A. Posisi Keluarga Dalam Menentukan Tingkat Disiplin Pada Anak
Esensi pendidikan umum adalah proses menghadirkan situasi dan kondisi yang memungkinkan sebanyak mungkin subyek didik memperluas dan memperdalam makna-makna esensial untuk mencapai kehidupan yang manusiawi. Oleh karena itu, sangat diperlukan adanya kesengajaan atau kesadaran untuk mengundangnya melakukan tindak belajar yang sesuai dengan tujuan. Dengan demikian, esensi pendidikan umum, mencakup dua dimensi yaitu dimensi pedagogis dan dimensi subtantif. Dimensi pedagogis adalah proses menghadirkan situasi dan kondisi yang sebanyak mungkin anak didik terundang untuk memperluas dan memperdalam dimensi substansif.
Pendidikan umum dilaksanakan dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Dengan demikian, keluarga merupakan salah satu lembaga yang mengembang tugas dan tanggung jawab dalam pencapaian tujuan pendidikan umum.
Tujuan esensial pendidikan umum adalah mengupayakan subyek didik menjadi pribadi yang utuh dan terintegrasi. Untuk mencapai tujuan ini, tugas dan tanggung jawab keluarga (orang tua) adalah menciptakan situasi dan kondisi yang memuat iklim yang dapat dihayati anak-anak untuk memperdalam dan memperluas makna-makna esensial.
Orang tua dapat melaksanakan dengan cara menciptakan situasi dan kondisi yang dihayati oleh anak-anak agar memiliki dasar-dasar dalam mengembangkan disiplin.
Pendidikan dalam keluarga memberikan keyakinan agama, nilai budaya yang mencakup nilai moral dan aturan-aturan pergaulan serta pandangan, keterampilan dan sikap hidup yang mendukung kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara kepada anggota keluarga yang bersangkutan.
Anak yang berdisiplin memiliki keteraturan diri berdasarkan nilai agama, nilai budaya, aturan-aturan pergaulan, pandangan hidup, dan sikap hidup yang bermakna bagi dirinya sendiri, masyarakat bangsa dan negara. Artinya, tanggung jawab orang tua adalah mengupayakan agar anak disiplin diri untuk melaksanakan hubungan dengan Tuhan yang menciptakannya, dirinya sendiri, sesama manusia, dan lingkungan alam dan makhluk hidup lainnya berdasarkan nilai moral.
Bernhard menyatakan tujuan disiplin diri adalah mengupayakan pengembangan minat anak dan mengembangkan anak menjadi manusia yang baik, yang akan menjadi sahabat, tetangga dan warga negara yang baik.
Selanjutnya indikasi bahwa dalam pola asuh dan sikap orang tua yang demokratis menjadikan adanya komunikasi yang dialogis antara anak dan orang tua dan adanya kehangatan yang membuat anak merasa diterima oleh orang tua sehingga ada pertautan perasaan. Oleh karena itu, anak yang merasa diterima oleh orang tua memungkingkan mereka untuk memahami, menerima, dan menginternalisasi “pesan” nilai moral yang diupayakan untuk diapresiasikan berdasarkan kata hati.[1]
B. Makna Keluarga Bagi Anak
Keluarga dapat ditinjau dari dimensi hubungan darah dan hubungan sosial. Keluarga dalam dimensi hubungan darah merupakan suatu kesatuan sosial yang diikat oleh hubungan darah antara satu dengan lainnya. Berdasarkan dimensi hubungan darah ini, keluarga dapat dibedakan menjadi keluarga besar dan keluarga inti. Sedangkan dalam dimensi hubungan sosial, keluarga merupakan suatu kesatuan sosial yang diikat oleh adanya saling berhubungan antara interaksi dan saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya, walaupun di antara mereka tidak terdapat hubungan darah. Keluarga berdasarkan dimensi hubungan sosial ini dinamakan keluarga psikologis dan keluarga pedagogis.
