beberapa Aspek Ajaran Agama Islam sebagai Terapi Neurosis

Keimanan

Hidup manusia tidak selamanya berjalan lurus, adakalanya goncang-goncangan hadir dalam langkah kehidupan manusia. kegoncangan-kegoncangan tersebut bisa jadi diakibatkan oleh musibah, kegagalan, dan sebagainya. Kondisi tersebut  biasanya dihadapi dengan berbagai perasaan, seperti sedih, tegang, resah, takut, marah, kecewa, atau sebaliknya cobaan tersebut dihadapi dengan hati yang lapang.

Disini kepribadian sangat menentukan apabila kepribadiannya utuh dan jiwanya sehat, ia akan menghadapi semua masalah tersebut dengan tenang. Kepribadian yang didalamnya terkandung unsur-unsur keimanan yang teguh, berbagai masalah yang menimpa dirinya dihadapi dengan hati yang tenang. Namun orang yang jiwanya goncang dan jauh dari agama boleh jadi ia akan marah tanpa sasaran yang jelas, atau memarahi orang lain sebagai sasaran kemarahan.

Unsur penting yang membantu pertumbuhan dan perkembangan kejiwaan adalah iman yang direalisasikan dalam bentuk ajaran agama. Oleh sebab itu, iman dijadikan sebagai prinsip pokok dalam ajaran agama Islam, menjadi pengendali sikap, tindakan, ucapan, dan perbuatan. Tanpa kendali iman, manusia akan mudah merugikan melakukan sendiri atau orang lain dan menimbulkan penyesalan dan kecemasan yang akan menyebabkan terganggunya kesehatan mental. Keamanan itu sendiri merupakan proses kejiwaan yang tercakup didalamnya fungsi jiwa, perasaan dan pikiran sama-sama menyakinkannya. Apabila iman tidak sempurna, manfaatnya bagi kesehatan mental pun kurang sempurna.

Orang yang percaya adanya Tuhan, tidak akan merasa kesepian dimanapun mereka berada. Kendatipun ia seorang diri, tapi pada hakikatnya ia tidak sendirian.

Dengan demikian, keimanan akan menentramkan hati, karena ada tempat mengeluh dan mengungkapkan segala perasaan hatinya. Dengan percaya akan adanya Tuhan manusia akan tertolong dalam melepaskan diri dari ikatan benda dan segala sesuatu yang bersifat material.

Shalat

Hubungan antara shalat dengan kesehatan mental telah diketahui dan dirasakan oleh banyak orang, hal ini juga didasarkan pada (QS. AL Mu’minun 140 : 1-2).

Artinya :

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu` dalam shalatnya,

Hadits  juga disebutkan

‘Sesungguhnya shalat itu adalah ketenangan dan kerendahan hati’

Shalat adalah ibadah yang didalamnya terjadi hubungan rohani antara makhluk dan khaliqnya. Shalat juga dipandang sebagai munajat-berdoa dalam hati yang khusyu, kepada Allah. Orang yang sedang mengerjakan shalat dengan khusyu’ tidak merasakan sendiri. Seolah-olah ia berhadapan dan melakukan dialog dengan Tuhan. Suasana spiritual seperti ini dapat menolong manusia untuk mengungkapkan segala perasaan dan berbagai permasalahan yang dihadapi. Dengan demikian, ia mendapatkan tempat untuk mencurahkan segala yang ada dalam pikiran dan pikirannya. Dengan shalat yang khusyu, orang akan mendapatkan ketenangan jiwa, karena merasa diri  dekat dengan Allah dan beroleh ampunannya.

Puasa

Terdapat dua sikap yang  dapat dikembangkan dengan berpuasa yaitu:

  1. Mengendalikan diri terhadap nafsu dan dorongan-dorongan jahat yang ada dalam diri manusia
  2. Mengembangkan dan meningkatkan serta mengarahkan diri terhadap hal-hal yang serba baik dan diridhai nya.

Hal ini  tidak saja membawa manfaat bagi diri sendiri sebagai pribadi dan sebagai anggota masyarakat, tetapi juga sebagai hamba Allah yang baik dan berguna. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa berpuasa merupakan proses pengembangan dan aktualisasi diri kearah manusia bertakwa.

Dengan berpuasa orang akan menjadi sadar, yakin dan sabar melatih dirinya  dalam menahan lapar dan haus, serta menahan segala keinginan hawa nafsu dalam jangka waktu tertentu. Puasa yang dilakukan  dengan penuh kesadaran, keimanan dan ketakwaan kepada Allah merupakan benteng yang kokoh bagi pertahanan diri terhadap segala godaan hawa nafsu. Puasa yang demikian akan mendorong manusia untuk bersikap ikhlas, jujur, benar dan mengendalikan diri dalam setiap amal yang dilakukannya. Puasa yang benar akan memberikan ketenangan jiwa. Apabila orang sering melakukan puasa berarti ia akan jauh dari sifat jahat, semakin terkendali dan kuatlah benteng  pertahanan dirinya. dengan demikian, orang yang berpuasa dapat dijaga dari penyebab gangguan kejiwaan dan tercegah dari penyakit jiwa.

Disamping aspek-aspek tersebut diatas, masih terdapat banyak metode dalam mencegah dan menanggulangi terjadinya neurosis. Sementara itu, dalam dunia tasawuf dikenal tiga langkah yang dihubungkan dengan usaha kesehatan mental, yaitu takhalli, tahali dan tajuili.

Takalii merupakan usaha mengosongkan diri dari segala perbuatan yang tidak baik. Perbuatan tidak baik dapat dikategorikan sebagai gangguan-gangguan jiwa pada diri seseorang. Oleh karena itu, metode takhalli, memiliki hubungan dengan patologi. Apabila seseorang tidak mau membuang keburukan yang ada dalam dirinya sehingga dapat mengganggu jiwanya, maka sebagai akibatnya adalah adanya mental yang kurang sehat.

Tahali, yaitu dengan mengisi diri seseorang dengan perbuatan-perbuatan atau tingkah laku yang baik. Tahalli tersebut boleh dikatakan sebagai fungsi terapi. Sedangkan tajalli adalah kondisi dimana seseorang benar-benar sempurna dan paripurna, yang berimplikasi pada kesehatan mental.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Aspek-aspek dalam ajaran-ajaran psikologi agama ialah

  • Keimanan
  • Shalat
  • Puasa

DAFTAR PUSTAKA

Sururin, Ilmu Jiwa Agama Raja Grafindo, 2004