Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (Nurudin, 2001) moral berarti ajaran baik-buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak, budi pekerti, susila. Sedangkan bermoral adalah mempunyai pertimbangan baik buruk, berakhlak baik. Menurut Immanuel Kant (Magnis Suseno, 1992), moralitas adalah hal kenyakinan dan sikap batin dan bukan hal sekedar penyesuaian dengan aturan dari luar, entah itu aturan hukum negara, agama atau adat-istiadat. Selanjutnya dikatakan bahwa, kriteria mutu moral seseorang adalah hal kesetiaanya pada hatinya sendiri. Moralitas adalah pelaksanaan kewajiban karena hormat terhadap hukum, sedangkan hukum itu sendiri tertulis dalam hati manusia. Dengan kata lain, moralitas adalah tekad untuk mengikuti apa yang dalam hati disadari sebagai kewajiban mutlak.
Pengertian Kelembagaan
Kelembagaan adalah institusi atau pranata dan organisasi yang dapat dikenali melalui unsur-unsurnya, seperti aturan main, hak dan kewajiban, batas yurisdiksi atau ikatan dan sangsi.
Kelembagaan juga diartikan sebagai bentuk organisasi yang memiliki peran dan fungsi tertentu dan berada dalam suatu struktur organisasi yang lebih luas. Sedangkan menurut Azis Khan, Kelembagaan adalah sekumpulan aturan main, prosedur norma dan etika berprilaku yang dirancang untuk membatasi tingkah laku individu.
Moralitas dalam Kelembagaan
Birokrasi merupakan mesi” negara untuk melaksanakan semua kebijakan dan keputusan politik. Karenanya dituntut adanya manfaat bagi masyarakat. Tetapi ketika membaca pemberitaan mediamassa, maraknya korupsi dilakukan birokrat mulai dari menteri, gubernur, bupati, walikota, sekretaris kabupaten/kota serta tidak ketinggalan kepala biro/dinas indikasi rusaknya birokrasi. Faktor yang memengaruhi antara lain masalah kelembagaan, kepegawaian, proses rekrutmen, pengawasan, serta yang akhir-akhir ini sungguh terasa adalah pengaruh partai politik.
Kelembagaan yang gemuk berakibat rendahnya pelayanan publik. Ambil contoh dengan 36 kementerian, dirjen, eselon I dan II, ditambah kelembagaan (biro-dinas) di tingkat provinsi dan kabupaten/kota menunjukkan betapa rumitnya birokrasi yang berakibat prosedur pelayanan publik dan penyelenggaraan pemerintahan berbelit-belit, harga pelayanan public menjadi mahal, serta tidak transparan. Masyarakat yang menjadi korban dengan membayar mahal pelayanan secara ilegal berupa pungutan liar, sogokan ketika harus berhadapan dengan birokrasi dengan prinsip biar mahal asalkan cepat pengurusannya. Dalam kaitan dengan persoalan kepegawaian, karena begitu banyak jumlah pegawai akhirnya pegawai negeri sipil (PNS) tidak mengetahui akan tugas serta jabatannya. Akibatnya pada jam-jam tertentu PNS main kartu, catur, dan menghabiskan waktu untuk hal-hal di luar tugas kepegawaian. Persoalan lain yang memengaruhi kinerja PNS adalah sistem penggajian yang tidak seimbang antara gaji dengan kebutuhan yang dikeluarkan seorang PNS untuk dirinya dan keluarga. Faktanya, tunjangan dan pendapatan melebihi gaji sehingga terjadi gap pendapatan (take home pay) antara PNS yang menjabat dengan yang tidak menjabat. Hal ini sangat tampak ketika reshuffle atau lebih dikenal dengan sebutan mutasi. Berbagai upaya dilakukan seorang PNS untuk mendapat jabatan walaupun dengan cara yang tidak halal.
