Fungsi Hukum

Untuk mencapai tujuannya, hukum harus difungsikan menurut fungsi-fungsi tertentu. Apakah fungsi dari hukum? Jawabnya tergantung yang ingin kita capai apa? Dengan lain perkataan, fungsi hukum itu luas, tergantung tujuan-tujuan hukum umum dan tujuan-tujuan yang spesifik yang ingin dicapai. Tujuan umum dari hukum telah kita bicarakan di atas dan apapun dari hukum, seyogyanya dilaksanakan dalam rangka pencapaian tujuan tersebut.

Joseph Raz melihat fungsi hukum sebagai fungsi sosial, yang dibedakannya hukum ke dalam:

  1. Fungsi langsung
  2. Fungsi tak langsung

Sedangkan penulis sendiri membedakannya ke dalam:

  1. fungsi hukum sebagai “a tool of social control”
  2. fungsi hukum sebagai “a tool of social engineering”
  3. fungsi hukum sebagai simbol
  4. fungsi hukum sebagai “a political instrument”
  5. fungsi hukum sebagai integrator.

Joseph Raz (1983 V 163-177) membedakan fungsi sosial hukum atas:

Fungsi langsung

Fungsi langsung yang bersifat primer, mencakup

(+) pencegahan perbuatan tertentu dan mendorong dilakukannya perbuatan tertentu,

(+) penyediaan fasilitas bagi rencana-rencana privat,

(+) penyediaan servias dan pembagian kembali barang-barang

(+) penyelesaian perselisihan di luar jalur reguler.

Fungsi langsung yang bersifat sekunder, mencakup:

(+) prosedur perubahan hukum, meliputi antara lain:

constitution making bodies,

parliements,

local authorities

administrative legislation

custom

judicial law-making

regulations made by independent public bodies

dan lain-lain

(+) prosedur bagi pelaksana hukum

Fungsi Tidak Langsung

Termasuk di dalam fungsi hukum yang tidak langsung ini adalah memperkuat atau memperlemah kecenderungan untuk menghargai nilai-nilai normal tertentu, sebagai contoh:

  1. kesucian hidup
  2. memperkuat atau memperlemah penghargaan terhadap otoritas umum,
  3. mempengaruhi perasaan kesatuan nasional
  4. dan lain-lain.

Selain cara pandang yang digunakan Raz, kita juga dapat membedakan fungsi hukum dengan pembedaan berikut ini:

Fungsi hukum sebagai “a tool of social control”

Menurut Ronny Hantijo Soemitro (1984:134):

Kontrol sosial merupakan aspek normatif dari kehidupan sosial atau dapat disebut sebagai pemberi definisi dari tingkah laku yang menyimpang serta akibat-akibatnya seperti larangan-larangan, tuntutan-tuntutan, pemindanaan dan pemberian ganti rugi.

Dari apa yang dikemukakan oleh Prof. Ronny di atas, kita dapat menangkap isyarat bahwa hukum bukan satu-satunya alat pengendali atau pengontrol sosial. Hukum hanyala salah satu alat kontrol sosial dalam masyarakat.

Fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial dapat diterangkan sebagai fungsi hukum untuk menetapkan tingkah laku mana yang dianggap merupakan penyimpangan terhadap aturan hukum, dan apa sanksi atau tindakan yang dilakukan oleh hukum jika terjadi penyimpangan tersebut.

Olehnya itu Ronny (1984: 143) menuliskan bahwa:

“Tingkah laku yang menyimpang merupakan tindakan yang tergantung pada kontrol sosial. Ini berarti kontrol sosial menentukan tingkah laku yang bagaimana yang merupakan tingkah laku yang menyimpang. Makin tergantung tingkah laku itu pada kontrol sosial makin berat nilai penyimpangan pelakunya. Berat ringannya tingkah laku menyimpang itu tergantung …….”

Lain lagi dengan JS. Rouceek (1951: 31) yang menyatakan:

“Mekanisme pengendalian sosial (mechanisme of social control) ialah segala sesuatu yang dijalankan untuk melaksanakan proses yang direncanakan maupun yang tidak direncanakan untuk mendidik, mengajak atau bukan memaksa para warga agar menyesuaikan diri dengan kebiasaan-kebiasaan dan nilai-nilai kehidupan masyarakat yang bersangkutan”.

