Pendahuluan
Dari sekian banyak disiplin ilmu yang sudah dijelaskan, studi tentang pendidikanlah (ilmu pendidikan, teori pendidikan) yang paling dekat dengan pengajaran bahasa. Pengajaran bahasa dalam bentuk penyebarannya yang luas, berlangsung dalam lingkungan pendidikan, yakni; sekolah, universitas, perguruan tinggi, kelas orang dewasa, dan sebagainya. Pengajaran bahasa merupakan bagian dari pelaksanaan kurikulum yang bertujuan mengajarkan sebanyak mungkin penerapan mata pelajaran dalam pengajaran bahasa, yang biasa ditemukan dalam pelajaran lain dari kurikulum itu. Oleh karena itu, hanya sedikit pemikiran yang telah diberikan oleh para penulis untuk mengetahui hubungan antara pengajaran bahasa dengan studi tentang pendidikan..
Karena masih kurangnya pemikiran/pendapat yang menjelaskan tentang pengajaran bahasa, maka pendidikan belum menerima pertimbangan dalam teori pengajaran bahasa sebagaimana yang diberikan kepada disiplin ilmu lainnya. Menurut laporan bahwa untuk mengetahui ‘sejarah’ hubungan antara studi/kajian tentang pendidikan dengan pengajaran bahasa sangat sulit diperoleh dengan segera.
Ketika bidang studi profesional, pendidikan –seperti pengobatan- yang diterapkan pada beberapa studi lainnya, seperti filsafat, psikologi, atau sosiologi, sebagai disiplin sumber. Karena itu, teori pengajaran bahasa menyebabkan pendidikan dianggap sebagai sumber multidisipliner. Dengan memperlakukannya seperti itu, asumsi pendidikan dalam pengajaran bahasa dapat dipergunakan dengan jelas, sehingga pengajaran bahasa dapat dipandang sebagai pengajaran yang lebih jelas hubungannya dengan aktivitas pendidikan lainnya.
Pendidikan sebagai disiplin pada umumnya dibagi ke dalam beberapa subdisiplin, yakni;
1) filsafat pendidikan,
2) sejarah pendidikan,
3) psikologi pendidikan,
4) sosiologi pendidikan,
5) ekonomi pendidikan,
6) organisasi dan administrasi pendidikan,
7) perencanaan pendidikan,
8) pendidikan komparatif,
9) kurikulum, dan
10) teknologi pendidikan.
Oleh karena itu, dalam bab ini, pertama-tama akan dikaji secara singkat dari beberapa subdisiplin sebagaimana disebutkan di atas (1 sampai 8), dan selanjutnya, kedua bagian terakhir (9 dan 10) untuk kepentingan pengajaran bahasa.
Filsafat Pendidikan
Pandangan tentang pendidikan yang komperhensif ditawarkan oleh filsafat pendidikan. Namun, para filosof pendidikan telah menginterpretasikan kontribusi pemikiran mereka dalam cara yang berbeda-beda. Pandangan yang lebih toleran adalah bahwa para filosof seharusnya tidak menentang pendapat filosof yang lain. Mereka seharusnya membiarkannya, dan hanya bertindak sebagai penonton, pengamat ataupun komentator. Inilah yang mendesak mengenai peran filsafat yang secara langsung menyangkut isu-isu aktual tentang pendidikan dan penyelesaiannya (Beck 1974). Menurut pandangan ini, filsafat pendidikan seharusnya berurusan dengan;
1) analisis isu pendidikan,
2) klarifikasi atau ‘terapi intelektual’,
3) menjawab pertanyaan pendidikan yang abstrak,
4) mencari pandangan umum tentang pendidikan,
5) mengembangkan dan menggunakan strategi ‘berpikir’ yang disesuaikan dengan penyelidikan pendidikan,
6) menangani masalah dengan ‘urutan yang lebih tinggi’ dalam pendidikan,
7) memecahkan ‘teka-teki intelektual’ yang muncul dalam penyelidikan pendidikan,
8) menyelidiki hakikat pemikiran konseptual yang dianggap relevan dengan pendidikan,
9) menelaah bahasa pendidikan,
10) menganalisis dan mengkritisi apa yang berlangsung dalam subdisaiplin pendidikan lainnya,
11) memfasilitasi karya subdisiplin pendidikan lainnya (Beck,1974:16).
