Oleh: Fotarisman Zaluchu
Belajar, sering sekali dikonstruksikan dalam perjalanan kehidupan manusia sebagai sesuatu yang formal, terstruktur dan terikat dalam sistem-sistem. Akibatnya, orientasi subjek belajar berada dalam sirkulasi yang tidak putus: sekolah, gelar, kerja; demikian seterusnya. Bahkan konstruksi sosio-budaya masyarakat juga turut menciptakan peranan membentuk “mitos-mitos” soal keberhasilan, kesuksesan, dan kemapaman. Mitos ini ditransfer secara formal melalui pola pengembangan pendidikan di sekolah atau lembaga pendidikan lainnya, dan secara informal dibentuk dan ditransfer melalui apa yang disebut sebagai nasihat dan ajaran orangtua atau lingkungan berada.
Bagaimanapun, perkembangan dunia yang semakin beragam dan penuh dengan kemajuan ini dipersepsikan dan diformat menjadi lahan yang memerlukan mereka yang “bersekolah”, “bergelar”, atau yang “bekerja”, menjadi faktor pendukung yang secara sistematis melanggengkan pembentukan para calon-calon kapitalis intelektual-seperti disebutkan dalam sebuah buku yang menggugat peran pendidikan. Akibatnya dapat kita lihat: koruptor-koruptor nomor wahid adalah mereka yang pernah mengecap pendidikan, perusak lingkungan adalah mereka yang justru berasal dari dunia pendidikan, para materialis-kapitalis adalah warga pendidikan yang mengetahui peluang usaha, dan seterusnya, sampai akhirnya kita tahu bahwa pendidikan (baca: sekolah) justru menghasilkan “manusia-manusia” aneh yang tidak memberikan kontribusi bagi perkembangan peradaban yang lebih bermoral.
Membangun peradaban yang lebih manusiawi dan berorientasi untuk meninggikan harkat-martabat manusia pada posisi yang elegan, terhormat dan human being, adalah tujuan sebenarnya dari belajar. Sebagai subjek belajar, manusia seharusnya mencapai kehidupan yang lebih bermakna dan berarti, dalam belajar. Dan untuk itu, belajar tidak identik dengan buku, kertas kerja, laporan, sekolah dan hal lain yang baku, tetapi lebih kepada pengalaman.
Idealkah? Jawabnya bisa optimistik bisa pula pesimistik. Tetapi ini adalah tantangan baru ketika kita melihat gagalnya pendidikan (dan prosesnya) selama ini. Kita gagal memperbaiki dunia karena dunia semakin memburuk secara sosio-politik-ekonomik; kita gagal memperbaiki peradaban karena dunia semakin kacau dan kejam; kita tidak menemukan kaum terdidik yang bermoral karena kerusakan sistem justru dimulai oleh kaum terdidik; kita gagal membangun sistem pendidikan yang human oriented karena kita hanya membangun manusia-manusia mekanis dan kaku; Maka kita perlu membangun suatu conter culture. Kita harus “melompat” ke suatu pemikiran yang menempatkan manusia pada posisi yang sebenarnya (the real track).
Dr. J. Verkuyl–seorang tokoh pendidikan–mengatakan bahwa belajar dan prosesnya sebenarnya tidaklah semata-mata hanya semakin menambah pengetahuan dan informasi. Tidak cukup dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari tahu menjadi lebih tahu. Bahkan dunia hewan pun mengenal proses demikian. Manusia, berbeda jauh. Ia mengatakan bahwa ketika proses belajar terjadi, manusia–sebagai pembelajar–harus mengalami perubahan yang lebih menunjukkan keberadaan manusia sebagai sesuatu yang unik : pembentukan karakter.
Belajar, berarti masuk ke dalam “dunia” yang khas, dimana seharusnya seseorang menjadikan apa yang dibaca, apa yang dialami, dimengerti, dianalisis, dikonfirmasikan, dan dipahami, menjadi nilai-nilai baru yang digunakan untuk perubahan perilaku. Bacaan, bahkan tumpukan buku–dan terlebih pengalaman-pengalaman dalam kehidupan–adalah “belajar” yang sesungguhnya, disediakan untuk menjadikan manusia itu lebih bernilai. Bernilai dan dihargai sebagai manusia yang berkarakter sebagai manusia. Ke sanalah seharusnya belajar itu diarahkan. Belajar, baik dengan apa yang tertulis dan yang tidak tertulis-berarti menjadikannya hidup-dilakukan, dan tidak terbatas dalam informasi. Pengetahuan seharusnya berjalan sejajar dengan perubahan hidup. Pengetahuan mengenai kehidupan harus berbenturan dengan nilai-nilai yang ada dan menguatkan pemahaman mengenai apa yang lebih benar. Dan untuk itu perlu latihan belajar yang terus menerus (on going process) dan sungguh-sungguh, sebab semuanya ini permasalahan mengenai kehidupan.
Ketika semua-masing-masing pembelajar–mengetahui bahwa sedemikian dalamlah pengertian belajar ini harus dicapai, maka mereka akan masuk dalam suatu komunitas peradaban yang baru. Komunitas yang sepakat bahwa penghargaan atas harkat dan martabat manusia dijamin akan dijaga dan dikembangkan sedemikian rupa. Komunitas yang menghargai nilai-nilai luhur manusia dan membangun karakter manusia sesuai dengan apa yang seharusnya.
Oleh karenanya, diperlukan suatu paradigma baru dalam memandang semuanya ini (baca: belajar). Dan diperlukan suatu ambisi baru untuk mewujudkan semuanya ini. Kita membutuhkan para relawan-relawan yang hadir dan membangun counter culture (meminjam istilah John Stott) terhadap peradaban yang semakin jauh dari penghargaan terhadap diri, masyarakat dan bangsa. Kita juga membutuhkan suatu tekanan dan sistem sosial yang kondusif bagi proses pembelajaran ini. Kita butuh suatu komitmen serta political will dari lebih banyak elemen di masyarakat untuk mendukung perubahan progresiv ini. Dan terlebih lagi, kita membutuhkan lebih banyak orang lagi untuk membangun suatu aliansi bersama dan bergandengan tangan membangun peradaban.
*) Fotarisman Zaluchu, alumni FKM USU dan alumni Program Pascasaraja USU. Bekerja sebagai peneliti dan trainer komunikasi interpersonal di Medan.