Dalam pengertian psikologis, keluarga adalah sekumpulan orang yang hidup bersama dalam tempat tinggal dan masing-masing anggota merasakan adanya pertautan batin sehingga terjadi saling mempengaruhi, saling memperhatikan, dan saling menyerahkan diri. Sedangkan dalam pengertian pedagogis, keluarga adalah “satu” persekutuan hidup yang dijalin oleh kasih sayang antara pasangan dua jenis manusia yang dikukuhkan dengan pernikahan, yang dimaksud untuk saling menyempurnakan diri. Dalam usaha saling melengkapi dan saling menyempurnakan diri itu terkadang perealisasian peran dan fungsi sebagai orang tua.
Dalam berbagai dimensi dan pengertian keluarga tersebut, esensi keluarga (ibu dan ayah) adalah kesatuan dan ke satu tujuan adalah keutuhan dalam mengupayakan anak untuk memiliki dan mengembangkan sikap disiplin.
Keutuhan orang tua (ayah dan ibu) dalam sebuah keluarga sangat dibutuhkan dalam membantu anak untuk memiliki dan mengembangkan sikap disiplin. Keluarga yang “utuh” memberikan peluang besar bagi anak untuk membangun kepercayaan terhadap kedua orang tuanya yang merupakan unsur esensial dalam membantu anak memiliki dan mengembangkan sikap disiplin. Kepercayaan dari orang tua yang dirasakan oleh anak akan mengakibatkan arahan, bimbingan, dan bantuan orang tua yang diberikan kepada anak dan “menyatu” dan memudahkan anak untuk menangkap makna dari upaya yang dilakukan.
Sesungguhnya dalam kehidupan rumah tangga Rasulullah Saw bersama dengan istrinya yang tercinta terdapat nilai-nilai pendidikan/bimbingan yang sangat mendasar untuk dijadikan pedoman dalam rumah tangga bagi segenap masyarakat muslim guna mencapai kehidupan keluarga yang ideal dan sakinah. Semakin dikaji tentang kehidupan rumah tangga Rasulullah Saw, maka semakin nampak pula pelajaran yang berharga bagi kita dalam upaya membina sebuah keluarga.
Jika rumah tangga, masyarakat dan sekolah adalah sendi bimbingan insani, maka rumah tangga merupakan pemberi pengaruh utama yang lebih kuat di samping di sekolah atau dalam masyarakat. Sebagai pemimpin, orang tua harus mampu menuntun, mengarahkan, mengawasi, mempengaruhi dan menggerakkan si anak agar penuh dengan gairah untuk memberikan motivasi pada anak. Sebaiknya orang tua harus mampu berkomunikasi sehingga muncul kepercayaan timbal balik dengan anak.[2]
Sebenarnya orang tua tahu persis tentang anaknya. Dari pengalaman sejak bayi lahir hingga masa anak-anak kita sudah mengetahui kelebihan dan kekurangannya, jadi diperlukan keluwesan untuk mengubah tingkah laku agar mau berprestasi. Orang tua harus terus menerus memperhatikan perkembangan anak.
Keluarga dapat menciptakan suasana nyaman di rumah agar anak merasa betah berada di dekat pemimpinnya. Ciptakan rasa aman dalam dirinya, jangan sampai anak kita merasa lebih aman berada di lingkungan teman-temannya ketimbang di lingkungan keluarganya.[3]
C. Proses Pembentukan Disiplin Dalam Diri Anak
Disiplin diri anak merupakan produk disiplin. Disiplin memerlukan proses belajar. Pada awal proses belajar perlu adanya upaya orang tua. Hal ini dapat dilakukan dengan cara (1) Melatih. (2) Membiasakan diri berperilaku sesuai dengan nilai-nilai berdasarkan acuan moral. Jika anak telah terlatih dan terbiasa berperilaku sesuai dengan nilai-nilai moral maka, (3) perlu adanya kontrol orang tua untuk mengembangkannya.