Filsafat pendidikan sudah diinterpretasikan secara luas sehingga mencakup setiap aspek studi dan praktik pendidikan, serta pengajaran bahasa.
Sejarah Pendidikan
Sejarah pengajaran bahasa membentuk bagian sejarah pendidikan yang lebih luas, sedangkan pengajaran bahasa dipengaruhi oleh titik pandang sejarah perkembangan pendidikan yang umum. Oleh karena itu, maka sejarah pengajaran bahasa dapat dipahami dengan baik dalam kerangka sejarah pendidikan. Pertumbuhan bahasa modern menuju ke akhir abad kesembilan belas dan awal abad keduapuluh, menyebabkan terjadinya perubahan dari bentuk klasik ke arah perluasan sejarah, pemodernisasian, dan penganekaragaman kurikulum sekolah.. Selanjutnya, dalam subjek ‘modern’ lainnya, bahasa modern sudah mulai berlangsung. Namun demikian, pada pertengahan abad keduapuluh, bahasa dianggap sebagai pemilik kurikulum dari pendidikan sekunder, sebab itu, kemufakatan kurikulum mendikte pendidikan dasar sebagai pendidikan bahasa daerah di mana bahasa asing tidak mendapat tempat untuk itu. Hanya dalam tiga puluh tahun terakhir, kurikulum primer sudah menjadi cukup fleksibel. Pengajaran bahasa mempunyai pengaruh yang sama terhadap pemikiran pendidikan sehingga turut mempengaruhi semua kurikulum yang sesungguhnya, termasuk psikologi, evaluasi, penelitian pendidikan, dan gerakan reformasi pendidikan.
Sebaliknya, dalam hal lain, bahasa menentukan caranya sendiri.
Pertama, pengajaran bahasa dieksposisikan pada pengaruh fonetik dan linguistik yang tidak mempunyai kepastian yang paralel dalam kurikulum lainnya.
Kedua, intelektual menuntut subjek ‘isi’, seperti sejarah, geografi, atau sains, yang dipandang agak berbeda dari prestasi penguasaan dalam sebuah bahasa modern.
Ketiga, guru bahasa merupakan suatu kelompok yang terdiri atas guru dan subjek lainnya, sebab mereka melibatkan penutur asli dari bahasa asing yang tidak mengikutsertakan tradisi pengajaran dan prasupposisi, yakni; mereka selalu cocok dimasukkan ke dalam konteks kultural di mana mereka mengajarkan bahasa asli, dan tidak perlu menyesuaikan diri dengan etos sekolah di mana mereka mengajarkan pelajaran itu.
Dalam usia enampuluhan, pada suatu ketika pemikiran pendidikan menekankan sifat kreatif, pelatihan dalam berfikir kritis, dan mengetahui perbedaan individual antara pebelajar, serta sifat enggan menerima model pengajaran otoriter dan mekanik, pengajaran bahasa mengikuti linguistiknya sendiri dan teori psikologi yang menekankan kebutuhan akan latihan, kebiasaan, prasyarat, dan respons yang otomatis. Kelas bahasa dari orang yang berusia enampuluhan menuntut lingkungan yang jauh lebih kaku dan otoriter dibandingkan dengan bagian pendidikan yang valid dalam kurikulum.
Sejarah pengajaran bahasa dianggap sebagai sejarah terbaik yang dihasilkan dari sejarah pendidikan umum dengan pengaruh khusus terhadap pengajaran bahasa itu sendiri. Dengan demikian, penting diketahui bahwa perkembangan teori pengajaran bahasa dilakukan tanpa mengacu kepada sejarah pendidikan umum.
Psikologi Pendidikan
Dari sekian banyak cabang disiplin ilmu pendidikan, psikologi pendidikanlah yang merupakan disiplin ilmu yang paling banyak dikembangkan. Sebab, psikologi pendidikan merupakan pusat dari teori pendidikan.