Jika kita ingin membuat suatu simpulan dari apa yang diuraikan di atas tentang hukum sebagai pengendalian sosial, penulis dapat menyatakan bahwa:

  1. Fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial, tidaklah sendirian di dalam masyarakat, melainkan menjalankan fungsi itu bersama-sama dengan pranata-pranata sosial lainnya yang juga melakukan fungsi pengendalian sosial
  2. Fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial merupakan fungsi “pasif” di sini artinya hukum yang menyesuaikan diri dengan kenyataan masyarakat.

Meskipun demikian ada pakar yang ingin memberi pengertian yang lebih luas dari fungsi hukum selaku alat pengendalian sosial, salah satunya Bronishlaw Malinowski.

Malinowski antara lain berusaha menghilangkan kesan seolah-olah hukum hanya terdiri dari unsur paksaan, tersirat dari tulisannya yang mengemukakan bahwa (1959:55):

“The role of law stand out trom the rest in that they are felt and regarded as the obligations of one person and the rightfull claims of another. They are sanetioned not by a mere psychological motive, but by a definite social machinery of binding force, based… upon mutual dependence, and realized in the equivalent arrangement f recviprocal services”.

Sehubungan dengan fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial ini, masih ada hal lain menurut penulis yang sangat perlu diketahui, yaitu:

  1. Fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial, dapt dijalankan oleh suatu kekuasaan terpusat yang dewasa ini berwujud kekuasaan negara, yang dilaksanakan oleh “the ruling class” tertentu atau suatu “elit” hukumnya biasanya berwujud hukum tertulis atau perundang-undangan.
  2. Fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial, dapat juga dijalankan sendiri “dari bawah” oleh masyarakat itu sendiri. Hukumnya biasa terwujud tidak tertulis atau hukum kebiasaan.

Terlaksana atau tidak terlaksananya fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial, ditentukan oleh dua hal:

  1. faktor aturan hukumnya sendiri
  2. faktor pelaksana (orang) hukumnya

Fungsi hukum sebagai “ a tool of social engineering”

Konsep hukum sebagai “ a tool of social engineering” selama ini dianggap sebagai suatu konsep yang netral, yang dicetuskan oleh Roscoe Pound.

Konsep “a tool of social engineering” ini bisa diperhadapkan dengan konsep hukum yang lain, antara lain konsep yang diajarkan oleh aliran historis dari Friederich Karl von Sabigny.

Aliran historisnya Sabigny berpendapat bahwa hukum merupakan ekspresi dari kesadaran hukum, dari “volksgeist”, dari jiwa rakyat. Hukum pada awalnya lahir dari kebiasaan dan kesadaran hukum masyarakat, kemudian dari putusan hakim, tetapi bagaimanapun juga diciptakan oleh kekuatan-kekuatan dari dalam yang bekerja secara diam-diam, dan tidak oleh kemauan sendiri legislatif. Konsep hukum aliran historis ini, jika dikaitkan dengan masyarakat-masyarakat yang masih sederhana, memang masih tepat, karena dalam masyarakat yang masih sederhana tidak terdapat peranan legislatif, seperti pada masyarakat modern saat ini. Peranan hukum kebiasaanlah yang menonjol pada masyarakat sederhana.

Berhadapan dengan konsep aliran historis ini, maka Roscoe Pound mengemukakan konsep “a tool of social engineering” yang memberikan dasar bagi kemungkinan ditemukannya hukum secara sadar  untuk mengadakan perubahan masyarakat.

Pengertian “a tool of social engineering” atau “sosial engineering by law” dikemukakan oleh Soerjono Soekamto (1977: 104-105): “… hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat, dalam arti bahwa hukum mungkin dapat digunakan sebagai alat oleh agent of change. Dan agent of change atau pelopor perubahan adalah seseorang atau kelompok yang mendapat kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan. Pelopor perubahan memimpin masyarakat dalam mengubah sistem sosial dan di dalam melaksanakan hal itu langsung tersangkut dalam tekanan-tekanan untuk mengadakan perubahan, dan bahkan mungkin menyebabkan perubahan-perubahan pula pada lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya. Suatu perubahan sosial dikehendaki atau direncanakan, selalu berada di bawah pengendalian serta pelopor perubahan tersebut”.

