Kajian Filsafat Bahasa pada Zaman Abad Modern. Setelah sebelumnya melihat secara jelas tentang kajian filsafat pada zamanYunani & Romawi, dan pada Zaman Pertengahan maka kali ini kita akan membahas tentang kajian filsafat tentang bahasa pada zaman abad modern.
Masa abad modern diawali dengan munculnya ‘Renaissance’. Secara harfiah kata ‘Renaissance’ berarti ‘kelahiran kembali’. Secara historis renaissance adalah suatu gerakan yang meliputi suatu zaman di mana orang merasa dirinya sebagai telah dilahirkan kembali dalam suatu keadaban. Kaum humanis zaman Renaissance bermaksud untuk meningkatkan perkembangan yang harmonis dari sifat-sifat dan kecakapan-kecakapan alamiah manusia dengan mengusahakan akepustakaan yang lebih baik dengan mangikuti jejak kebudayaan klasik.
Suatu perkembangan yang maha penting dalam zaman itu mulai timbulnya ilmu pengetahuan alam modern berdasarkan metode eksperimental dan matematis. Pada abad moder ini ditandai dengan masa Aufklarung. Nama ini diberikan pada masa ini karena manusia mencari suatu cahaya baru dalam rasionya. Immanuel Kant telah memberikan semacam defenisi, bahwa aufklarung dimaksudkan agar manusia keluar dari keadaan tidak akil baliq yang disebabkan kesalahan manusia sendiri.
Dalam kaitan dengan perkembangan filsafat bahasa pada abad ini muncullah para pemikir yang menrupakan akar filsafat bahasa terutama filsafat anallitika bahasa. Rasionalisme Rene Descartes “bapak filsafat modern”, Empirisme antara lain tokohnya adalah Thomas Hobes, john Locke dan david Hume. Tokoh Kritisisme Immanuel Kant serta August Comte sebagai pencetus paham Positivisme.
Kajian Filsafat tentang Bahasa Pada Zaman Modern
1. Rene Descartes
Filsuf yang membuka cakrawala abad modern adalah Rene Descartes sehingga ia layak mendapat gelar ‘bapak filsafat modern’. Descartes menyatakan bahwa dalam bidang ilmiah tidak ada sesuatupun yang dianggap pasti, semuanya dapat dipersoalkan tidak terkecuali filsafat dan ilmu pengetahuan yang ada pada saat itu berkembang, terkecuali ilmu pasti yang merupakan hasil dari rasio.
Descartes berpangkal dari keragu-raguan untuk mencapai kebenaran pengetahuan. Namun karagu-raguan disini bersifat metodis dan bukannya skiptisme mutlak, yaitu keragu-raguan sebagai suatu pandangan. Menurut Descartes yang dipandang sebagai pengetahuan yang benar-benar adalah apa yang jelas dan terpilah-pilah, artinya bahwa gagasan-gagasan atau ide-ide itu seharusnya dapat dibedakan dengan gagasan-gagasan atau ide-ide yang lain.untuk mencapai kebenaran pengetahuan yang kedap dengan keragu-raguan tahapan metodenya sebagai berikut:
- Bertolak dari keragu-raguan metodis bahwa tidak ada yang diterima sebagai sesuatu yang benar. Konsekuensinya kita harus menghindarkan diri dari sikap tergesa-gesa dan prasangka. Adapun dalam keputusan-keputusan hanya menerima sesuatu yang dihadirkan pada akal dengan sedemikian jelas dan tegas sehingga mustahil untuk disanksikan.
- Semua bahan dan persoalan yang diteliti, dibagikan dalam sebanyak mungkin bagian, manakala kiranya perlu untuk pemecahan yang memadai.
- Sistematik pikiran dilakukan dengan bertitik tolak dari pemahaman objek dari yang paling sederhana dan mudah, berangsur-angsur sampai pada pengertian yang lebih kompleks .
- Akhirnya sampailah pada tinjauan permasalahan yang bersifat universal , sehingga ditemukan suatu kepastian. Maka dengan demikian tiada lagi keraguan.
Hanya ada satu hal yang tidak dapat diragukan manurut Descartes yaitu bahwa ‘cogito ergo sum’ ‘aku berpikir oleh karena itu aku ada’.
