Pengaruh Poligami Terhadap Perkembangan Psikologi Anak

Perbincangan tentang poligami hampir tak menemukan alinea terakhir. Selalu saja menjadi berita hangat yang dipermasalahkan. Ada sekian orang yang anti setengah mati, adapula yang menyokong konsep ini secara totalitas. Mereka berargumen dengan kecenderungannya masing-masing. Baik itu berdasarkan disiplin ilmu yang dikuasai maupun berlandaskan perasaan dan pengalaman pribadi.

Namun, satu hal yang mereka sepakati bahwa mempraktekkan konsep ini merupakan suatu yang sah dalam kacamata syariah. Suami boleh menikahi dua orang wanita atau lebih asal sesuai dengan ketentuan dan syarat-syarat yang telah ditentukan. Misalnya, seperti yang disampaikan oleh seorang psikiater yaitu Kusmaidy, bahwa seorang suami yang berniat melakukan poligami harus memenuhi syarat fisik dan psikis, dalam dua kebutuhan itu, seorang laki-laki dituntut untuk berlaku adil.[1]

Persiapan psikis sangat penting, terutama jika di dalam di dalam pernikahan  suami sebelumnya terdapat anak-anak. Anak-anak dapat merasakan setelah pernikahan kedua terjadi, apakah ibunya dapat dengan besar hati menerima orang baru masuk ke dalam kehidupan mereka. Jangan sampai keputusan yang diambil menyimpan bara dalam sekam, ujungnya yang terjadi adalah ketidak bahagiaan bagi istri dan korban utama yang paling menderita adalah anak. Seorang ibu merupakan pengembang utama bagi pendidikan anak. Bagaimana mungkin seorang ibu yang tidak bahagia (unhappy mother ) bisa memberikan kebahagiaan bagi anak-anaknya. Yang akhirnya hal tersebut bisa menjadi bumerang bagi keutuhan perkembangan jiwa anak.[2]

Poligami yang tidak sesuai dengan hukum syar’i akan menciptakan hubungan yang tidak sehat dalam keluarga, hal tersebut akan menjadi faktor rusaknya lembaga perkawinan yang merupakan pukulan dan dapat menghancurkan mental anak yang tidak berdosa, sebab poligami akan merampas perlindungan dan ketentraman anak yang masih berjiwa bersih.

Dalam kehidupan rumah tangga, banyak hal yang akan memberikan dampak negatif terhadap kehidupan keluarga, keluarga yang anggotanya mengalami konflik intra pribadi akan sulit untuk berkembang menjadi suatu keluarga yang harmonis dan bahagia. Dimana anggota keluarga yang berada dalam situasi konflik, akan berkembang menjadi pribadi yang mendapat gangguan psikologis sehingga berpengaruh pada perilakunya. Dalam keadaan lebih buruk, keadaan konflik dapat mengakibatkan kehancuran keluarga.s

Pengaruh yang paling besar adalah pengaruh terhadap perkembangan anak dan masa depannya. Dalam suasana yang tidak harmonis akan sulit terjadi proses pendidikan yang baik dan efektif, anak yang dibesarkan dalam suasana seperti itu tidak akan memperoleh pendidikan yang baik sehingga perkembangan kepribadian anak mengarah kepada wujud pribadi yang kurang baik. Akibat negatifnya sudah dapat diperkirakan yaitu anak tidak betah dirumah, hilangnya tokoh idola, kehilangan kepercayaan diri, berkembangnya sikap agresif dan permusuhan serta bentuk-bentuk kelainan lainnya. Keadaan itu akan makin diperparah apabila anak masuk dalam lingkungan yang kurang menunjang. Besar kemungkinan pada gilirannya akan merembes ke dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas lagi.

Alangkah bahagia dan indahnya apabila semua orang tua bisa mendidik anaknya dengan baik serta membentuknya menjadi pribadi yang shaleh, tentunya pertama kali yang mesti mereka terapkan adalah memperbaiki perilakunya sendiri dalam keluarganya. Jadi, jika seorang ayah tidak dapat menjamin akan dapat berlaku adil maka ia harus mengubur niatnya untuk berpoligami dan mulai memikirkan cara untuk memperbaiki keadaan keluarga dan perkembangan psikologi anak yang tak berdosa yang bisa menjadi korban dari kerusakan atau penyelewengan moral akibat tatanan keluarga yang tak utuh. Dimana keadaan keluarga sangat mempengaruhi perjalanan hidup dan masa depan anak karena lingkungan keluarga merupakan arena dimana anak-anak mendapatkan pendidikan pertama, baik rohani maupun jasmani.[3]

Dari uraian yang penulis kemukakan seperti di atas maka dapatlah disimpulkan bahwa sudah menjadi keharusan bagi orang tua untuk membimbing dan mendidik anak-anaknya, karena anak-anak yang tidak mendapatkan bimbingan dan pendidikan yang wajar dari orang tuanya akan menimbulkan kelemahan pada diri anak dalam perkembangan dan pertumbuhan psikologisnya.