Ketiga upaya ini dinamakan kontrol eksternal. Kontrol yang demokrasi dan keterbukaan ini memudahkan anak untuk menginternalisasi nilai-nilai moral. Kontrol eksternal ini dapat menciptakan dunia kebersamaan yang menjadi syarat esensial terjadinya penghayatan bersama antara orang tua dan anak. Dengan demikian disiplin diri merupakan perilaku yang dapat dipertanggungjawabkan karena dikontrol oleh nilai-nilai moral yang terinternalisasi.
Dalam konteks ini, upaya orang tua untuk menumbuhkan kontrol diri anak yang didasari nilai-nilai moral agama seyokyanya seperti diartikan di dalam nilai-nilai moral lainnya (nilai sosial, ekonomi, ilmiah/belajar, demokrasi, kebersihan dan keteraturan). Dengan kata lain, semua nilai moral tersebut sedapat mungkin merupakan cerminan dari nilai-nilai agama karena memberikan arah yang jelas kepada anak dan mencerminkan disiplin diri yang bernuansa agamis.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa manakala setiap orang tua dalam membantu anak untuk memiliki kontrol diri, berarti mereka benar-benar telah mampu: (1) membantu anak untuk memiliki manajemen diri, (2) melakukan intervensi pada diri anak, (3) memberikan nilai positif kepada anak, (4) memberikan hukuman yang tepat.
Dengan demikian, setiap upaya yang dilakukan dalam membantu anak mutlak didahului oleh tampilnya:
Pertama. Perilaku yang patut dicontoh. Artinya, setiap perilakunya tidak sekedar perilaku yang bersifat mekanik, tetapi harus didasarkan pada kesadaran bahwa perilakunya akan dijadikan lahan peniruan dan identifikasi bagi anak-anak. Oleh karena itu, pengaktualisasiannya harus senantiasa ditujukan pada ketaatan nilai-nilai moral terutama pada saat pertemuan dengan anak-anak.
Kedua, kesadaran diri ini juga harus ditularkan pada anak-anaknya dengan mendorong mereka agar perilaku kesehariaannya taat kepada nilai-nilai moral. Oleh sebab itu, orang tua senantiasa membantu mereka agar mampu melakukan observasi diri melalui komunikasi dialogis, baik secara verbal maupun non verbal tentang perilaku taat moral. Karena dengan komunikasi yang dialogis ini akan menjembatani kesenjangan, keinginan dan tujuan di antara dirinya dan anak-anaknya, yang sering kali menjadi pemicu anak berperilaku agresif atau tidak berdisiplin.
Ketiga. Komunikasi dialogis yang terjadi antara orang tua dan anak-anaknya, terutama yang berhubungan dengan upaya membantu mereka untuk memecahkan permasalahan, berkenaan dengan nilai-nilai moral. Ini berarti mereka telah mampu melakukan intervensi damai terhadap kesalahan atau penyimpangan perilaku yang tidak taat nilai moral serta telah melakukan upaya bagaimana meningkatkannya. Dengan kata lain, orang tua telah mampu melakukan kontrol terhadap perilaku anak-anaknya agar mereka tetap memilki dan meningkatkan nilai-nilai moral sebagai dasar berperilaku yang berdisiplin.
Melalui kontrol tersebut, berarti orang tua telah melakukan pengawasan dan bimbingan kepada anaknya untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai moral. Kontrol tersebut juga mengandung kontrol orang tua terhadap pergaulan anak dengan teman sebayanya agar tidak melakukan dialog dengan nilai-nilai baru yang bertentangan dengan nilai moral agama. Dalam mengontrol perilaku anak, orang tua dapat memberikan hukuman, jika hal tersebut dirasakan sangat perlu untuk menyadarkan anak terhadap perilaku-perilakunya yang menyimpang sehingga dapat meluruskan kembali.
