Dalil tentang Larangan Menyuap dan Menerima Suap

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Suap menyuap sangat berbahasa bagi kehidupan masyarakat karena akan merusak tatanan atas sistem yang ada di masyarakat dan menyebabkan terjadinya kecerobohan dan kesehatan dalam menetapkan hukum sehingga hukum dapat dipermainkan dengan uang.

Bagaimana juga seorang hakim yang telah mendapatkan uang tidak mungkin dapat berbuat adil. Ia akan mebelakkan supremasi hukum ia akan mempermudah berbagai urusan orang yang tidak ia kenal dan tidak pernah hadapi apaun. Dan ini salah satu fenomena yang terjadi di bangsa kit Indonesia hukum tidak terjadi pada pejabat namun berlaku pada rakyat kecil, karena hukum mudah di perjualbelikan.

Rumusan Masalah

  1. Bagaimana suap dalam masalah hukum?
  2. Dan bagaimana hukum seorang penyuap dalam Islam?

BAB II

PEMBAHASAN

Larangan Menyuap

Artinya:

Abu Hurairah ra berkata Rasulullah saw melaknat penyuap dan yang diberi suap dalam urusan hukum

Menyuap dalam masalah hukum adalah memberikan sesuatu, baik berupa uang maupun lainnya kepada penegak hukum agar terlepas dari ancaman hukum atau mendapat hukuman ringan.

Perbuatan seperti itu sangat dilarang dalam Islam dan disepakati oleh para ulama sebagai perbuatan haram. Harta yang diterima dari hasil menyuap tersebut tergolong dalam harta yang diperoleh melalui jalan batil. Allah swt berfirman dalam Al-Qur’an:

Terjemahnya:

Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.

Suap-menyuap sangat berbahaya bagi kehidupan masyarakat karena akan merusak berbagai tatanan atas sistem yang ada di masyarakat dan menyebabkan terjadinya kecerobohan dan kesalahan dalam menetapkan ketetapan hukum sehingga hukum dapat dipermainakn dengan uang. Akibatnya, terjadi kekacauan dan ketidakadilan. Dsuap, banya para pelanggar yang seharusnya diberi hukuman berat justru mendapat hukuman ringan, bahkan lolos dari jeratan hukum. Sebaliknya banyak pelanggaran hukum kecil, yang dilakukan oleh orang kecil mendapat hukuman sangat  berat karena tidak memiliki uang untuk menyuap para haki. Tak heran bila seorang pujangga sebagaimana dikutip oleh Yusuf Al Qadhawy menyindir tentang suap-menyuap dengan kata-katanya:

Jika anda tidak dapat mendapat sesuatu

yang anda butuhkan

Sedangkan anda sangat menginginkan

Maka kirimlah juru damai

Dan janganlah pesan  apa-apa

Juru damai itu adalah uang.

Bagaimanapun juga, seorang hakim yang telah mendapatkan uang suap tidak mungkin dapat berbuat adil. Ia akan membolak-balikkan supremasi hukum. Apalagi kalau perundang-undangan yang digunakannya merupakan hasil buatan manusia, hendak sekali baginya untuk mengutak-atiknya sesuai dengan kehendaknya. Lama-kelamaan masyarakat terutama golongan kecil, tidak akan percaya lagi kepada para penegak hukum karena selalu menjadi pihak yang dirugikan. Dengan demikian, hukum rimba yang berlaku, yaitu siapa yang kuat dialah yang menang.

Islam melarang perbuatan tersebut, bahkan menggolongkannya sebagai salah satu dosa besar, yang dilaknat oleh Allah dan rasul-Nya. Karena perbuatan tersebut tidak hanya melecehkan hukum, tetapi lebih jauh lagi melecehkan hak seseorang untuk mendapatkan perlakuan yang sama di depan hukum. Oleh karena itu, seorang hakim hendaklah tidak menerima pemberian apapun dari pihak manapun  selain gajinya sebagai hakim.

Untuk mengurangi perbuatan suap-menyuap dalam masalah hukum, jabatan hakim oleh mereka yang berkecukupan daripada jabatan oleh  mereka yang hidupnya serba kekurangan karena kemiskinan seorang hakim akan mudah membawa dirinya untuk berusaha mendapatkan sesuatu yang bukan haknya.

Sebenarnya, suap-menyuap tidak hanya dilarang  dalam masalah hukum saja, tetapi dalam berbagai aktivitas dan kegiatan. Dalam beberapa hadis lainnya, suap menyuap tidak dikhususkan terhadap masalah hukum saja, tetapi bersifat umum.