Kalau hal ini diasumsikan ke dalam keluarga yang berpoligami, maka sudah dapat dibayangkan bagaimana hubungan antara anak dengan ayahnya. Seorang ayah yang berpoligami berarti ia harus menghadapi lebih dari satu keluarga yang harus diurus dan dipimpinnya. Dengan memimpin dua rumah tangga atau lebih, berarti ayah tidak selamanya berada dan menetap pada satu rumah tangga isterinya. Akan tetapi senang tiasa berpindah-pindah dari rumah isteri yang satu ke rumah isteri yang lain dan seterusnya.

Dengan keadaan seperti demikian itu, maka kesempatan seorang ayah untuk bertemu dengan dan bergaul dengan anak-anaknya sangatlah terbatas. Hal itu berarti terbatas pula waktu untuk bertemu dan bergaul dengan anak-anaknya secara kontinyu, kondisi rumah tangga dalam bentuk demikianlah yang menyebabkan banyak di antara anakanak yang berpoligami itu terlantar pendidikannya. Dan selanjutnya  mempengaruhi perkembangannya, misalnya anak menjadi pemalas dan kehilangan semangat dan kemampuan belajarnya. Di samping itu tidak jarang menimbulkan terjadinya kenakalan-kenakalan dan traumatik bagi anak higga berkeluarga. Terjadinya tindakan-tindakan atau kasus-kasus tersebut merupakan akibat negatif dari keluarga yang berpoligami yang disebabkan karena hal-hal sebagai berikut:

1. Anak Merasa Kurang Disayang.

Salah  satu dampak terjadinya poligami adalah anak kurang mendapatkan perhatian dan pegangan hidup dari orang tuanya, dalam arti mereka tidak mempunyai tempat dan perhatian sebagaimana layaknya anak-anak yang lain yang orang tuanya selalu kompak. Adanya keadaan demikian disebabkan karena ayahnya yang berpoligami, sehingga kurangnya waktu untuk bertemu antara ayah dan anak, maka anak merasa kurang dekat dengan ayahnya dan kurang mendapatkan kasih sayang seorang ayah.

Kurangnya kasih sayang ayah kepada anaknya, berarti anak akan menderita karena kebutuhan bathinnya yang tidak terpenuhi. Selain itu, kurangnya perhatian dan control dari ayah kepada anak-anaknya maka akan menyebabkan anak tumbuh dan berkembang dengan bebas. Dalam kebebasan ini anak tidak jarang mengalami kemorosotan moral, karena dalam pergaulannya dengan orang lain yang ter pengaruh kepada hal-hal yang kurang wajar.

Margaret Mead, seorang antropolog terkenal mengatakan bahwa cara-cara pengasuhan yang hanya mengandalkan ibu sebagai satu-satunya tokoh, akan menimbulkan banyak masalah pada anak.[4] Karena hal tersebut akan menyebabkan kesulitan bagi anak untuk berinteraksi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan dan orang-orang di sekelilingnya.

2. Tertanamnya Kebencian Pada Diri Anak.

Pada dasarnya tidak ada anak yang benci kepada orang tuanya, begitu pula orang tua terhadap anaknya. Akan tetapi perubahan sifat tersebut mulai muncul ketika anak merasa dirinya dan ibunya”dinodai” kecintaan kepada ayahnya yang berpoligami. Walaupun mereka sangat memahami bahwa poligami dibolehkan (sebagaimana dalam QS. An-Nisa :3) tapi mereka tidak mau menerima hal tersebut karena sangat menyakitkan. Apalagi ditambah dengan orang tua yang akhirnya tidak adil, maka lengkaplah kebencian anak kepada ayahnya.