Cara-cara untuk mempengaruhi masyarakat dengan sistem yang teratur dan direncanakan terlebih dahulu, dinamakan “social engineering” atau “planning”.

Roscoe Pound sendiri (dalam Satjipto Rahardjo 1979: 148-149) memberikan gambaran tentang apa yang sebenarnya diinginkan dan apa yang tidak diinginkan oleh penggunaan hukum sebagai “alat rekayasa sosial”, sebagai berikut:

  1. Mempelajari efek sosial yang nyata dari lembaga-lembaga serta ajaran-ajaran hukum
  2. Melakukan studi sosiologis dalam rangka mempersiapkan perundang-undangan. Membuat undang-undang dengan cara membanding-bandingkan selama ini dianggap sebagai cara bijaksana. Namun demikian adalah tidak cukup jika kita hanya membanding-bandingkan satu peraturan dengan yang lain-lain. Hal yang lebih penting lagi adalah untuk mempelajari bagaimana ia beroperasi di masyarakat serta efek yang ditimbulkannya apabila ada, untuk kemudian dijalankan.
  3. Melakukan studi tentang bagaimana membuat peraturan-peraturan hukum menjadi efektif. Selama ini tampak orang  menganggap apabila peraturan sudah dibuat, maka ia akan bekerja dengan sendirinya. Suatu studi yang serius tentang bagaimana membuat peraturan-peraturan perundang-undangan serta keputusan pengadilan yang demikian banyak itu menjadi efektif, merupakan suatu keharusan.
  4. Memperhatikan sejarah hukum, yaitu bahwa studi itu tidak hanya mengenai bagaimana ajaran-ajaran itu terbentuk dan mengenai bagaimana ajaran-ajaran itu berkembang yang kesemuanya dipandang sekadar sebagai bahan kajian hukum, melainkan tentang efek sosial apa yang ditimbulkan oleh ajaran-ajaran hukum itu pada masa lalu dan bagaimana cara timbulnya. Studi itu adalah untuk menunjukkan bagaimana hukum pada masa lalu itu tumbuh dari kondisi sosial, ekonomi dan psikologis, bagaimana  ia menyesuaikan diri kepada semuanya itu, dan seberapa jauh kita dapat mendasarkan atau mengabaikan hukum itu guna mencapai hasil yang kita inginkan.
  5. Pentingnya melakukan penyelesaian individual secara ketemu nalar selama ini masih sering dikorbankan demi mencapai suatu tingkat kepastian yang sebetulnya tak mungkin (aliran ini) menerima kehadiran peraturan hukum sebagai pedoman yang umum bagi para hakim yang akan menuntunnya ke arah hasil yang adil, tetapi mendesak agar dalam batas-batas yang cukup luas hakim harus bebas untuk mempersoalkan kasus yang dihadapinya, sehingga dengan demikian, bisa memenuhi tuntutan keadilan diantara pihak-pihak yang bersengketa dan bertindak sesuai nalar yang umum dari orang awam itu.
  6. Pada akhirnya, semua tuntutan tersebut di atas hanyalah sarana-sarana untuk mencapai suatu tujuan, yaitu tentang bagaimana mengusahakannya secara lebih efektif agar tercapai tujuan-tujuan itu.

Penulis sendiri berpendapat bahwa sebelum menggunakan hukum sebagai “a tool of social engineering”, terlebih dahulu harus diperhatikan berbagai aspek non hukum ada nantinya peraturan hukum yang dibuat dan dipergunakan itu mencapai tujuan sesuai yang menjadi sasarannya. Kalau tidak, mungkin hal sebaliknya yang bakal terjadi. Untuk itu kita perlu memperhatikan empat asas utama bagi penggunaan metode “law as a tool of social engineering” agar efektifitas peraturan yang dibuat mencapai hasil yang maksimal. Keempat asas utama itu digambarkan oleh Adam Kock Gorectky (dalam Schuty 1971: 54) sebagai berikut:

  1. Menguasai dengan baik situasi yang dihadapi
  2. Membuat suatu analisis tentang penilaian-penilaian yang ada serta menempatkan dalam suatu urutan hierarki. Analisis dalam hal ini mencakup pula asumsi mengenai apakah metode yang akan digunakan tidak akan menimbulkan suatu efek yang memperburuk keadaan.
  3. Melakukan verifikasi hipotesis-hipotesis seperti apakah suatu metode yang dipikirkan untuk digunakan pada akhirnya nanti memang akan membawa kepada tujuan sebagaimana yang dikehendaki.
  4. Pengukuran terhadap efek perundang-undangan yang ada.

