Klasifikasi Peran Gender

Klasifikasi Peran Gender. Klasifikasi peran gender adalah mengevaluasi anak lelaki dan perempuan dari segi kumpulan bakat personalitas. Di masa lalu anak lelaki yang baik adalah anak yang independen, agresif, dan kuat. Anak perempuan yang baik adalah anak yang penurut, pengasuh, dan tidak tertarik dengan kekuasaan. Tapi, pada saat yang sama, secara keseluruhan, karakteristik maskulin dianggap baik dan bagus oleh masyarakat, sedangkan karakteristik feminin dianggap sesuatu yang tidak diharapkan.

Klasifikasi Peran Gender

Pada 1970-an, saat makin banyak pria dan wanita yang secara terbuka mengekspresikan ketidakpuasan kepada ekspektasi gender yang kaku ini, muncul pandangan altematif tentang maskulinitas dan feminitas. Pandangan ini tidak lagi membatasi maskulinitas sebagal kompetensi pria dan feminitas sebagai kompetensi perempuan. Pandangan ini mengusulkan bahwa individu dapat mempunyai sifat “maskulin” dan “feminin”. Pemikiran ini menimbulkan perkembangan konsep androgini, yakni kehadiran karakteristik maskulin dan feminin yang diinginkan dalam diri satu orang (Bem, 1977; Spence & Helmreich, 1978). Anak lelaki androgini mungkin tegas (“maskulin”) dan bersifat mengasuh (“feminin”). Anak perempuan androgini mungkin kuat (“maskulin”) dan sensitif terhadap perasaan orang lain (“feminin”).

Androgini dan Pendidikan. Dapatkah dan haruskah androgini diajarkan kepacia murid? Pada umumnya, adalah lebih mudah untuk mengajarkan adrogini pada anak perempuan ketimbang anak lelaki, dan lebih mudah diajarkan sebelum SMP. Misalnya, dalam satu studi sebuah kurikulum gender diberikan selama setahun di taman kanak-kanak, grade 5, dan grade 9 (Guttentag Bray, 1976), Kurikulum ini memberikan buku, materi diskusi, dan latihan kelas dengan kecenderungan androginis. Program ini paling sukses di grade 5, dan paling tidak sukses di grade sembilan. Di grade 9 (setara SMP), muridnya, terutama lelaki, menunjukkan efek bumerang—mereka justru makin mengikuti peran gender tradisional setelah menerima pelajaran androgini.

Meskipun temuannya beragam, pendukung program androgini percaya bahwa pandangan tentang gender tradisional akan membahayakan semua murid dan menghalangi anak perempuan untuk mendapatkan kesempatan yang setara. Para penentangnya mengatakan bahwa program pendidikan androgini terlalu banyak bermuatan nilai dan mengabaikan diversitas peran gender dalam masyarakat. Klasifikasi Peran Gender

Transendensl Peran Gender. Beberapa kritik terhadap androgini mengatakan bahwa semuanya sudah cukup dan tidak perlu lagi banyak debat soal gender. Mereka percaya bahwa androgini bukan obat manjur seperti yang dikira (P ludi, 1998). Alternatifnya adalah transendensi peran gender, yakni pandangan bahwa kompetensi orang seharusnya dikonseptualisasikan dalam term orang sebagai pribadi manusia (person), bukan dalam term maskulinitas, feminitas, atau androgini (Pleck, 1983). Artinya, kita harus memandang diri kita sendiri dan murid kita sebagai manusia, bukan sebagai feminin, maskulin, atau androgini. Orang tua harus mengasuh anak mereka agar menjadi individu yang kompeten, bukan individu yang maskulin, feminin, atau androginis. Mereka percaya bahwa klasifikasi peran gender akan menimbulkan stereotip.

Gender dalam Konteks

Sebelumnya telah kami katakan bahwa konsep klasifikasi peran gender melibatkan kategorisasi orang berdasarkan bakat personalitasnya. Akan tetapi, dari diskusi kita tentang kepribadian di Bab 4, “Variasi Individual”, kita ingat bahwa adalah lebih bermanfaat untuk memandang personalitas atau kepribadian ini alam term interaksi orang-situasi ketimbang dalam term bakat personalitas saja.

Membantu Perilaku dan Emosi. Untuk mengetahui arti penting gender dalam konteks, mari kita bahas soal membantu perilaku dan emosi. Stereotip menyatakan bahwa wanita lebih baik ketimbang pria dalam soal membantu. Tetapi, ini tergantung pada situasi. Wanita lebih mungkin meluangkan waktunya untuk membantu anak yang mengalami gangguan personal dan lebih mungkin memberikan pengasuhan ketimbang pria. Akan tetapi, dalam situasi di mana pria merasa mampu atau merasa ada bahaya, pria lebih mungkin untuk menguIurkan bantu (Eagly & Crowley, 1986). Misalnya, pria lebih sering membantu pengendara ya g bannya kempes ketimbang wanita. Wanita itu emosional, lelaki tidak. Ini adalah pandangan stereotip tentang emosi.

Akan tetapi, seperti perilaku membantu, perbedaan emosional dalam diri pria dan wanita tergantung pada emosi tertentu dan konteks di mana emosi itu muncul (Shields, 1991). Pria lebih mungkin menunjukkan kemarahan kepada orang asing, terutama pria yang belum dikenal, bila mereka merasa ditantang. Pria juga lebih sering mewujudkan kemarahannya dalam bentuk tindakan agresif. Perbedaan emosional antara pria dan wanita sering muncul dalam konteks peran sosial dan hubungan sosial. Misalnya, wanita lebih mungkin mendiskusikan emosi dalam term hubungan. Wanita juga lebih mungkin mengekspresikan rasa takut dan seciih.

Kultur. Arti penting dari konteks gender tampak jelas ketika mengkaji perilaku yang dirumuskan secara kultural untuk wanita dan pria dalam negara yang berbeda di seluruh dunia (Best, 2001). Di AS kini ada lebih banyak penerimaan terhadap androgini dan kesamaan dalam perilaku pria dan wanita, tetapi di banyak negara lain peran gender masih khas. Misalnya, di Timur Tengah pembagian kerja antara pria dan wanita sangat dramatis. Misalnya, di Irak, pria disosialisasikan dan disekolahkan untuk bekerja di ruang publik; wanita disosialisasikan untuk tetap di dunia rumah tangga dan mengasuh anak. Agama Islam yang mendominasi Irak mengajarkan bahwa tugas lelaki adalah memberi nafkah kepada keluarga sedangkan wanita adalah menjaga rumah dan keluarga. Setiap penyimpangan dari tradisi perilaku maskulin dan feminin ini akan dikecam. Demikian pula di Cina, walaupun wanita telah ada yang masuk ke ruang publik, akan tetapi pria masih lebih mendominasi. Perilaku androginis dan kesetaraan gender adalah sesuatu yang belum diharapkan oleh lelaki di Cina.

Baca juga Makalah Gender dan Persamaan dan Perbedaan Gender