Keempat, upaya selanjutnya untuk menyuburkan ketaatan anak-anak terhadap nilai –nilai moral dapat diaktualisasikannya dalam menata lingkungan fisik yang disebut momen fisik. Hal ini dapat mendukung terciptanya iklim yang mengundang anak yang berdialog terhadap nilai-nilai moral yang dikemasnya misalnya, adanya hiasan dinding, mushalla, lemari atau rak-rak buku yang berisi kitab-kitab agama yang mencerminkan nafas agama, ruangan yang bersih, teratur, dan barang-barang yang tertata rapi mencerminkan nafas keteraturan dan kebersihan, pengaturan tempat belajar dan suasana sunyi yang mencerminkan nafas kenyamanan dan ketenangan dalam melakukan belajar; pemilihan tempat tinggal dapat mengaktifkan anak dengan nilai-nilai moral.
Kelima, penataan lingkungan fisik yang melibatkan anak-anak dan berangkat dari dunianya akan menjadikan anak semakin kokoh dalam kepemilikan terhadap nilai moral dan semakin terundang untuk meningkatkannya. Hal tersebut terjadi jika orang tua dapat mengupayakan anak-anak untuk semakin dekat dan akrab dengan nilai moral. Upaya dapat diaktualisasi dengan menata lingkungan sosial karena dalam penataannya dapat dikemas nilai moral dalam pola hubungan antar keluarga, cara berkomunikasi, kekompakan dan adanya indikasi-indikasi pendidikan. Penataan ini merupakan realisasi orang tua dalam mempertanggungjawabkan perannya, yaitu memberikan bantuan untuk menumbuhkan kontrol diri anaknya. Sehubungan dengan itu, dalam menata lingkungan sosial, orang tua dituntut untuk menciptakan adanya pola komunikasi antar anggota keluarga yang bermuatan nilai-nilai moral. Pola komunikasi ini dapat melakukan melalui gerak, sentuhan, belaian, senyuman, mimik, atau ungkapan kata.
Pola komunikasi tersebut dapat membuat anggota keluarga menjadi lebih akrab, saling memiliki, dan merasa aman dalam keluarga.
Keenam, penataan lingkungan sosial dapat menghadirkan situasi kebersamaan antara anak-anak dengan orang tua. Situasi kebersamaan merupakan syarat utama bagi terciptanya penghayatan dan pertemuan antara orang tua dan anak-anak.
Ketujuh, penataan lingkungan pendidikan akan semakin bermakna bagi anak jika mampu menghadirkan iklim yang mendorong kejiwaannya untuk mempelajari nilai-nilai moral. Upaya yang dapat dilakukan oleh orang tua adalah menata suasana psikologis dalam keluarga. Penataan suasana psikologis dalam keluarga menyentuh dimensi emosional dan suasana kejiwaan yang menyertai dan dirasakan dalam kehidupan keluarga.
Kedelapan, penataan penataan suasana psikologis semakin kokoh jika nilai-nilai moral secara transparan dijabarkan dan diterjemahkan menjadi tatanan sosial dan budaya dalam kehidupan keluarga.
Berdasarkan upaya di atas sangat diperlukan sebagai panduan dalam membuat perubahan dan pertumbuhan anak, memelihara harga diri, dan dalam menjaga hubungan erat antara orang tua dengan anak. Dari ketiga panduan ini lahir strategi yang mengharuskan orang tua memiliki kemampuan mengatur (manajemen) anak, mengendalikan anak, serta merangsang anak-anak untuk berperilaku sesuai dengan acuan moral yang secara esensial bermakna dengan tindakan pendidikan. Selanjutnya Combs menyatakan bahwa bantuan yang diberikan orang tua kepada anak-anak bagi kepemilikan disiplin diri, sehingga mampu membantu mereka agar dapat: mempersepsi kebermaknaan nilai moral bagi dirinya, memiliki pandangan yang positif terhadap dirinya, membaca kesuksesan yang telah diraih dan memberikan motivasi-motivasi untuk meningkatkannya, dan membina rasa kebersamaan antara dirinya dengan anak-anak.[4]
D. Pola Pembinaan Keluarga
Pembinaan anak adalah tugas yang sangat mulia. Orang tua memegang peranan penting dalam membina anak di lingkungan rumah tangga, sebab orang tua yang hampir setiap hari berada di rumah. Lingkungan keluarga adalah lingkungan pertama dan utama, orang tua haruslah menjadi tokoh utama di dalam pekerjaan membina anaknya. Dalam pergaulan bersama dengan anak-anaknya, teristimewa ketika mereka masih kecil, maka orang tua haruslah senantiasa menjadi pembimbing dan teman mereka yang baik pula.