Penulis sendiri menyetujui “social engineering” dengan istilah rekayasa sosial, dan selanjutnya kita akan menggunakan istilah tersebut.

Penggunaan atau pemfungsian hukum sebagai alat rekayasa sosial hanya dimungkinkan dalam wujud sistem hukum modern yang lebih banyak menggunakan aturan hukum tertulis alias peraturan, yang lebih banyak mengandalkan derajat kepastian pada sifat tertulisnya peraturan tersebut. Hal ini nanti akan kita lihat perbedaannya dengan sistem hukum Anglo Sakson yang mengandalkan kepastian pada keterikatan pada preseden.

Apakah yang dimaksud dengan “sistem hukum modern”? penulis akan mengemukakan dua ciri modern, masing-masing dikemukakan oleh Marcgalanter (dalam Myron Meiner1981: 101 dan seterusnya) serta oleh David M. Trubek (1972: 4-10).

Ciri hukum menurut Galanter, dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Hukum yang modern terdiri dari berbagai aturan yang diterapkan dengan cara yang tidak berbeda-beda dimana-mana, berlakunya aturan-aturan itu bersifat territorial dan tidak bersifat pribadi.
  2. Perundang-undangan modern bersifat transaksional. Hak dan kewajiban diberikan secara berbanding menurut hasil-hasil transaksi (yang berupa kontrak-kontrak, kerugian-kerugian dan lainnya). Antara pihak yang satu dengan pihak lainnya dan tidak terhimpun secara tak berubah-ubah pada seseorang karena faktor-faktor di luar transaksi, seperti umur, kelas, agama, kelamin.
  3. Kaidah-kaidah hukum modern adalah universalistik
  4. Sistem-sistem ini bersifat hierarkis
  5. Sistem ini diatur secara birokratik
  6. Sistem ini bersifat rasional
  7. Sistem ini dijalankan oleh para yuris
  8. Sistem ini menjadi lebih bersifat teknis dan komplek, dan timbullah perantara-perantara profesional yang khusus menghubungi orang-orang mahkamah dengan orang-orang  yang harus berhubungan dengannya
  9. Sistem ini dapat diubah
  10. Sistem ini bersifat politik
  11. Tugas membuat undang-undang dan menerapkannya ke dalam keadaan yang bersifat teknis dan pejabat-pejabatnya dibedakan dari fungsi-fungsi pemerintahan lainnya. Ada pemisah antara legislatif, eksekutif dan yudikatif secara jelas.

David M. Trubek mengemukakan tiga ciri pokok hukum modern, yaitu :

  1. merupakan sistem peraturan
  2. merupakan suatu bentuk tindakan manusia yang dilakukan dengan penuh kesengajaan
  3. merupakan bagian sekaligus otonom terhadap negara

Tanggapan yang menarik tentang penggunaan hukum sebagai rekayasa sosial dikemukakan oleh Daniel S. Lev (dalam Erman Rajagukguk, 1983: 72) yang menuliskan bahwa, membicarakan hukum sebagai rekayasa sosial itu berarti memberikan kekuasaan yang amat penuh kepada pemerintah.

Selanjutnya penulis ingin mengemukakan beberapa contoh dampak positif maupun dampak negatif dari penggunaan hukum dalam fungsi rekayasa sosial.

Contoh dampak positif penggunaan hukum sebagai rekayasa sosial antara lain:

  1. Putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat pada tahun 1954 yang menetapkan bahwa orang kulit hita harus dipersamakan dengan orang kulit putih.
  2. Undang-undang dan peraturan-peraturan lain mengenai lingkungan hidup.
  3. Dan sebagainya.

