Faktor-Faktor Terjadinya Perceraian dan Terbentuknya Harta Bersama

Faktor-faktor Terjadinya Perceraian

Menurut pasal 19 PP No. 9 tahun 1975, alasan-alasan perceraian adalah:

  1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
  2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama (2) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
  3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima), tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
  4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
  5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri.
  6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.[1]

Menurut Imam Maliki, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal bahwa isteri dapat menjatuhkan cerai gugat terhadap suami apabila:

  1. Tidak diberi nafkah, apabila seorang suami terbukti tidak mampu memberi nafkah pokok kepada isterinya, maka isterinya itu boleh mengajukan tuntutan cerai.
  2. Istri merasa terancam baik berupa ucapan atau perbuatan suami. Apabila isteri mengaku diancam oleh suaminya yang menyebabkan ia tidak bisa mempertahankan kehidupan rumah tangga bersama orang seperti itu, kalau pengakuan tersebut terbukti, dan hakim tidak mampu mendamaikan keduanya, maka dia boleh menjatuhkan talak kepada wanita tersebut dengan talak bain.
  3. Terancamnya kehidupan isteri karena suami tidak berada di tempat.
  4. Isteri terancam kehidupannya karena suami berada dalam penjara.[2]

Setidaknya ada empat kemungkinan yang dapat terjadi dalam kehidupan rumah tangga yang dapat memicu terjadinya perceraian:

  1. Terjadinya Nusyuz dari pihak isteri. Nusyuz bermakna kedurhakaan yang dilakukan seorang isteri terhadap suaminya. Berkenaan dengan hal itu Al-Qur’an memberi tuntunan bagaimana mengatasi nusyuz isteri agar tidak terjadi perceraian. Allah berfirman dalam QS. An-Nisa (4): 34 Terjemahnya: Wanita-wanita yang kamu khawatir nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkan diri dari tempat tidur mereka, dan pukullah. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari jalan untuk menyusahkannya sesungguhnya Allah maha Tinggi lagi Maha Besar.[3]
  2. Nusyuz suami terhadap isteri. Kemungkinan nusyuz suami dapat terjadi dalam bentuk kelalaian dari pihak suami untuk memenuhi kewajibannya pada isteri, baik nafkah lahir maupun nafkah batin.
  3. Terjadinya syiqaq. Dalam penjelasan UU No. 7 Tahun 1989 dinyatakan bahwa syiqaq adalah perselisihan yang tajam dan terus menerus antara suami isteri
  4. Salah satu pihak melakukan perbuatan zina (fahisyah) yang menimbulkan saling tuduh menuduh antara keduanya.[4]

Terbentuknya Harta Bersama

Tentang ini Pasal 35 Ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 sudah menegaskan: harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Ini berarti terbentuknya harta bersama dalam perkawinan ialah sejak saat tanggal terjadinya perkawinan sampai ikatan perkawinan bubar, kalau begitu harta apa saja yang diperoleh terhitung sejak saat berlangsungnya akad nikah, sampai saat perkawinan pecah baik oleh karena salah satu meninggal atau oleh karena perceraian, maka seluruh harta tersebut dengan sendirinya menurut hukum menjadi harta bersama. Penegasan seperti itu antara lain dapat dilihat dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 9 November 1976 No. 1448 K/Sip/1974.[5] Dalam putusan ini ditegaskan “sejak berlakunya UU No. 1 tahun 1974, harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sehingga pada saat terjadinya perceraian harta bersama tersebut dibagi sama rata antara bekas suami isteri.

Sebenarnya, kaidah yang menegaskan terbentuknya harta bersama terhitung sejak berlangsungnya perkawinan, sudah sejak lama diperpegangi. Pendapat dan pendirian itu bukan baru muncul sejak berlakunya UU No. 1 tahun 1974, Tidak! Lama sebelum itu sudah diterapkan kaidah yang menegaskan terbentuknya harta bersama terjadi selama perkawinan berlangsung.

Dengan demikian patokan untuk menentukan apakah sesuatu barang atau harta termasuk atau tidak ke dalam harta bersama suami isteri berlangsung, dengan sendirinya harta tersebut menjadi harta bersama. Kecuali jika harta yang diperoleh berupa “warisan” atau “hibah” oleh salah satu pihak, harta tersebut tidak termasuk harta bersama, tapi jatuh menjadi “harta pribadi” si penerima. Misalnya, suami isteri mendapat harta warisan dari orang tua. Sekalipun harta tersebut diperoleh selama perkawinan berlangsung, oleh karena harta yang diperoleh berbentuk warisan, maka harta tersebut akan menjadi milik pribadi penerima warisan. Begitu juga harta yang diperoleh sebagai hibah. Jika penghibahannya ditujukan dan diperuntukkan secara pribadi kepada suami atau isteri, harta tersebut tidak jatuh menjadi harta bersama. Tapi jatuh menjadi harta pribadi penerima hibah.[6]

Kalau begitu dalam menentukan patokan bahwa semua harta yang diperoleh selama perkawinan atau jatuh menjadi harta bersama, harus dikecualikan mengenai harta yang diperoleh salah satu pihak sebagai warisan atau hibah. Harta warisan atau hibah yang diperoleh selama perkawinan jatuh menjadi milik pribadi penerimanya.

Harta tersebut berada dalam kandungan ketentuan Pasal 85 sampai dengan pasal 87 Kompilasi Hukum Islam, yakni:

Pasal 85

Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri.

Pasal 86

(1)   Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta bersama suami dan harta isteri karena perkawinan

(2)   Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai sepenuhnya olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.

Pasal 87

(1)    Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan

Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hidayah, shadaqah, atau lainnya.[7]


[1]Ibid., h. 77

[2]Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab (Cet. I; Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2002), h. 490-491.

[3]Departemen Agama RI, h. 123

[4]Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No. 1 Tahun 1974 sampai KHI), Edisi I (Cet. I; Jakarta: Kencana, 2004), h. 209-214

[5]Lihat Mahkamah Agung RI, Proyek Yurisprudensi, h. 155

[6]M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 (Cet. I; Jakarta: Pustaka Kartini, 1990), h. 299-300

[7]Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000), h. 42-43