Sosiologi Pendidikan
Sosiologi pendidikan menempatkan pendidikan sebagai suatu aktivitas dan institusi ke dalam suatu konteks sosial. Ia mengakui sekolah dan institusi pendidikan yang lain sebagai sebuah agensi dalam suatu masyarakat. Sekolah dapat dipandang sebagai bagian dari masyarakat, yang mencerminkan struktur yang sudah ada. Jadi, salah satu maksud dari pendidikan sosial adalah pemeliharaan tatanan sosial yang ada. Bahasa telah memainkan bagian penting dalam pembagian kelas pendidikan. Pembelajaran bahasa asing dianggap sebagai suatu tanda buat para ‘elitis’ pendidikan, dan dalam beberapa lingkungan sekolah, bahasa diajarkan tidak begitu banyak pada batas intrinsiknya, namun, semata-mata disebabkan karena bahasa itu dapat memberikan prestise sosial kepada pebelajar.
Karya Bernstein dalam Britain telah memperjelas adanya hubungan yang erat antara penggunaan kelas sosial dengan bahasa dalam keluarga, sehingga mempertegas mobilitas sosial melalui pendidikan. Rupanya, di negara Afrika, daya desakan sosial begitu besar sehingga tidak mungkin untuk mengabaikan kecenderungan yang mengarah kepada urbanisasi semata. Selanjutnya, perubahan sosial melalui pendidikan hanya menjadi efektif apabila membentuk bagian dari gerakan sosial yang lebih luas sehingga menjangkau bagian luar yang membatasi sekolah itu.
Keberhasilan usaha untuk mengubah karakteristik linguistik dari suatu masyarakat pendidikan, juga masih bergantung pada dukungan masyarakat. Analisis sosiologis dari sekolah yang dihubungkan dengan masyarakat adalah nilai teori dari pengajaran bahasa yang menjadi konsep untuk menginterpretasikan kerangka sosial sekolah. Perhatikanlah, secara sosiologis, pengajaran suatu bahasa merupakan suatu intervensi terhadap refortoire linguistik penduduk yang diubah. Sekolah dianggap relatif berhasil dalam membina ‘bikodal’ penduduk, yaitu kemampuan untuk membaca dan menulis. Usaha untuk mengajarkan bahasa kedua di sekolah melalui sistem sekolah merupakan usaha untuk menjadikan populasi ‘dwibahasa’. Adapun usaha untuk memberantas ketidaktahuan tentang pengajaran bahasa kedua, dapat dilaksanakan dengan dua alasan:
Pertama, kasus ketidaktahuan pengajaran bahasa kedua di sekolah perlu diusahakan penanganannya, sebab penting sekali untuk memberantas ketidaktahuan masyarakat terhadap bahasa kedua itu yang dilaksankan selama ini. Di satu pihak, kebanyakan transaksi sosial dalam kehidupan kita sehari-hari selalu menuntut membaca dan menulis. Keterampilan yang telah diperoleh secara tetap, digunakan baik di dalam maupun di luar lingkungan sekolah. Pembelajaran bahasa kedua, secara umum telah diberlakukan pada fase yang lebih lamban dan biasanya dilaksanakan tanpa intensitas dan pentingnya kampanye pemberantasan buta huruf. Sebaliknya, pengajaran bahasa kedua di sekolah seringkali tidak dipakai di luar pelajaran bahasa. Bila bahasa kedua diajarkan karena bahasa itu sudah menjadi bahasa pengajaran atau karena merupakan bahasa lingkungan, maka pengajaran bahasa kedua akan berhasil dilaksanakan di sekolah. Penggunaan sosial rupanya telah menjadikan bahasa kedua diembankan kepada pembelajaran bahasa. Oleh karena itu, untuk memahami mengapa pembelajaran bahasa tidak berhasil dilaksanakan di sekolah, agaknya sama-sama penting untuk diamati baik di sekolah maupun di masyarakat. Pertanyaan apakah kontribusi masyarakat penting terhadap bahasa kedua? Jawaban atas pertanyaan itu lebih terletak pada deklarasi nilai pembelajaran bahasa kedua dibandingkan dengan penggunaan bahasa kedua tersebut.
Kedua, keberhasilan pengajaran bahasa masih bergantung kepada desakan utama dalam masyarakat, seperti peran atau persepsi bahasa dalam masyarakat itu. Dengan meninjau sekolah atau kelas sebagai proses pendidikan masyarakat untuk menentukan hubungan dengan studi kelompok sosial, sehingga elemen umum dan karakteristik khusus dapat diidentifikasi.