Dampak negatif dari penggunaan hukum sebagai rekayasa sosial adalah yang hanya membawa keuntungan bagi sebagian kecil warga masyarakat dunia, tetapi justru merugikan sebagian besar warga masyarakat lainnya. Dampak negatif ini terlihat antara lain:

  1. Peraturan yang dibuat oleh negara yang sedang berkembang yang sering pula diikuti kampanye untuk mengubah cara-cara petani mengelola pertaniannya dari cara tradisional menjadi cara-cara modern, dari data yang dikutip oleh Rudolf H. Strahm (1983: 92-93), terbukti mempunyai dampak yang merugikan baik dilihat dari segi ekologi maupun ekonomi. Pertanian di kawasan Amerika Utara memang sangat tinggi taraf prestasinya dan memberi hasil bahan pangan yang sangat banyak tiap hektar. Tetapi dilihat dari sudut pertimbangan biaya dan kebijaksanaan energi, usaha pertanian itu tidak layak dijadikan teladan bagi negara-negara sedang berkembang pada umumnya. Di Amerika Serikat, pengerahan energi teknik dalam wujud pupuk, mesin, bahan pemberantas hama perusak, serta pengairan bertakaran sebanyak 90 liter minyak bumi untuk tiap hektar lahan pertanian, dilihat dari sudut pengerahan energi teknik ini, untuk menghasilkan satu gelas susu diperlukan pengerahan energi (tanpa energi matahari).
  2. Demi suksesnya program Keluarga Berencana, Bupati Sukaharjo telah menganjurkan supaya instansi yang ada di Kabupatennya tidak memberikan izin cuti hamil bagi ibu-ibu yang menantikan kelahiran anak keempat. Ide baru ini diucapkan di depan kepala dinas dan jawatan se kabupaten Sukaharjo Jawa Tengah. Anjuran Bupati tersebut jelas merupakan anjuran yang ingin mengubah kebiasaan warga masyarakat di daerahnya ke arah terlaksananya program keluarga berencana, suatu rekayasa sosial sesuai pikiran bupati tersebut, tetapi dapat membahayakan kesehatan ibu-ibu yang hamil, bahkan tidak mustahil berakibat yang lebih fatal, misalnya terjadi abortus dari ibu-ibu hamil. Belum lagi jika bupati tersebut sampai digugat  ganti rugi dalam hal terjadi kecelakaan atau gangguan kesehatan dari ibu hamil.

Sebagai bahan pertimbangan untuk melaksanakan hukum sebagai rekayasa sosial, seyogyanya kita memperhatikan pandangan Daniel S. Lev bahwa:

  1. Di setiap masyarakat tentu ada cita-cita yang baik, tetapi juga ada kepentingan dalam masyarakat. Semua pihak dapat mengatakan mempunyai tujuan yang adil dan benar, tetapi kadang-kadang kata-kata semacam itu digunakan untuk menyelimuti ketidakadilan.
  2. Dan siapa yang menentukan apa yang adil dan apa yang tidak adil? Contohnya di Amerika, orang-orag yang berkuasa di masyarakat sudah lama menentukan apa yang adil dan apa yang tidak adil untuk minoritas di Amerika (suku Indian, Negro, dan orang Meksiko), tetapi mereka sendiri tidak mempunyai kesempatan untuk mengatakan apa yang adil atau yang tidak buat mereka.
  3. Di Amerika mudah dikatakan bahwa hukum menjamin semua orang secara sama, padahal kenyataannya tidak demikian. Negro dan minoritas yang lain tidak diperlakukan sama seperti golongan mayoritas (perbandingkan dengan penerapan asas persamaan di zaman nabi Muhammad saw. dimana orang-orang seperti Bilal yang berkulit hitam benar-benar dalam kenyataannya diperlakukan sama).
  4. Mengapa demikian? Letaknya bukan pada faktor hukum, tetapi pada perbedaan ekonomi, politik, keadaan masyarakat. Memang dikatakan hukum itu memberikan kesempatan kepada semua orang, tetapi dalam kenyataannya hukum itu sebagai suatu proses dikontrol oleh golongan yang sangat kuat dan dalam hal ini, dari sudut kepentingan, persoalannya menjadi tidak begitu mudah. Sebagai contoh, hukum menyatakan semua orang mempunyai hak yang sama dengan orang kaya. Untuk mempertahankan kepentingan di pengadilan, jelas dibutuhkan bantuan pengacara, padahal orang-orang miskin sejak dulu hingga kini tidak pernah cukup dalam realisasinya. Ini merupakan kontradiksi yang bukan main. Apa yang dijanjikan hukum dalam kenyataannya tidak tercapai.
  5. Pandangan terhadap hukum menjadi berbeda diantara hakim, jaksa atau penasihat hukum misalnya. Kalau ditanyakan kepada mereka, maka mereka masing-masing akan menjawab bahwa kita semua sama, bertujuan untuk mewujudkan keadilan dan kebenaran. Tetapi dalam praktek, tentu tersangkut kepentingan, status, kedudukan atau uang pasti akan terus miskin. Advokat tidak hanya mencari keadilan, tetapi juga membela klien, dan dalam kenyataannya klien itu ada yang bajingan; lantas bagaimana? Begitu juga polisi, hakim, mereka juga mempunyai kepentingan sendiri, selain tugasnya, mereka juga memikirkan kedudukannya. Ini suatu kenyataan manusiawi.
  6. Sesuatu yang sulit dalam hukum ialah seperti dikatakan tadi bahwa hukum merupakan suatu ideologi, suatu yang sempurna. Kalau kita membicarakan hukum, kita tidak mau membicarakan yang kotor-kotor itu, padahal yang kotor-kotor itu merupakan bagian dari sistem. Kalau kita tahu manusia itu tidak sempurna, maka di dalam stelsel hukum harus diadakan jaminan supaya ketidaksempurnaan itu dapat dikurangi. Kalau jaksa, misalnya mengatakan ia hanya mencari kebenaran, tetapi kita tahu ada jaksa yang meminta uang, kita harus mengadakan jaminan mencegah hal yang semacam itu”.