2. Thomas Hobbes
Thomas Hobbes adalah filsuf pertama Inggris yang mengembangkan aliran empirisme. Thomas Hobbes termasuk filsuf yang unik dan kreatif yaitu menyatukan pandangan empirisme dengan rasionalisme dalam suatu system filsafat materialis.
Walaupun tidak secara langsung pengaruh Hobbes terhadap berkembangnya filsafat bahasa, namun demikian sebenarnya berdasarkan ajaran-ajaran yang dikembangkannya terdapat tiga hal yang mempengaruhi berkembangya filsafat bahasa terutama filsafat analitika bahasa. Pertama, ajaran emperisme Hobbes memberikan warna bagi berkembangnya paham-paham filsafat analitika bahasa. Kedua, menurut Hobbes fakata-fakta itu diungkapkan dengan menggunakan bahasa sebagai instrumennya. Ketiga, empirisme Hobbes membrikan warna bagi pennetuan system logika bahasa filsafat analitik.
- 3. John Locke
Pemikiran empirisme John Locke merupakan sintesis rasionalisme Rene Descartes dengan empirisme Thomas Hobbes. Walaupun Locke menggabungkan beberapa pemikiran Descartes, namun ia menentang pokok-pokok ajaran pokok Descartes.. menurut Locke segala npengetahuan dating dari pengalaman dan tidak lebih dari itu.
Locke tidak membedakan antara pengethuan inderawi dan pengetahuan akal. Satu-satunya sasaran atau objek pengetahuan adalah gagasan-gagasan atau ide-ide, yang timbulnya karena pengalaman-pengalaman lahiriah (sensation) dan pengalaman batiniah (reflection).
4. George Berkeley
Berkeley dalam konsep-konsep pemikiran filosofisnya sebenranya meneruskan tradisi locke namun dalam kesimpulan serta dasar-dasar metefisikanya berbeda. Berdasarkan cirri rmetafisikanya pemikiran Berkerley ini bermuara pada aliran idealism, karena ia menyangkal adanya suatu dunia yang ada di luar kita.
Titik tolak pemikiran Berkely terdapat pada pandangannya di bidang teori pengenalan. Menurutnya segala pengetahuan kita bersandar pada pengamatan. Pengamatan adalah identik dengan gagasan yang diamati. Pengamatan bukan terjadi karena hubungan antara subjek yang diamati degan objek yang diamati, melainkan hubungan antara pengamatan indera yang satu dengan pengamatan indera yang lain.
Kajian Filsafat tentang Bahasa Pada Zaman Modern
5. David Hume
Dalam sejarah filsafat Inggris, tradisi pemikiran empirisme yang paling konsekuen dan radikal adalah pemikiran David Hume. Menurut Hume bahwa manusia tidak membawa pengetahuan bawaan dalam hidupnya dan sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal, yaitu kesan-kesaan atau ‘impression’ dan pengertian-pengertian atau ide-ide yang disebut ‘ideas’. Yang dimaksud dengan kesan-kesan adalah pengamatan langsung ynag diterima dari pengalaman, baik pengalaman lahiriah amaupun batiniah, yang menampakkan diri dengan jelas hidup dan kuat. Menurut Hume yang dimaksud dengan pengertian atau ide adalah gambaran tentang pengalaman yang redup samar-samar, yang dihasilkan dengan merenungkan kembali atau merefleksikan dalam kesadaran kesan-kesan yang telah diterima dari pengalaman manusia.
6. Immanuel Kant
Pemikiran Kant dikenal dengan paham ‘kritisisme’. Menurutnya kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalanannya dengan terlebih dahulu menyelidiki kemamapuan dan batas-batas rasio. Kant adalah filsuf pertama yang mengembangkan penyelidikan ini, karena menurut pendapatnya filsuf-filsuf sebelumnya adalah bersifat dogmatisme, karena mereka hanya percaya secara mentah-mentah pada kemempuan rasio tanpa menyelidiki terlebih dahulu.