Sangat disayangkan, suap menyuap dewasa ini seperti sudah menjadi penyakit menahun yang sangat sulit untuk disembuhkan, bahkan disinyal sudah membudaya. Segala aktivitas, baik yang berskala kecil maupun berskala besar tidak terlepas dari suap menyuap. Dengan kata lain, sebagaimana diungkapkan M. Quraish Shihab, masyarakat telah melahirkan budi yang tadinya munkar (tidak dibenarkan) dapat menjadi ma’ruf (dikenal dan dinilai baik) apabila berulang-ulang dilakukan banyak orang. Yang ma’ruf pun dapat menjadi munkar bila tidak lagi dilakukan orang.

Menurut M. Quraish Shihab, argument para ulama di atas tidaklah jelas, tetapi tampak keadaan ketika itu mirip dengan keadaan pada masa sekarang. Tampaknya saat ini budaya sogok-menyogok telah menjamur, sehingga menyulitkan penuntut hak untuk memperoleh haknya maka lahirlah pendapat yang membolehkan tadi.

Akan tetapi, menurutnya, Asy’ariyah-Syaukani mengingatkan bahwa pada dasarnya agama tidak membolehkan pemberian dan peneriman sesuatu dari seseorang, kecuali dengan hati yang tulus. Apakah mereka yang memberi pelican itu tulus? Dan tidaklah sikap tersebut semakin menumbuhsuburkan praktek suap-menyuap dalam masyarakat? Bukankah dengan memberi walaupun dengan dalil meraih hak yang salah, seseroang telah membantu si penerima untuk memperoleh sesuatu yang haram dan terkutuk. Dengan demikian, si pemberi sedikit ataupun banyak, menyurutnya, telah pula menerima sanksi keharaman dan kutukan atas suap menyuap tersebut.

Larangan Bagi Pejabat untuk Menerima Hadiah

Artinya;

Abu Humaid Assa’id ra berkata, Rasulullah saw mengangkat seorang pegawai untuk menerima  sedekah/zakat kemudian sesudah selesai ia datang kepada nabi saw dan berkata ‘ini untukmu dan yang ini  untuk hadiah yang diberikan  orang kepadaku’. Maka nabi saw bersabda kepadanya, mengapakah anda tidak duduk saja di rumah ayah atau ibu anda untuk melihat apakah diberi hadiah atau tidak (oleh orang)? Kemudian sesudah shalat, nabi saw berdiri, amma ba’du, mengapakah seorang pegawai yang diserahi amal, kemudian ia datang lalu berkata, ini hasil untuk kamu dan ini aku diberi hadiah, mengapa ia tidak duduk saja dirumah ayah atau ibunya untuk melihat apakah diberi hadiah atau tidak. Demi Allah! Yang jiwa Muhammad di tangan-Nya tiada seorang yang menyembunyikan sesuatu (korupsi) melainkan ia akan menghadap di hari kiamat memikul di atas lehernya, jika berupa onta bersuara, atau lembu yang menguang atau kambing yang mengembik, maka sungguh aku telah menyampaikan. Abu Humaid berkata, kemudian nabi saw mengangkat kedua tangannya sehingga aku dapat melihat putra kedua ketiaknya”.

Dari keterangan-keterangan di atas, jelaslah bahwa pada dasarnya memberikan hadiah kepada orang lain sangat baik dan dianjurkan untuk lebih meningkatkan rasa saling mencintai. Begitu pula bagi yang diberi hadiah disunahkan untuk menerimanya.

Akan tetapi, Islam pun memberi rambu-rambu tertentu dalam masalah hadiah, baik yang berkaitan dengan pemberi hadiah maupun menerimanya. Dengan kata lain, tidak semua orang diperbolehkan menerima hadiah, misalnya bagi seorang pejabat atau pemegang kekuasaan.

Hal itu diajukan untuk kemaslahatan dalam kehidupan manusia. Banyak orang yang ingin sekali mengenal bahkan akrab dengan orang-orang yang terpandang, baik para pejabat maupun orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi lainnya. Mereka menempuh berbagai jalan untuk dapat mendekati orang-orang tersebut dengan cara memberi hadiah kepadanya padahal pejabat tersebut hidup berkecukupan, bahkan tak pantas untuk diberi hadiah, karena masih banyak lainnya yang lebih membutuhkan hadiah tersebut.

Oleh karena itu, Islam melarang seorang pejabat atau petugas negara dalam posisi apapun  untuk menerima atau memperoleh hadiah dari siapapun karena hal itu tidaklah layak dan dapat menimbulkan fitnah. Di samping sudah mendapat gaji dari negara, alasan pemberian hadiah tersebut berkat kedudukannya. Bila dia tidak memiliki kedudukan atau jabatan, belum tentu orang-orang tersebut akan memberinya hadiah. Sebagaimana menyatakan dalam hadis di atas bahwa jika ia tidak menjabat dan hanya diam di rumah, tidak ada seorang pun yang memberikan hadiah kepadanya.