Kelas di sekolah merupakan kelompok ‘formal’, dan sekarang para pengajar sudah berpengalaman menangani cara-cara yang dilakukan oleh kelompok yang berbeda berdasarkan alasan berupa ukuran, komposisi, dan organisasi internal dari kelompok itu yang turut mempengaruhi pembelajaran. Pemikiran modern pada kerangka pendidikan sosial, telah mengacu kepada eksperimen dengan pola kelompok kecil dan pola pengajaran dan pembelajaran individu. Peran guru dalam lingkungan pendidikan dianggap belum tetap secara mutlak. Pada masa lalu, peran guru sebagai direktur pada setiap waktu, masih dipertanyakan. Dewasa ini, guru lebih fleksibel dan tidak menganggap dirinya berlebih-lebihan dalam perannya sebagai instruktur kelas.
Namun demikian, dewasa ini sudah ada kesadaran terhadap struktur sosial dan ‘iklim sosial’ dari kelas bahasa. Eksperimen yang dilakukan individu dalam memodifikasi komposisi kelas membuktikankan bahwa, pendekatan yang lebih fleksibel terhadap struktur kelompok pembelajaran bahasa dapat menjadi sangat membantu dalam pengajaran bahasa. Pertanyaan tentang komposisi, ukuran kelas, iklim sosial, dan aktivitas kelompok, masih merupakan mikrososiologi kelompok pendidikan dan membentuk bagian dari sosiologi pendidikan, sehingga memberi implikasi atas interpretasi kita tentang kelas bahasa.
Ekonomi Pendidikan
Cabang studi pendidikan yang relatif baru ini diterapkan pada ekonomi pendidikan ditinjau dari dua titik pandang. Pertama, menentukan keuntungan ekonomi pada pendidikan. Pendekatan ini secara khusus penting bagi negara berkembang dalam memutuskan pendistribusian sumber-sumber yang terbatas. Pendekatan kedua memperlihatkan adanya pertanggungjawaban biaya atas keputusan dan pilihan pendidikan dengan cara memberi penilaian tentang biaya dan manfaat pada tindakan pendidikan khusus dalam perbandingannya dengan tindakan lainnya. Setiap penilaian tidak hanya didasarkan pada prinsip ekonomi semata. Mereka menuntut pengetahuan substantif dan penilaian yang membatasi aktivitas pendidikan. Adapun faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam menghitung biaya pengajaran bahasa mencakup;
a) biaya pelatihan dan penataran guru bahasa,
b) biaya bantuan untuk tenaga supervisor dan non-profesional (asisten ahli, teknisi laboratorium bahasa, dan sebagainya).
c) biaya material,
d) waktu mengajar di kelas,
e) ukuran kelas bahasa, dan
f) ruang dan instalasi yang dibutuhkan, umpamanya, biaya ruang kelas bahasa khusus dan peralatannya.
Jadi, perluasan kelas bahasa dalam sistem sekolah dari dua puluh menjadi empat puluh menit mencakup penggandaan kekuatan pengajaran sehingga menambah biaya per siswa.
Ekonomi pendidikan yang belum berkembang selalu menawarkan teknik yang siap untuk menjawab setiap pertanyaan dengan mudah. Namun demikian, pertumbuhan subdisiplin ini sudah menyempurnakan pendekatannya, sehingga pengajaran bahasa tidak akan diragukan.
Organisasi dan Administrasi Pendidikan
Administrasi pendidikan mencakup manajemen keuangan, jasa dan bangunan sekolah, pendaftaran siswa, penempatan staf di sekolah, supervisi atau pengembangan kurikulum, organisasi ujian, penilaian prestasi siswa, dan sertifikasi guru. Tenaga administrator harus mengumpulkan data statistik dan informasi lainnya, bernegosiasi, mewawancarai, memecahkan konflik, melakukan perubahan awal, tujuan menyarankan, mengorganisir, memutuskan, mengawasi dan mengevaluasi. Dalam sistem pendidikan yang berbeda, maka kekuasaan dan tanggung jawab didistribusikan secara berubah-ubah di antara mahasiswa, staf (guru, instruktur, professor), dan kepala sekolah (direktur, kepala, presiden, wakil konselor, dan sebagainya). Dalam beberapa sistem, masyarakat luas atau tingkat organisasi; dan dalam sistem lainnya guru dan orang tua menawarkan sedikit atau tidak sama sekali peluang untuk mempengaruhi perlakuan sekolah.