Orang tua mempunyai hak untuk dihormati oleh anak-anaknya, yang demikian itu dapat dipahami dari Firman Allah SWT dalam QS. Al-Isra’ ayat 23 – 24
Tuhanmu telah menetapkan, janganlah kamu menyembah selain Dia dan berbuat baiklah kepada ibu bapakmu. Jika salah seorang diantara mereka atau keduanya berusia lanjut, maka janganlah kamu berkata “cis/ah” kepada mereka dan janganlah pula kamu membantahnya. Tetapi katakanlah kepada mereka ucapan-ucapan mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka dengan sikap merendah karena kasih sayang dan berdoalah “wahai Tuhanku, kasih sayangilah mereka seperti mereka telah mengasihi sayangiku semasa kecil.[5]
Orang tua yang harus dihormati bukanlah orang tua yang tidak pernah menanamkan pendidikan keagamaan, tidak pernah memberikan contoh tauladan yang baik, tidak pernah menganjurkan anak-anaknya untuk belajar agama dalam kehidupan sehari-hari dan tidak pernah mencerminkan syiar-syiar Islam. Pokoknya dengan kata lain selaku orang tua tidak menanamkan pendidikan keagamaan kepada anak-anaknya yang mengarah untuk mengenal sekaligus berbakti kepada Allah SWT, dan berbakti kepada orang tuanya. Ibarat memelihara binatang, cukup tiap harinya diberi makan dan minum, sandang sudah cukup mewah, sementara rohaninya kosong dari nilai-nilai keagamaan. Kalau memang demikian keadaannya, janganlah mengharapkan si orang tua itu harus dihormati. Bagaimana anak harus berbakti, dia sendiri tidak tahu bagaimana caranya harus berbakti, bagaimana anak mengajarkan shalat, kalau orang tuanya sendiri tidak pernah memberikan contoh mengajarkan shalat kepada anaknya, demikian seterusnya.
Anak adalah titipan Ilahi yang harus dipelihara dan ditunaikan hak-haknya, sebab kelak pada hari perhitungan setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban dari amanah yang dititipkan itu. Jadi selaku orang tua, kalau ia mengharapkan harus ditaati olehnya anaknya, maka terlebih dahulu para orang tua harus menanamkan modal dasar pendidikan hak-hak dari anak-anaknya (dalam hal ini minta dihormati), maka laksanakanlah dahulu kewajiban itu sebagai orang tua.
Ibu adalah orang pertama yang dikejar oleh anak. Perhatian, pengharapan dan kasih sayangnya, Sebab ia merupakan orang pertama yang dikenal oleh anak. Ia menyusukannya dan ia mengganti pakaiannya, artinya ialah yang memenuhi kebutuhannya akan makanan dan kebutuhan untuk menghindari rasa sakit akibat basah. Lambat laun wajah ibu menjadi bergandengan dengan pemenuhan kebutuhan primer penting tersebut, yang harus dipenuhi oleh anak sehingga sesudah itu anak menginginkan supaya ibunya senantiasa ada untuk dirinya.[6]
Ibu sebagai pembimbing dan pengatur rumah tangga, baik buruknya bimbingan itu terhadap anaknya akan berpengaruh terhadap perkembangan watak dan karakter anaknya di kemudian hari.