Kekecewaan seorang anak karena merasa dikhianati akan cintanya dengan ibunya oleh sang ayah, akan menyebabkan anak tidak simpati, dan tidak menghormati ayah kandungnya. Sebagaimana kasus yang terjadi di Jakarta Timur, seorang anak dari keluarga poligami (Upik) yang memukul ayahnya sendiri hingga tak sadarkan diri, karena kebenciaan yang memuncak kapada ayahnya. Persoalannya bermula ketika sang ayah, pak Burhan 3 bulan tak pernah pulang dan tidak juga memberikan nafkah. Ia selalu berada di rumah isteri mudanya yang berjarak 3 kilometer dari rumah isteri tua. Sehingga setibanya di rumah, Upik yang sudah memendam kemarahan selama 3 bulan ini karena melihat ibu dan keluarganya ditelantarkan, maka dilampiaskannya dengan memukul ayahnya hingga pingsan.[5]

Menurut penulis, perlakuan Upik memukul ayahnya merupakan hal yang salah, sebab dengan berbuat demikian bukan menghilangkan masalah tapi justru menambah masalah baru.sehingga harus diakui bahwa poligami mempunyai efek yang dapat merubah seseorang dari sikap baik sampai kepada bersikap yang tidak baik. Olehnya itu, sebaiknya ada komunikasi terlebih dahulu mungkin sang ayah sakit atau ada halangan lain.

3. Tumbuhnya Ketidakpercayaan Pada Diri anak.

Persoalan yang kemudian muncul sebagai dampak dari poligami adalah adanya krisis kepercayaan dari keluarga, anak, dan isteri. Apalagi bila poligami tersebut dilakukan secara sembunyi dari keluarga yang ada, tentu ibarat memendam bom waktu, suatu saat lebih dahsyat reaksi yang ada.

Sesungguhnya poligami bukan sesuatu yang harus dirahasiakan, tapi sesuatu yang harus dirahasiakan, tapi sesuatu yang sejatinya harus didiskusikan, jadi jangan ada dusta di antara suami isteri.[6] Karena apabila seorang suami ingin melakukan poligami karena ada sesuatu dari perkawinannya, misalnya; Karena isteri tidak mampu melahirkan, isteri nusyuz, isteri sakit dan sebaginya. Tetapi jika hanya alasan seks semata, lebih jelasnya karena maniak seks, sedangkan seks terhadap isteri yang ada tidak ada masalah, tentu masuk kelompok orang-orang yang mengikuti hawa nafsu belaka. Atas tekad dan keinginan tersebut tidak bisa sembunyi dari pengawasan Allah SWT, meski mungkin di hadapan manusia berteriak dalih menolong dan sebagainya.

Allah SWT., berfirman dalam Q.S. Al-Ankabut (29) :  52:

Terjemahnya:

Katakanlah: cukupkanlah Allah menjadi saksi antaraku dan antaramu. Dia mengetahui apa yang di langit dan di bumi. Dan orang-orang yang percaya kepada yang bathil dan ingkar kepada Allah, mereka itulah orang-orang yang merugi.[7]

4. Timbulnya Traumatik Bagi Anak.

Dengan adanya tindakan poligami seorang ayah  maka akan memicu ketidak harmonisan dalam keluarga dan membuat keluarga berantakan, walaupun tidak sampai cerai. Tapi kemudian akan timbul efek negatif, yaitu anak-anak menjadi agak trauma terhadap perkawinan dengan pria.

Sebagaimana yang terjadi dalam keluarga sebut saja namanya Irfan, ia mendapat jodoh seorang wanita yang ayahnya penganut poligami, yang hubungannya sangat tidak baik antara keluarga isteri tua dan muda, bahkan akhirnya sangat tidak baik juga terhadap isteri yang tua. Yang dominan sebabnya karena kekecewaan dan ketidakpercayaan. Isteri Irfan, zulaikha adalah anak dari isteri pertama. Trauma seorang anak sangat dirasakan hingga anak berumah tangga. Irfan merasa isterinya mempunyai sifat yang emosi. Setiap bicara nadanya tidak sekali menunjukkan kelembutan. Terutama apabila ada persoalan kecil saja, ia seperti kelihatan ngotot dan curiganya terlalu besar, bukan sekadar hal wanita, sering kali juga masalah keluarga menjadi sangat sensitif. [8]


[1] Dedi Kusmayadi, “Memilih Poligami Mempertimbangkan Anak, “ Fajar, 22 Maret 2002, h. 4.

[2] Ibid.,

[3] Siti Sundari, Kesehatan Mental dalam Kehidupan (Cet.I; Jakarta: PT. Mahasatya, t.th), h.8.

[4] Alex sobur, Komunikasi Orang tua dan Anak ( Bandung; Angkasa: 1991), h.23.

[5] Anshorie Fahmie, Siapa Bilang Poligami Itu Sunnah? ( Cet. I; Bandung: Pustaka IImaN, 2007), h.132.

[6] Dedi Kusmayady., op.  cit., h.5.

[7] Deartemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: PT. Tanjung Mas Inti, 1992), h. 636.

[8] Anshorie fahmie., op.  cit., h 138-139.