Kebanyakan sistem pendidikan diorganisir dalam tiga tahap yang luas, yakni;
1) primer, yaitu, pendidikan untuk anak-anak dari permulaan perintah mendapatkan pendidikan hingga ke awal remaja;
2) sekunder, yaitu, pendidikan full-time dalam usia belasan tahun hingga ke akhir pendidikanyang diperintahkan, dan seterusnya;
3) pendidikan post-sekunder atau wilayah, yaitu, pendidikan kejuruan dan selanjutnya pendidikan universitas, dan pendidikan orang dewasa (pendidikan guru yang dimiliki pada tingkat tertier ini). Pendidikan primer seringkali didahului oleh pendidikan pra-primer (perawatan).
Bila setiap bahasa tidak menampilkan administrasi khusus atau masalah organisasi, maka hal ini harus ditangani dalam waktu singkat. Sebaliknya, guru bahasa yang bekerja dalam sistem khusus tentu saja kenal dengan struktur dan operasi sistem ini. Perubahan dalam bahasa dituntut karena alasan politik, namun, karena alasan yang sama mereka mungkin menimbulkan oposisi politik, sehingga tenaga administrator seringkali menemukan diri mereka sendiri secara politik terpaksa melakukan politik. Dalam keadaan tersebut, pernyataan tentang etnis dan bahasa dapat memainkan peran penting dalam administrasi. Ini mungkin tidak menimbulkan kejutan yang besar bagi tenaga administrasi, sebab itu, administrasi pendidikan dewasa ini dipandang sebagai proses sosial yang mencakup manajemen hubungan manusia (Getzels et.al.1968).
Perencanaan Pendidikan
Masalah perencanaan biaya administrasi pendidikan, tempat sekolah, dan penawaran guru sesuai dengan perhitungan dari ukuran populasi sekolah. Sebaliknya, perkiraan demografis hanya menjadi salah satu komponen dalam proses perencanaan. Dewasa ini, diakui bahwa dalam perencanaan sistem pendidikan yang canggih memungkinkan perkembangan pendidikan ekonomi secara rasional.
Perencanaan tidak berarti kontrol pusat menjadi tidak fleksibel. Proses perencanaan itu sendiri mencakup revisi dan pembaharuan yang tetap dilaksanakan. Perencanaan juga dapat dibandingkan dengan pendistribusian tanggung jawab sehingga bagian dari rencana itu adalah pusat atau sentral, bagian lainnya adalah regional dari aspek tertentu. Terutama perencanaan kurikuler yang mungkin dilakukan di tingkat sekolah.
Dalam pengajaran bahasa, konsep perencanaan bahasa dan perencanaan pendidikan dikombinasikan. Pengajaran bahasa dalam sistem pendidikan bergantung kepada organisasi jangka panjang. Linguistik dasar atau riset sosiolinguistik, persiapan kurikulum dan material pengajaran, pendidikan guru bahasa, semua itu tidak dapat dilaksanakan penanganannya dalam waktu singkat. Sebaliknya, pengkombinasian perencanaan bahasa dan perencanaan pendidikan dapat diterapkan dengan tepat pada pengajaran bahasa.
Pendidikan Komparatif
Pendidikan komparatif menelaah institusi pendidikan dan prosesnya yang dilihat dari dua titik pandang:
Pertama, ia menelaah pendidikan dalam suatu negara atau daerah dalam konteks cakupan kebudayaan negara atau daerah, masyarakat, dan perekonomian. Dalam hal tersebut, Bereday (1964) mempergunakan metode ilmu politik, sosiologi, antropologi, dan sejarah yang berfokus pada pendidikan.