Cara yang paling baik untuk membina anak supaya dapat berkembang watak dan karakternya adalah dengan memberi teladan kepada mereka. Pengendalian diri juga sangat perlu diajarkan seorang ibu kepada anak di dalam rumah tangga, karena seorang anak yang dapat mengendalikan diri, berarti pintu kebahagiaan akan terbuka baginya.
Itulah sebabnya seorang ibu harus membina anaknya untuk mengendalikan tingkah lakunya melalui bimbingan yang dimulai dari keluarganya. Sebab anak yang tidak dibina pola tingkah lakunya dan tidak mampu mengendalikan diri, maka kelak akan mengalami kesulitan hubungan sosialnya dalam pergaulan di masyarakat.
Bagi setiap ibu, mendidik anak-anaknya itu bukan saja setelah lahir sampai beranjak dewasa, namun harus di mulai sejak dalam kandungan dengan jalan memelihara dirinya dari setiap pengaruh kejiwaan yang negatif, sebab hal itu akan banyak memberi pengaruh pula terhadap faktor si anak yang berada di dalam kandungannya.
Suatu anggapan bahwa pekerjaan ibu di rumah tangga nilainya kecil adalah keliru. Sesungguhnya, tugas mendidik anak bukanlah soal kecil. Biarlah setiap ibu insyaf akan kesucian tanggung jawabnya. Tiada pekerjaan lain yang bisa disamakan dengan pekerjaan pembentukan tabiat.
Setiap banyaknya orang di dunia ini yang tidak menyadari cinta dan pengorbanan ibunya, demikian pula bahwa bukan sedikit kaum ibu yang tidak melakukan kewajiban sebagaimana mestinya terhadap keturunan mereka. Bukan sedikitnya anak-anak muda yang akhirnya menjadi rusak karena tidak merasakan cinta ibu dalam rumah tangganya. Perasaan kurang perhatian dari orang tua menyebabkan anaknya gelisah dan kurang puas.
Di dalam kehidupan sehari-hari, dapat dilihat adanya hubungan yang terus-menerus antara ibu dengan anaknya. Dengan sendirinya hal ini menimbulkan hubungan timbal balik, yang secara berangsur-angsur akan menumbuhkan perasaan kasih sayang antara kedua belah pihak. Sifat hubungan itu dan anak akan berpengaruh terhadap perkembangan jiwa anak di kemudian hari.[7]
Dalam membicarakan tentang pemimpin rumah tangga tentunya tidak terlepas dari masalah perkawinan. Sebab perkawinan merupakan fitrah manusia yang dianungerahi oleh Allah SWT kepada hamba-Nya sebagai amal terjadinya ikatan batin, cinta dan kasih sayang (mawaddah warahmah). Cinta dan kasih sayang telah dipraktekkan oleh Rasulullah SAW. Dalam membina rumah tangganya yang mendapat bimbingan langsung dari Allah SWT sebagai mana dalam firmannya dalam Q.S. Ar-Ruum (30) : 21 yang berbunyi :
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»t?#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurø?r& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygø?s9Î) ?@yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨?uq¨B ºpyJômu?ur 4 ¨bÎ) ?Îû y7Ï9ºs? ;M»t?Uy 5Qöqs)Ïj9 tbrã©3xÿtGt? ÇËÊÈ
Terjemahannya :
Dan diantaranya tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang.[8]
Berdasarkan firman Allah SWT di atas, maka dapat memahami bahwa yang menjadi landasan dasar pembinaan rumah tangga adalah cinta dan kasih sayang yang telah diajarkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya tersebut.
Jikalau seorang ibu sudah mendidik anak-anaknya tentang bagaimana menghormati, menuruti, mengendalikan diri, dan mempunyai tabiat yang jujur, berarti seorang ibu sudah mempersiapkan anak-anaknya yang tangguh dan berkepribadian yang tulus ikhlas, berpendidikan yang luhur dan siap bergaul di dalam masyarakat.
