Tujuan Utama Penetapan Hukum dalam Islam

Pengertian Maqasid al-Syariah. Kata maqasid merupakan bentuk jamak dari maqsud yang  berasal dari fiil qasadun yang berarti tujuan atau maksud. Menurut bahasa kata syari’ah berarti jalan menuju sumber air atau tempat yang dilalui air sungai.

Menurut definisi yang diberikan oleh para ahli, syari’at adalah segala kitab Allah yang berhubungan dengan tindak tanduk manusia di luar yang mengenai akhlak yang diatur sendiri. Dengan demikian, syari’at itu adalah nama bagi hukum-hukum yang bersifat ‘amaliyah.

Maqasid syari’ berarti tujuan Allah swt  dan rasulNya dalam merumuskan hukum Islam. Tujuan itu dapat ditelusuri dalam ayat  al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw sebagai alasan logis bagi rumusan hukum yang berorientasi pada kemaslahatan umat manusia.

Ulama Usul Fiqh mendefinisikan maqasid al-syariah dengan makna dan tujuan yang dikehendaki syarak dalam mensyariatkan suatu hukum bagi kemaslahatan umat manusia. Maqasid al-Syariah dikalangan ulama Usul Fiqh disebut juga dengan asrar al-syariah, yaitu rahasia-rahasia yang terdapat di balik hukum yang ditetapkan oleh syari’, berupa kemaslahatan bagi manusia, baik di dunia maupun di akhirat.

Tujuan Utama Penetapan Hukum dalam Islam

Dalam menurunkan hukumnya, syari menghendaki agar umat Islam mematuhi aturannya secara menyeluruh. Tetapi hal itu tidak mungkin kecuali jika tuntutan Tuhan itu disesuaikan dengan kemampuan manusia. Sebagaimana diungkapkan oleh al-Syatibi di dalam kitab al-Muwafaqat.

Disebutkan di atas bahwa telah ditetapkan di dalam ushul fiqh bahwa syarat-syarat hukum takif itu dapat dibebankan kepada mukallaf apabila manusia itu sanggup menunaikannya, maka setiap taklif yang diuar batas kemampuan manusia maka secara syari’i taklif itu tidak sah.

Hal ini relevan dengan firman Allah Q.S. Al Baqarah:

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.

Sementara syarat-syarat hukum taklif itu dapat dibebankan kepada mukallaf sebagai berikut:

  1. Hukum taklif  baru dapat dipikulkan kepada orang mukallaf apabila yang bersangkutan dapat memahami dalil-dalil taklif, serta berkemampuan memahami nash-nash (teks-teks) undang-undang yang dibebankan oleh al-Qur’an dan al-Sunnah dengan langsung atau tidak langsung. Sebab orang yang tidak mampu memahami dalil taklif  dia tidak akan dapat melakukan apa-apa yang dibebankan kepadanya, dan tujuannya tidak  akan mengarah kepada yang dia maksudkan. Sedangkan kemampuan memahami dalil itu hanya dapat nyata dengan akal, dan dengan adanya nash-nash yang dibebankan kepada orang-orang yang punya akal itu dapat diterima pemahamannya oleh akal mereka. Karena akal itu adalah alat memahami dan menjangkau. Dengan akal tertujulah keinginan untuk  mengikuti. Maka barang siapa telah sampai kepada keadaan dewasa tanpa tampak padanya sifat-sifat yang merusak kekuatan akalnya, berarti telah sempurna padanya kemampuan untuk  diberi beban. Atas dasar ini orang gila dan anak-anak tidak bisa diberi beban, karena tidak adanya akal yang merupakan alat memahami yang dibebankan. Juga orang yang lupa, tidur dan mabuk tidak bisa diberi beban. Karena mereka itu ketika dalam keadaan lupa, tidur dan mabuk tidak ada kemampuan memahami. Karena itu Rasul saw bersabda: Artinya: “Diangkatlah pena itu (tidak digunakan  untuk  mencatat amal perbuatan manusia) dari tiga hal: dari orang yang tidur sampai dia bangun, dari anak-anak sampai dia dewasa, dan dari orang gila sampai dia berakal”.
  2. Hukum taklif  baru dapat  dipikulkan kepada orang  mukallaf apabila orang yang bersangkutan termasuk kategori orang yang ahli dalam menunaikan sesuatu yang dibebankan kepadanya. Ahli menurut bahasa sama dengan ash-sholaakhiyaah yaitu kelayakan. Sedangkan ahli menurut ulama ushul fiqhi  dapat dibagi kepada dua bagian yaitu; 1) ahli wajib yaitu kelayakan seseorang untuk  mendapatkan hak dan kewajiban. Dasar keahlian ini adalah kekhususan yang diciptakan Allah saw kepada manusia dan menjadi kekhususannya dari makhluk lain. Kekhususan ini oleh ahli fiqh disebut dengan al-zimmah,  yaitu sifat naluri manusia, dengannya manusia mendapatkan hak dan kewajiban, 2) ahli melaksanakan adalah kelayakan seorang mukallaf agar  perbuatan dan perbuatannya dapat dianggap dan dipandang menurut syara’.

Telah disebutkan di atas, bahwa syarat-syarat agar hukum taklif dapat diperlakukan kepada mukallaf adalah adanya kemampuan mukallaf untuk  melaksanakan hukum taklif  tersebut. Kemudian menurut syatibi apabila dalam teks syari’ ada redaksi yang mengisyaratkan perbuatan di luar kemampuan manusia, maka harus dilihat pada konteks, unsur-unsur lain atau redaksi sebelumnya. Misalnya, firman Allah “dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan muslim”. Ayat ini  bukan berarti larangan untuk  mati karena mencegah kematian adalah di laur batas kemampuan manusia. Maksud larangan ini adalah larangan untuk  memisahkan antara keislaman dengan kehidupan di dunia ini karena datangnya kematian tidak  akan dapat mengetahui seorangpun.

Begitu juga dengan sabda Nabi “Janganlah kamu marah” tidak berarti melarang marah, karena marah adalah tabiat manusia yang tidak mungkin dapat dihindari. Akan tetapi maksudnya adalah agar sedapt mungkin menahan diri ketika marah atau menghindari hal-hal yang mengakibatkan marah.

Jadi tuntutan yang berlebihan hanya akan membuat semua usaha untuk  menegakkan dan menerapkan hukum menjadi sia-sia. Katakanlah jika seandainya hukum melarang manusia untuk  tidak makan dan minum, lalu bagaimana mungkin mereka diminta untuk  mematuhi hukum? Karena itu, hukum tidak boleh memberikan efek yang negatif pada sifat apapun yang melekat pada diri manusia sejak lahir.

Baca juga Kedudukan dan Fungsi Hadits.