Kedua, ia memberikan perbandingan lintas budaya, ‘studi komparatif’ (op.cit.), menyangkut fenomena pendidikan khusus di negara yang berbeda-beda seperti kurikulum, ujian sekolah, hubungan antara rumah dengan sekolah, peran guru, administrasi pendidikan pusat dan lokal. Bidang khusus dari studi pendidikan komparatif telah berkembang sejak awal abad keenambelas. Dalam abad keduapuluh, sejak Perang Dunia II, dibentuklah organisasi Kebudayaan dan Ilmuan serta Pendidikan (UNESCO) oleh PBB yang mencakup studi pendidikan komparatif dan internasional. Institut UNESCO untuk pendidikan di Hamburg, didirikan pada tahun 1954. Secara menyeluruh menggunakan pendekatan komparatif untuk menangani masalah dan isu-isu utama.
Studi pendidikan komparatif, mendapat banyak kritik yang sifatnya subjektif namun mengesankan. Adapun tujuan dari setiap studi ini bukan untuk dilaksanakan pada ‘olimpiade pengajaran bahasa’, akan tetapi menggunakan pengalaman yang berbeda dalam bermacam-macam sistem pendidikan untuk menentukan faktor mana saja yang dianggap penting dalam pengembangan nasional pada profisiensi bahasa kedua. Oleh karena itu, studi tersebut mempunyai dua tujuan; Pertama, menentukan tingkat prestasi dalam bahasa Inggris dan Prancis di antara siswa yang diseleksi dengan hati-hati di belahan dunia. Kedua, penyelidikan secara teliti dengan mencatat atau merekam fakta-fakta (investigasi) digunakan untuk menghubungkan perbedaan dalam profisiensi sistem pendidikan yang berbeda-beda sehingga dapat menjelaskan perbedaan tersebut.
Kurikulum
Kurikulum merupakan bidang studi yang agak baru. Istilah kurikulum, pada umumnya dipakai dalam dua pengertian. Pertama, mengacu kepada substansi program studi dari sistem atau institusi pendidikan. Jadi, kita dapat membicarakan kurikulum sekolah, kurikulum universitas, kurikulum sekolah Perancis, atau kurikulum pendidikan Sovyet. Pengertian yang lebih terbatas mengacu kepada arah studi atau isi dalam subjek khusus, seperti kurikulum matematika, atau kurikulum sejarah. Oleh karena itu, dipakai sebagai sinonim dalam Univesitas British dan sekolah yang seringkali dilukiskan sebagai ‘sillabus’ untuk studi tertentu. Dewasa ini, istilah kurikulum digunakan bukan hanya menerangkan persoalan pokok atau isi, akan tetapi juga proses pengajaran termasuk material, peralatan, ujian, dan pelatihan guru. Pokoknya, semua tindakan pengajaran yang berhubungan dengan pendidikan. Dengan kata lain, kurikulum berurusan dengan apa yang harus diajarkan kepada siapa, kapan, dan bagaimana (Eisner dan Vallance 1974:2).
* Teori Kurikulum
Dalam periode dua puluh lima tahunan, reformasi kurikulum secara berangsur-angsur sudah dipergunakan pada pendekatan sistematis untuk mengetahui perubahan dan perkembangan kurikulum serta formulasi dari prinsip dasarnya. Hal tersebut sudah mengacu kepada ‘teori kurikulum’.
Teori kurikulum berurusan dengan;
1) hal-hal yang mendasari ideologi dan filsafat asumsi kurikulum (kurikulum filsafat),
2) konseptualisasi dari tiga komponen pokok kurikulum;
(a) maksud dan isi,
(b) instruksi, dan
(c) evaluasi.
3) proses kurikulum;
(a) perkembangan kurikulum yang sistematis,
(b) implementasi kurikulum dalam institusi pendidikan, dan
(c) evaluasi kurikulum.
Filsafat Kurikulum
Eisner dan Vallance (1974) membedakan lima orientasi pokok:
Pertama, kurikulum sekolah harus mengembangkan proses kognitif. Fungsi utama dari aliran ini bukan untuk menyalurkan isi yang sudah ditetapkan akan tetapi melatih anak-anak untuk terampil dalam menyelidiki, mengembangkan fungsi kognitif mereka. Yang menjadi objek utama dari pengajaran bahasa bukan untuk mendapatkan bahasa kedua menjadi sempurna, mrlainkan untuk menyediakan pelatihan pemikiran atau belajar bagaimana cara mempelajari bahasa itu.