Pandangan Daniel S. Lev di atas adalah sangat faktual dan realistis itulah sebabnya sehingga penulis mensitirnya.

Terakhir yang penting kita ketahui dalam fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial, adalah bahwa terjadinya perubahan sosial tidak mungkin semata-mata dilakukan oleh hukum, sehingga kalau kita ingin melihat sudut kemampuan hukum untuk melakukan suatu “initial push” (istilah dari Arnold M. Rose). Terjadinya perubahan sosial melalui suatu proses yang cukup kompleks serta tidak merupakan hasil hubungan yang langsung antara suatu faktor tertentu dengan suatu kejadian. Kompleksitas ini misalnya ditunjukkan melalui kemampuan suatu akibat untuk juga mempengaruhi dan memodifikasi penyebabnya.

Jadi peranan hukum yang diharapkan sebagai alat untuk mengubah masyarakat sebagai alat rekayasa sosial, tidak lain menempatkan hukum itu sebagai motor yang nantinya akan menyebarkan dan menggerakkan ide-ide yang ingin diwujudkan oleh hukum tersebut. Jadi bekerjanya hukum bukan hanya merupakan fungsi perundang-undangan belaka, melainkan juga akitivitas birokrasi pelaksanaannya.

Di dalam memfungsikan hukum sebagai alat rekayasa sosial, di bidang legislatif hendaknya jangan sampai memproduk “a sweeping legislation”. Yang dimaksud sebagai “a sweeping legislation” oleh Gubernur Myrdal ini adalah suatu produk legislatif yang pembuatannya dilakukan secara tergesa-gesa, tanpa memperhatikan faktor non hukum, sehingga kelak produk legislatif itu tidak efektif setelah diberlakukan.

Fungsi hukum sebagai simbol

L.B. Curzon (1979: 44) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan simbolis adalah

“Involves the process whereby persons consider in simple term the social relationships and other phenomena arising from their interaction…”

Tampaknya apa yang dikemukakan oleh Curzon di atas dapat penulis setujui, karena memang simbolis itu mencakupi proses-proses dalam mana seseorang menerjemahkan atau menggambarkan atau mengartikan dalam suatu istilah yang sederhana tentang perhubungan sosial serta fenomena-fenomena lainnya yang timbul dari interaksinya dengan orang lain. contohnya dalam hukum: seseorang yang mengambil barang orang lain dengan maksud memiliki, dengan jalan melawan hukum, oleh hukum pidana disimbolkan sebagai tindakan pencurian yang seyogyanya dihukum. Mungkin karena itulah, sehingga Barkun M. (law without sanction, 1986: 13) menuliskan bahwa hukum itu tidak lain adalah:

“as that system of manipulable symbols that functions as a representations, as a model of social structure”.

