Menghilangkan Bias Gender. Seberapakah gender’kah interaksi sosial antara guru dan murid? Apa yang dapat dilakukan guru untuk mengurangi atau mengeliminasi bias gender di kelasnya?
Interaksi Guru-Murid. Adakah bukti hahwa kelas mengandung bias gender atas anak lelaki? Berikut ini beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan (DeZolt & Hull, 2001):
Kepatuhan, ketaatan mengikuti aturan, berpenampilan rapi dan tertib sangat dihargai dan didukung dalam banyak kelas. Ini adalah perilaku yang biasanya diasosiasikan dengan anak wanita ketimbang anak lelaki.
Menghilangkan Bias Gender
- Mayoritas guru adalah wanita, terutama di sekolah dasar. Ini mungkin lebih menyulitkan anak lelaki ketimbang anak perempuan untuk mengidentifikasi dengan guru mereka dan meniru perilaku guru.
- Anak lelaki lebih mungkin dipandang punya masalah dalam belajar ketimbang anak wanita.
- Anak lelaki lebih mungkin dikritik ketimbang anak wanita.
- Personil sekolah cenderung mengabaikan bahwa banyak anak lelaki punya masalah akademik, terutama dalam seni bahasa.
- Personil sekolah cenderung menstereotipkan perilaku anak lelaki sebagai problematic
Pelecehan Seksual.
Pelecehan seksual terjadi di banyak sekolah (Bracey, 1997; Fitzgerald, Collinsworth, & Harned, 2001). Dalam sebuah studi terhadap murid grade 8 sampai 11 yang dilakukan oleh American Association of University Women (1993), 83 persen dari anak perempuan dan 60 persen anak lelaki mengatakan bahwa mereka pernah dilecehkan secara seksual. Gadis-gadis melaporkan bahwa mereka lebih banyak dilecehkan ketimbang anak lelaki. Enam belas persen murid mengatakan bahwa mereka pernah dilecehkan secara seksual oleh guru. Contoh pelecehan seksual oleh murid dan guru dalam studi ini antara lain:
- komentar seksual, lelucon, isyarat, dan tatapan seksual.
- pesan seksual tentang murid di kamar mandi dan tempat lain, atau rumor seksual yang menyangkut seorang murid.
- mengintip murid yang ganti palcaian atau mandi di sekolah.
- mencolek atau memegang pantat.
- menuduh seorang murid sebagai gay atau lesbian.
- menyentuh, meraba, atau meremas secara seksual.
- sengaja mengelus murid lain secara seksual.
- mengangkat rok atau baju murid sampai terlepas.
- menghalangi atau memojokkan murid secara seksual.
- dipaksa mencium seseorang, atau dipaksa melakukan tindak seksual selain mencium.
The Office for Civil Rights of the U.S. Department of Education baru-baru ini menerbitkan pedoman kebijakan tentang pelecehan seksual setebal 40 halaman, Dalam pedoman ini, dibedakan antara quid pro quo sexual harassment dan hostue environment sexual harrasment. Quid pro quo sexual harassment terjadi apablla – seorang karyawan sekolah mengancam akan membuat keputusan pendidikan (seperti pemberian nilai) berdasarkan kesediaan murid untuk menerima tindakan seksual yang tidak diinginkannya. Misalnya, seorang guru memberi nilai untuk murid karena murid itu mau menerima tindakan seksual guru atas dirin a, atau guru memberi nilai F karena murid tidak mau diperlakukan secara seksual. Hostue environment sexual harassment terjadi jika murid dikenai tindakan seksual yang tidak diinginkannya, di mana pelecehan seksual itu sangat parah, terus menerus, atau berkelanjutan sehingga tmdakan itu menghambat kemampuan murid untuk memperoleh manfaat dari pendidikannya. Lingkungan yang buruk ini biasanya diciptakan melalui serangkaian insiden, seperti tawaran melakukan kegiatan seksual secara terus-menerus. Pelecehan seksual adalah sebentuk kekuasaan dan dominasi dari satu orang atas orang lain, yang dapat menyebabkan konsekuensi yang buruk bagi si korban. Pelecehan seksual terutama akan sangat merugikan apabila pelakunya adaah guru dan orang dewasa lain yang punya kekuasaan dan otoritas atas diri murid (Lee, dkk., 1995). Sebagai bagian masyarakat, kita harus tidak menoleransi pelecehan seksual (Firpo-Triplett, 1997).
Baca juga Makalah Gender dan Persamaan dan Perbedaan Gender