Kedua, dilukiskan sebagai aktualisasi diri atau kurikulum sebagai pengalaman biasa. Menurut pandangan ini, pendidikan harus menawarkan sesuatu kepada anak melalui kurikulum sekolah yang harus masuk secara penuh ke dalam kehidupan anak (op.cit. 9).
Ketiga, relevansi rekonstruksi sosial, yang ditekankan pada masyarakat yang memanfaatkan pendidikan dan kurikulum. Posisi ini dapat dilukiskan oleh ‘program immersi’ yang ditawarkan di Kanada kepada anak-anak yang berbahasa Inggris dengan maksud membiasakan anak-anak tersebut menjadi dwibahasa.
Keempat, rasionalisme akademik, yang menekankan warisan beasiswa klasik dan literasi umum sebagai inti pokok dan isi kurikulum. Tradisi ini banyak dikenal oleh guru bahasa, sebab bahasa sudah disesuaikan sejak abad kesembilan belas, bahwa mereka menyediakan jalan keluar pada kebanyakan literatur ternama dari beberapa bangsa lain.
Kelima, kurikulum dilukiskan sebagai teknologi. Dalam pendekatan ini, nilai tidak dipertanyakan atau ditetapkan secara sadar. Namun, penekanannya dilakukan pada pengintensifikasian maksud dan tujuan yang efisien.
Komponen Pokok Kurikulum
Meskipun sudah ada beberapa istilah yang dipakai untuk membicarakan kurikulum yang dianggap tidak umum, namun konsep dasar disepakati secara luas atas penggunaan kurikulum itu. Ada tiga perbedaan umum yang dibuat, dan ketiganya secara langsung penting pada pengajaran bahasa.
a) Isi dan Maksud. Kelompok konsep pertama mengacu kepada ‘tujuan’ (maksud atau sasaran), dan isi (substansi atau persoalan pokok). Biasanya terdiri atas dua perangkat konsep. Sebenarnya, satu definisi menyatakan bahwa kurikulum merupakan suatu seri berstruktur dari hasil pembelajaran yang dimksud (Johnson, 1967:130).Teori kurikulum modern telah meletakkan banyak penekanan pada (a) definisi maksud, dan (b) klarifikasi isi.
b) Instruksi. Kelompok konsep pokok kedua berpusat di sekitar proses pengajaran dan pembelajaran untuk menjangkau tujuan tersebut. Sebaliknya, bagaimana pendidikan, metode pengajaran, pengalokasian waktu, penyeleksian dan penyusunan isi, model presentasi, ruang kelas, media yang dipakai, dan sebagainya, juga dapat menjadi bagian dari kurikulum yang dipertimbangkan.
c) Evaluasi. Aspek ketiga dari kurikulum adalah evaluasi, yang mengacu kepada penilaian apakah pengajaran mencapai objeknya. Konsep ini menyatakan gagasan bahwa belum cukup cara yang diterapkan dalam setiap skema pendidikan tentang maksud seseorang yang berusaha mengorganisir pengalaman belajar dalam suatu cara terencana. Pendidik harus memastikan bahwa tujuan itu pada kenyataannya akan tercapai. Evaluasi digunakan untuk menentukan penilaian tentang kemajuan dan penampilan siswa secara individu yang dieksposisikan pada kurikulum itu.
Proses Kurikulum
Perkembangan kurikulum baru, implementasinya dalam sistem sekolah dan evaluasi periodiknya telah dikenal sebagai aktivitas yang harus direncanakan dan ditata secara hati-hati. Sebaliknya, teori kurikulum telah mengembangkan ‘proses kurikulum’ tersebut ke dalam suatu spesialisasi yang mungkin bermanfaat diterapkan pada kurikulum bahasa kedua.
(a) Pengembangan Kurikulum. Pengembangan kurikulum baru dan implementasinya turut mempengaruhi guru di dalam kelas. Namun, ketika pendidikan itu telah menjadi terdesentralisasi dan semakin demokratis, maka perkembangan kurikulum telah diberlakukan lebih fleksibel dari sumber yang berbeda-beda, seperti; sekolah, guru, orang tua, organisasi, universitas, dan industri atau perhimpunan dagang, yang secara khusus mengangkat komisi, atau dewan penguji.