Kritis atas Rasio Murni
Kritisme Kant sebagai suatu usaha raksasa untuk menjembatangi rasionalisme dengan empirisme. Rasionalisme mementingkan unsur apriori dalam pengenalan, yang berarti unsur-unsur yang terlepas dari segala pengalaman misalnya ‘ide-ide bawaan’. Sedangakn empirisme menekankan unsur-unsur aposteriorinya, berarti hanya unsur-unsur yang bearasal dari pengalaman sebagaimana dikemukakan Locke dan Hume.
a. Pada taraf indra
Pengenalan merupakan sintesis antar unsur apriori dengan unsur aposteriori. Unsur apriori memainkan peranan bentuk dan unsur aposteriori memainkan peranan materi. Menurut kant, unsur apriori sudah terdapat pada taraf indera. Ia berpendapat bahwa dalam pengenalan inderawi selalu ada dua bentuk apriori, yaitu ruang dan waktu.
b. Pada taraf akal budi
Kant membedakan akal budi (verstand) dengan rasio (vernunft). Tugas akal budi adalah menciptakan orde antara data-data inderawi dengan lain akal budi menentukan putusan. Pengenlan budi merrupakan sintesis antara bentuk dan materi. Menurut Kant terdapat empat kategori sebagai berikut:
- Kategori Kuantitas, terdiri atas: singular (satuan) partikuler (sebagian), dan universal (umum)
- Kategori kualitas, terdiri atas: realitas (kenyataan), negasi (peengingkaran), limitasi (batas-batas).
- Kategori relasi, terdiri atas: categories (tidak bersyaarat), hypothetis (sebab dan akibat), disjunctif ( saling meniadakan).
- Kategori modalitas, terdiri atas: mungkin/tidak, ada/tiada, kepeluan/kebutuhan.
c. Pada taraf rasio
Tugas rasio adalah menarik kesimpulan dari putusan0putusan. Dengan lain perkataan, rasio memgadakan argumentasi-argumentasi, seperti halnya akal budi menggabungkan data-data inderawi dengan mengadakan putusan-putusan. Kant memperlihatkan bahwa rasio membentuk argumentasi-argumentasi itu dengan dipimpin oleh tiga ide yaitu jiwa, dunia, dan Allah.
Kritik atas rasio Praktis
Rasio dapat menjalankan ilmu pengetahuan, sehingga rasio disebut ‘rasio teoritis’ atau menurut istilah Kant disebut ‘rasio murni’. Tetapi disamping itu terdapat juga ‘rasio praktis’, yaitu rasio yang mengatakan apa yang harus kita lakukan, atau dengan kata lain perkataan rasio yang memberikan perintah kepada kehendak kita. Kant memperlihatkan bahwa rasio praktis memberikan perintah yang mutlak ( imperatif kategoris).
7. Positivisme Agugust Comte
Pada abad ke-19 timbullah aliran filsafat yanag menandai semakin berkembangnya ilmu pengetahuan modern. Aliran itu terkenal dengan nama ‘positivisme’, yang secara etimologis berasal dari kata ‘positif’ yang secara harfiah berarti yang diketahui, yang faktual empiris bahkan dapat juga berarti teruji atau teramati. Menurut aliran positivisme bahwa pengetahuan berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual atau posititif.
Ajaran Comte yang paling terkenal adalah tiga tahap perkembangan pemikiran manusia, baik manusia perorangan maupun umat manusia sebagai keseluruhan. Bagi Comte perkembangan menurut tiga tahap atau tiga zaman tersebut merupakan suatu hukum yang tetap. Ketiga zaman tersebut meliputi:
1. Zaman teologis
Pada zaman teologis percaya bahwa di balik gejala-gejala alam terdapat adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Zaman teologis sendiri dibagi atas tiga periode yaitu: taraf yang paling primitif (animisme), manusia percaya kepada dewa-dewa (politeisme), dan monoteisme
2. Zaman metafisis
Dalam zaman ini kuasa-kuasa adikodrati diganti dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang abstrak , seperti misalnya ‘kodrat’ dan ‘penyebab’ . konsep-konsep metafisika seperti substansi , aksidensia, dan lain sebagainya menjadi penting pada zaman ini.
3. Zaman positif
Pada zaman ini sudah tidak lagi penyebab- penyebab yang tewrdapat di belakang fakta-fakta. Manusia membatasi diri pada fakta-fakta yang disajikan kepadanya. Pemikiran positivisme ini memberikan dasar pijak bagi paham filsafat analitik terutama kelompok Wina atau Kring Wina yang menamakan dirinya paham positivisme logis. Seluruh pandangan positivisme diangkat oleh positivisme logis, hanya perbedaannya positivisme logis menekankan pada analisis konsep filosofis melalui bahasa serta posivisme logis lebih menekankan pada prinsip perivikasi. Baca juga artikel saya tentang Pentingnya Landasan Filsafat bagi Ilmu Pendidikan.