Dalam kaitan dengan fungsi hukum sebagai simbol, menarik untuk mengetahui apa yang dikemukakan oleh Arnold (Curzon, 1979: 44) bahwa

“…that the greatest strength of the law may be its escape from reality, that is, its abstract, symbolic nature and from. Abstract ideals … need tor their acceptance symbolic conduct by institution. The prosedures of the court (ceremonies), their dramatic presentation of symbolic inter-action within society, are examples of the ideals of the law “made concrete” in relatively simple comprehensible terms”.

Fungsi hukum sebagai “a political instrument”

Hukum dan politik memang sulit dipisahkan, khususnya hukum tertulis mempunyai kaitan langsung dengan negara. Karena itulah Curzon menyatakan bahwa:

“The close connections between law dan politics, between legal principles and the institution of the law, between political ideologies and government institutions are obvius…”.

Sejauhmana hukum itu dapat dijadikan sebagai alat politik? Pandangan kaum dogmatik adalah bahwa fungsi hukum sebagai alat politik tidak merupakan gejala universal, melainkan hanya ditemukan pada negara-negara tertentu dengan sistem tertentu. Mereka menganggap konsep negara hukum melarang hukum dijadikan sebagai alat politik, merupakan hal yang universal. Apalagi jika dikaitkan dengan fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial, maka peranan penguasa politik terhadap hukum adalah sangat besar.

Dalam sistem hukum kita di Indonesia, undang-undang adalah produk bersama DPR dan pemerintah. Kenyataan ini tak mungkin disangkal betapa para politisilah yang memprodukkan undang-undang (hukum tertulis).

Pandangan bahwa hukum tak mungkin dipisahkan sama sekali dari politik, bukan hanya pandangan juris yang beraliran sosiologis, tetapi bahkan pencipta ‘the pure theory of law”, Hans Kelsen, yang antara lain mengemukakan (dikutip dari Purnadi dan Soerjono, 1983: 12) bahwa:

(Pemisahan poitik secara tegas sebagaimana dituntut oleh ajaran murni memang hukum, hanya berkaitan dengan ilmu hukum, dan bukan dengan obyeknya yaitu hukum. Dengan tegas dikatakan hukum tidak dapat dipisahkan dengan politik).

Bagi penulis sendiri memang berpendapat demikian, hukum tak mungkin dipisahkan dengan politik. Terutama pada masyarakat yang sedang membangun, dimana pembangunan tidak lain merupakan keputusan politik, sedangkan pembangunan jelas membutuhkan legalitas dari sektor hukum.

Kaum dogmatik melihat hukum sebagai alat politik bukan hal yang bersifat universal. Mereka memberi contoh di negara-negara mana saja hukum dijadikan sebagai alat politik, yaitu di dalam sistem hukum Marxis, konsep hukum didasarkan pada asas-asas dari peran pengadilan sebagai konsolidator dan pembela tata politik. Hal itu mudah dimengerti jika kita sempat membaca definisi hukum dari Shebanov (Curzon, 1979: 44) bahwa:

“In socialist countries a law is a basic legal instrument for resolving political problem and an important tool tor economic and cultural development, for insuring the internal and external security of the state, for the protection of socialist property and for the expansion and consolidation of socialist democracy”.

Menurut penulis, pandangan Shebanov yang mengatakan bahwa di dalam negara-negara sosialis dan untuk mengekspansi serta mengkonsolidasikan demokrasi sosialis; keseluruhannya itu tidak lain adalah wujud dari totaliter yang diselubungi dengan istilah demokrasi. Bagi penulis, pernyataan Shebanov dapat dianggap sebagai pencerminan masyarakat komunis dimana hukumnya bukan dianggap sebagai pencerminan masyarakat komunis dimana hukumnya bukan sekadar alat politik, tetapi hukumnya ditindas oleh politik untuk melakukan apa yang diinginkan oleh pemerintah komunis tersebut. Dalam hal ini kita harus membedakan antara penggunaan hukum sebagai alat politik dalam arti yang wajar, dan penindasan hukum oleh politik untuk melakukan kesewenang-wenangan seperti yang dilakukan oleh pemerintah otoriter dan komunis.