(b) Implementasi dan Manajemen Perubahan Kurikulum. Bila sebuah kurikulum telah dikembangkan, dan menyatakan bahwa jenis pengajaran materialnya sudah betul-be4tul diciptakan, maka masih ada masalah untuk melaksanakan kurikulum baru itu. Kemauan berpartisipasi guru dalam melaksanakan perubahan kurikulum dikenal sebagai suatu aspek pokok untuk memperkenalkan kurikulum baru tersebut. Hal inilah yang menunjukkan prinsip yang mendasari pelatihan guru baru, dan praktisi yang berpengalaman dalam menawarkan peluang melalui bermacam-macam bentuk pelatihan jasa.
Teknologi Pendidikan
Dewasa ini, teknologi pendidikan tidak dipandang sebagai aplikasi mekanis atau alat bantu elektronik saja dalam pendidikan. Media lainnya tentu saja dikenal sebagai bagian penting dari teknologi pendidikan tersebut. Namun demikian, teknologi pendidikan pada umumnya diinterpretasikan dalam cara yang lebih luas. Di Britain, the national council for education technology mendefinisikannya sebagai perkembangan, aplikasi, dan evaluasi sistem, teknik dan alat bantu untuk memperbaiki proses pembelajaran manusia (dikutip dari Leedham 1973:7). Telah dijelaskan secara luas cara yang sistematis untuk mendesain, menerapkan, dan mengevaluasi semua proses pengajaran dan pembelajaran (Gillett, 1973:2). Sama-sama didefinisikan secara luas mengenai deskripsi teknologi pendidikan sebagai teori organisasi modern, yang mendekati prestasi tujuan pendidikan melalui aplikasi strategi optimal untuk menggabungkan baik pengajaran maupun sumber pembelajaran (Davies dan Hartley, 1972:11).
Konsep teknologi pendidikan modern mencakup psikologi pembelajaran, pengajaran berprogram, dan pendekatan sistem. Basis psikologisnya bukan hanya pada setiap teori pembelajaran khusus, tetapi juga telah mempengaruhi karya Skinner dan Gagne. Pendekatan sistem, diperoleh dari pekerjaan teknik dan industri, pertimbangan guru, siswa, material, dan media sebagai bagian pengganti dari semua sistem yang bermanfaat.
Jadi, teknologi pendidikan mempunyai dua bidang riset utama dan praktik, yaitu; a) tujuan umumnya adalah menetapkan sistem pembelajaran-pengajaran dalam industri, angkatan bersenjata, jasa sipil, atau di sekolah-sekolah; dan b) fungsi keduanya adalah pengembangan media dan alat lainnya serta aplikasi pada proses pengajaran mereka.
Kesimpulan dari tinjauan teknologi pendidikan ini adalah bahwa pengalaman, riset, teori, dan diskusi tentang teknologi pendidikan di luar bidang pengajaran bahasa merupakan prasyarat untuk memahami aplikasi teknologi pada pengajaran bahasa.
Simpulan
Berdasarkan uraian terdahulu, dapat ditarik beberapa simpulan, antara lain:
- Filsafat pendidikan telah diinterpretasikan secara luas, sehingga mencakup setiap aspek studi dan praktik pendidikan, termasuk pengajaran bahasa.
- Sejarah pengajaran bahasa telah turut membentuk bagian dari sejarah pendidikan.
- Psikologi pendidikan merupakan disiplin yang paling banyak dikembangkan karena merupakan pusat dari teori pendidikan
- Sekolah dapat dipandang sebagai bagian dari masyarakat yang mencerminkan struktur yang sudah ada.
- Setiap penilaian tidak boleh didasarkan pada prinsip ekonomi semata.
- Kebanyakan sistem pendidikan diorganisir dalam tiga tahap yang luas, yakni; primer, sekunder, dan post sekunder.
- Dalam pengajaran bahasa, konsep perencanaan bahasa dan perencanaan pendidikan dikombinasikan.
- Kurikulum berurusan dengan apa yang harus diajarkan, kepada siapa, kapan, dan bagaimana.
Buku sumber: Stern, H.H. 1983. Fundamental Concepts of Language Teaching. USA, Oxford University Press
***
(Source : Fitriani Nur, Mahasiswa PPs UNM Makassar | Prodi Pendidikan Matematika, 2008)