Dalam masyarakat kita, sering ada anggapan bahwa tugas ibu adalah memelihara dan tugas ayah bekerja mencari uang. Seorang ayah tidak pantas membuat atau menyediakan susu botol, menggendong, memandikan dan mengganti pakaian, dengan kata lain terdapat pembagian tugas dan kewajiban yang ketat antara ayah dan ibu. Untuk perkembangan anak atau demi keharmonisan rumah tangga, anggapan bahwa semacam itu sebetulnya merugikan. Seorang ayah sampai batas-batas tertentu harus melibatkan diri dalam kehidupan keluarga sehari-hari. Merawat bayi dan anak bukanlah monopoli kaum ibu. Dengan sekali-kali ikut menyediakan susu bayi, memandikan dan sebagainya. Di samping akan menambah rasa hormat istri pada suami, juga akan terbina ikatan emosional antara ayah dan anak.[9]
Untuk menjalankan kepemimpinan dan pengawasan dalam rumah tangga diperlukan kesabaran, ketabahan, keadilan dan wibawa yang tinggi.
Hasil penelitian yang ada hingga sekarang telah membuktikan bahwa faktor ayah merupakan faktor yang sangat penting dalam pembentukan pribadi anak. Menurut teori psikoanalisis bahwa: “Ayah merupakan tokoh identifikasi (di samping ibu) bagi anak, sementara anak menjadikan pribadi ayah sebagai tolak ukur atau bandingan bagi perilakunya sendiri.”
Selain itu, ayah juga merupakan tokoh pelindung, yang di mata anak merupakan orang yang akan menyelamatkan dirinya, jika sewaktu-waktu ada bahaya mengancam. Jelaslah, bahwa jika ayah melakukan peranannya dengan baik, anak akan tumbuh menjadi orang yang berkepribadian mantap. Sebaliknya jika ayah kurang berperan dalam kehidupan anak, maka si anak akan kehilangan pegangan dan selalu merasa ragu-ragu di samping kurang adanya rasa percaya diri.[10]
Dalam pembinaan anak, diperlukan adanya tanggung jawab orang tua harus ditempuh meliputi :
– Memperlakukan anak-anak secara lembut dan penuh kasih sayang
– Menanamkan rasa cinta kasih
– Menanamkan akidah dan tauhid
– Mendidik akhlak
– Menyuruh berpakaian taqwa
– Mendidik bertetangga dan bermasyarakat
– Mencegah atau melarang pergaulan bebas
– Mengajarkan Al-Qur’an
– Mengajarkan halal dan haram
– Menjauhkan hal-hal yang porno
Sebagai orang tua yang bertanggung jawab atas masa depan dan perkembangan anak-anaknya, sudah sewajarnya mengetahui hal-hal yang dapat dikerjakan oleh anak, agar anak selamat dunia dan akhirat.
Anak memerlukan perhatian yang terus menerus, dan ini hanya dapat diberikan oleh ibu, karena ibulah yang sejak awal kelahiran sang anak, telah mengenal karakteristik psikologi dan kecenderungan anak tersebut.
Seorang ibu yang mengerti dunia anak, tentulah tidak heran bila anaknya selalu melontarkan berbagai macam pertanyaan dan ini adalah merupakan pertanda bahwa anak memiliki rasa ingin tahu yang lebih banyak. Adalah tindakan yang salah bila mencela kebiasaan anak untuk bertanya, sebab tindakan tersebut dapat memadamkan rasa ingin anak sekaligus mematikan kreativitasnya. Justru seorang ibu haruslah bangga dan bersyukur karena mempunyai anak yang memiliki rasa ingin tahu yang besar yang terpupuk sejak kecil, sehingga kelak mereka dapat aktif belajar tanpa diperintah.
Memupuk rasa ingin tahu anak, memang bukan hal yang mudah, sebab dibutuhkan kesabaran yang tinggi. Dalam menjawab pertanyaan anak ibu harus menunjukkan perhatian dan jawaban yang sungguh-sungguh, walaupun jawaban yang diberikan tidak panjang apalagi berbelit-belit dan sulit dimengerti oleh anak, akan tetapi cukup dengan jawaban pendek yang disesuaikan dengan pemahaman anak.