Tugas sebagai pelayan masyarakat tidak tertanam dalam nurani PNS melainkan bagaimana cara meraih jabatan agar terbuka peluang dan kewenangan yang ada untuk memperkaya diri/kelompoknya. Diperparah dengan persoalan tidak transparannya sistem penilaian kinerja PNS, sangat sulit mencari ukuran agar mendapatkan PNS yang profesional. Bisa jadi ukuran profesionalisme kinerja ditentukan oleh pejabat di instansi yang bersangkutan. Dampaknya, bawahan melihat atasannya seakan manusia setengah dewa yang disembah, disanjung-sanjung agar ikut mendapat jabatan yang basah atau tetap aman dengan jabatan yang sedang disandangnya. Lebih celaka lagi, apa saja yang diomongkan atasannya lebih dipercaya dan dipatuhi daripada keluhan dari masyarakat atas pelayanan publik yang amburadul.
Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan yang dipakai indikator penilaian kinerja tidak dilakukan secara transparan berakibat pada kekaburan promosi jabatan. Penempatan orang pada jabatan bukan ditentukan atas kualitas kinerja tetapi lebih pada suka atau tidak suka. Promosi jabatan tidak lagi berdasarkan kinerja melainkan lebih karena kesetiaan dan kedekatan dengan atasannya. Padahal seyogianya dengan mutasi agar PNS lebih profesional dan bertanggung jawab di dalam melakukan pelayanan publik dan penyelenggaraan pemerintahan malah menjadi kesempatan mengisi pundi-pundi. Hal lain yang cukup andil memperparah pelayanan publik terkait dengan persoalan rekrutmen yang belum terlaksana dengan profesional dan masih sering diwarnai KKN. Dengan situasi yang demikian, sudah pasti tidak melahirkan PNS yang terbaik dari aspek moralitas maupun kompetensinya. Rekrutmen tidak didasarkan kebutuhan riil di lapangan yang penting harus ada sehingga rekrutmen dijadikan proyek tahunan yang sarat KKN. berdampak pada job requirement yang asal jadi. Itu sebabnya di banyak instansi ditemukan PNS yang tidak tahu apa yang harus dikerjakannya. Reformasi birokrasi ke depan, tes calon PNS hanyalah prasyarat untuk mengikuti pendidikan lanjutan berupa pembinaan profesionalisme, moralitas, kepribadian, kepemimpinan, serta masalah hukum baru setelah itu yang bersangkutan ditetapkan sebagai PNS. Bukan seperti sekarang, setelah tamat SLTA atau perguruan tinggi, lulus tes langsung bekerja akan mudah terimbas lingkungan kerja negatif ketika dia masuk sarang korupsi dan praktik kotor. Persoalan internal lain yang cukup berpengaruh terhadap pelayanan publik dan penyelenggaraan pemerintahan adalah lemahnya pengawasan terhadap perilaku dan disiplin pegawai. Lemahnya pengawasan sangat terkait dengan ketidakjelasan sistem penggajian, rekrutmen, pengukuran kinerja, serta promosi PNS. Ketika PNS dituntut bekerja jujur serta transparan tetapi di sisi lain sistem penggajian yang memprihatinkan, berdampak seorang PNS akan bekerja jika ada imbalan dari rakyat secara tunai. Timbul apa yang disebut dengan tindakan sewenang-wenang dan penyalagunaan wewenang. Dalam praktik membengkaknya kekayaan (harta), uang pelicin, suap, penerimaan hadiah, serta gratifikasi menjadi sesuatu yang ‘halal’. Carut-marutnya pelayanan publik dan penyelenggaraan pemerintahan juga karena pengaruh partai politik. Banyaknya kasus korupsi yang merusak pelayanan publik serta penyelenggaraan pemerintahan karena pejabatnya berasal dari kader partai politik misalnya menteri, gubernur, bupati, walikota.
Ketidaknetralan pejabat penyelenggaraan pemerintahan karena di satu sisi memikirkan pelayanan publik tetapi juga dikooptasi untuk menghidupi partainya. APBN dan APBD tidak semestinya digunakan demi kesejahteraan rakyat, melainkan atas kepentingan partai-partai tertentu. Tidak mengherankan ditemukan banyak kasus korupsi karena pejabat melakukan penyalahgunaan wewenang.
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa kinerja dalam berlembaga sangat terkait pada moralitas yang dimiliki oleh orang yang ada dalam sebuah naungan kelembagaan.