Dengan demikian, hadiah yang diberikan kepada para pejabat atau yang berwenang, kecil ataupun besar wewenangnya apabila sebelum tidak biasa teirma dinilai sebagai sogokan terselubung.

Dengan kata lain, hadiah yang diberikan kepada seorang pejabat sebenarnya bukanlah hak. Di samping itu, niat orang-orang memberikan hadiah kepada para pejabat atau para pegawai, dipastikan tak didorong dan didasarkan pada keikhlasan sehingga perbuatan mereka akan sia-sia dihadapan Allah swt.

Kalau mereka memang ingin memberi hadiah, mengapa tidak memberikannya kepada mereka yang lebih membutuhkan daripada hadiah yang diberikan tersebut, antara lain mengharapkan agar pejabat tersebut mengingatnya dan mempermudah berbagai urusannya.

Selain itu, seorang pejabat yang menerima hadiah dari orang, berarti mendekatkan dirinya pada perbuatan kolusi dan nepotisme. Dalam pelaksanaan kewajiban khususnya, misalnya dalam pengaturan tender penempatan pegawai, dan lain-lain, bukan lagi didasarkan pada aturan yang ada, namun lebih didasarkan pada apa yang diberikan pada aturan yang ada, namun lebih didasarkan pada apa yang diberikan orang kepadanya dan seberapa dekat hubungannya dengan orang tersebut.

Ia akan mempermudah berbagai  urusan orang yang memberinya hadiah dan tidak memperdulikan urusan orang yang tidak dia kenal dan tidak pernah memberinya hadiah apapun. Dengan demikian, akan berpengaruh terhadap kinerja. Apalagi kalau ia menempatkan bawahannya dengan didasarkan pada uang yang diterimanya, hal ini akan menyebabkan adanya orang-orang yang tidak pantas menduduki tempat tersebut karena tidak sesuai dengan kemampuan dan kualitasnya.

Dengan demikian pantaslah kalau Rasulullah melarang seorang pegawai atau petugas negara untuk menerima hadiah karena menimbulkan kemadaratan walaupun pada asalnya menerima hadiah itu dianjurkan.dalam kaidah Ushul Fiqh dinyatakan bahwa “suatu perantara yang akan menimbulkan suatu kemadaratan, tidak boleh dilakukan.”

Namun demikian, kalau kaidah tersebut betul-betul murni dan tidak ada kaitannya dengan jabatannya, Islam tentu saja memperbolehkannya. Misalnya sebelum dia memangku suatu jabatan, dia sudah terbiasa menerima hadiah dari seseorang. Begitu pula setelah dia menduduki suatu jabatan, orang tersebut masih tetap memberinya hadiah. Pemberian seperti itu kemungkinan besar tidak ada kaitannya dengan jabatannya atau kedudukannya dan ini boleh diterima olehnya.

Fiqh Al-Hadis:

DalamIslam, para pegawai instansi atau para pemegang kekuasaan dilarang menerima hadiah yang diberikan kepadanya berkaitan dengan jabatannya. Jika ia tidak menduduki suatu jabatan dipastikan tidak akan menerima hadiah tersebut. Dengan demikian hadiah tersebut akan menjadikannya melakukan perbuatan kolusi dan nepotisme.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Menyuap dalam masalah hukum adalah memberikan sesuatu baik berupa uang maupun halnya kepada penegak hukum agar terlepas dari ancaman  hukum atau mendapat hukuman ringan.

Hukum dalam Islam seorang penyuap itu sangat dilarang oleh Allah swt sebagaimana firman Allah dalam surah al Baqarah yang berbunyi “Dan janganlah sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, karena Allah melaknat seorang penyuap”.

Saran

Dengan penuh harapan dari penulis bahwa makalah ini masih begitu jauh dari kesempurnaan sebagai satu karangan ilmiah dan saran serta masukan yang sifatnya membangun demi perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

Wasalam.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Kahulany, Muhammad Ibn Ismail. Subul As-Salam. Bandung: Maktabah Dahlan, t.th.

Qardhawi, Yusuf. Fatwa-fatwa Kontemporer Jilid I, Jakarta: Gema Insani Press, 1988.

Syaryashy, Ahmad. Yasalunaka fi Ad-Din wa al-Hayat. Beirut: Dar Al-Jail, 1981.