Sekilas anak-anak itu seperti bodoh dan tak tahu apa-apa tentang alam beserta kehidupannya tetapi mereka sebenarnya memiliki daya tangkap dan daya ingat yang jauh lebih hebat dari perkiraan kita. Dari sekian banyak tanya yang mereka ajukan dalam sehari, pasti ada yang masuk dan direkam baik-baik dalam otaknya.
Seorang anak yang memiliki umur di bawah lima tahun (balita) sebenarnya memilki daya tangkap dan daya ingat serta kemampuan menghafal yang hebat. Ini wajar karena otak mereka belum pernah digunakan untuk memikirkan hal-hal yang lain. Olehnya itu pendidikan pada anak sebenarnya bukan hanya dimulai pada umur tujuh tahun ke atas tapi justru ketika anak tersebut masih balita. Sehingga dalam pendidikan Islam, untuk mengembangkan dan membimbing dasar kemampuan anak dibagi dalam 4 periode, yaitu :
- Periode Pertama (sejak lahir-6 tahun). Pada periode ini anak harus dibiasakan pekerjaan yang baik serta harus dijaga dari kebiasaan yang buruk dan dapat merusak akhlaknya.
- Periode Kedua (6-10 tahun). Pada periode ini anak dididik dalam hal kesosialan di mana anak tersebut mulai belajar memahami aspek-aspek penting dari sosialisasi tersebut, seperti :
– Belajar mematuhi aturan-aturan kelompok
– Belajar setia kawan
– Belajar tidak bergantung pada orang lain
– Belajar bekerja sama
– Belajar menerima tanggung jawab
– Belajar bersaing dengan orang lain secara sehat
– Mempelajari olah raga dan permainan kelompok
– Belajar arti keadilan, demokrasi, kejujuran dan keikhlasan
– Mempelajari perilaku yang dapat diterima oleh lingkungannya.
Mengingat pentingnya nilai-nilai yang bakal diterima dari proses ini, maka pengembangan pendidikan secara normal dan kondusif sangatlah diperlukan.
- Periode Ketiga (10-13 tahun). Pada periode ini adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju ke masa remaja di mana anak mulai mandiri dalam berperilaku.
Salah satu arti yang terpenting pada masa ini adalah ukuran dan berat badan si anak makin bertambah dan tersebut mempunyai vitalitas dan gairah yang tinggi pula selain itu, wawasan pengetahuan dan pemahaman anak semakin luas.
Dengan melihat potensi yang amat besar ini maka pendidikan harus diarahkan pada kegiatan-kegiatan praktis dan berkaitan dengan nilai-nilai Islam.
- Periode Keempat (13 tahun ke atas). Pada periode ini anak mulai matang dalam berfikir karena itu ahli psikologi perkembangan menetapkan bahwa ciri terpenting pada masa ini adalah terjadinya perkembangan fisik yang cukup pesat dan muncul kelenjar-kelenjar baru yang menghasilkan hormon pertumbuhan pada diri anak yang sedang menginjak remaja.
[1]Dr. Moh. Sohib Pola Asuh Orang Tua Dalam Membantu Anak Mengembangkan disiplin Diri (Cet I; PT Rineka Cipta; Jakarta: 1998), h.1-6
[2]Ali Ismail, Panduan Praktis Bagi Orang Tua Mendampingi Remaja Meraih Sukses (Cet. I ; Jakarta: Pustaka Populer Obor; 2000). h. 35
[3]Ibid. h. 36
[4]Dr. Moh. Sohib , Op.Cit., h. 21-27
[5]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya ( Semarang: Toha Putra, 1989).h. 642
[6]Alex Sobur, Anak Masa Depan, (Bandung : Angkasa; 1991), h. 34
[7]Ibid. h. 36
[8]Departemen Agama RI. op, cit, h. 644
[9]Alex Sobur, Op. Cit, h. 38
[10]Ibid., h. 40