Benturan Islam dengan Barat dalam Memandang HAM – Untuk meyakinkan bahwa HAM adalah sebuah konsep yang universal dan sangat prinsip bagi kemanusiaan, tentu, bukanlah persolana sederhana. Meskipun seperti telah banyak dikatakan persoalan partikularitas HAM telah dianggap final baik secara teoritis ataupun praksisnya. Tapi benturan itu terus saja terjadi, tidak terkecuali antara Islam melawan barat. Seperti yang telah dilakukan oleh An Naim dan sahabat-sahabatnya dalam menjelaskan konsep HAM korelasinya dengan Islam. Kontribusi itu adalah sebuah upaya membangun reinterpretasi (reunderstanding) terhadap ajaran Islam itu.
Diakui atau tidak bahwa agama manapun tentu mempunyai nilai-nilai ajaran yang luhur yang sangat humanis dan berkeadilan. Hanya saja terkadang, dalam melakukan proses interpretasi itu tidak jarang terjadi ketegangan (tention) antara apa seharusnya dan apa yang terjadi. Atau meminjam istilah Arkoun mana unthought dan mana yang untikable.
Seperti yang dijelaskan an Naim bahwa di dalam Islam (baca; konsep syariahnya) ada banyak interpretasi yang deskriminasi dan jelas melanggar konsep HAM standar internasional itu, terutama yang menyangkut persoalan perbudakan dan diskriminasi gender dan agama. Bagi an Naim, sebenarnya tidak ada persoalan mengenai konsep HAM yang tercetu dalam declaration of human rights itu dengan ajaran syariah, seandainya interpretasi yang dilakukan tepat dan kontekstual. Dengan mengikuti pendapat ustaznya, Mahmoud Mohammad Taha, bahwa konsep HAM itu harus dilakukan pada dua elemen yaitu kehendak untuk hidup dan kehendak untuk bebas. Dua elemen inilah yang harus dijadikan standarisasi dalam melakukan resiprositas untuk membangun dasar-dasar lintas bagi universalitas hak asasi manusia.
Karena hak asasi manusia adalah cita-cita ideal dan merupakan suatu yang inheren dalam diri manusia, maka isu-isu awal yang berkembang dalam Islam seperti perbudakan minoritas ataupun juga diskriminasi gender adalah isu yang terutama dua yang terakhir mendapat porsi yang luar biasa dalam setiap wacana. Di dalam Islam dikenal konesp tentang dhimmah bagi non muslim. Sistem ini, menurut sumber syariah otoritatif, merupakan sistem yang mentolerir komunitas non muslim menurut sumber dinegara Islam dengan adanya jaminan perlindungan atas diri dan hartanya, hak untuk mengamalkan agamanya, dan mendapatkan otonomi komunal tertentu, dan sebagai ganjarannya mereka harus membayar jizyah. Menurut sistem dhimmah, non muslim tidak diperbolehkan bertugas dalam angkatan bersenjata sebuah negara Islam. Dalam administrasi peradilan pidana, kesaksian seorang saksi non musli tidak diterima, dan kompensasinya uang yang dibayarkan atas pembunuhan yang melawan hukum atas korban yang non muslim lebih kecil dari pada kompensasi atas pembunuhan yang korbannya muslim.
Terhadap persoalan gender, hak-hak perempuan dalam partisipasinya di wilayah publik, kebebasan ruang gerak dan kebebasan berorganisasi sangat dibatasi melalui kombinasi prinsip syariah mengenai qawwama (perlindungan laki-laki atas perempuan), hijab dan pemisahan laki-laki dan perempuan. Perempuan juga didiskriminasikan dalam administrasi peradilan. Sebagai contoh, kesaksian yudisial perempuan direndahkan menjadi separuh dari nilai kesaksian laki-laki, dan banyak lagi.
Negara-negara yang Menjadi Contoh Perbandingan HAM
Negara Islam
Naskah final deklarasi ini yang terdiri dari 25 pasal dirumuskan pda tahun 1990 sesudah perundingan dalam organisasi konferensi Islam selama tiga belas tahun. Hak yang dirumuskan kebanyakan bersifat hak ekonomi. Hal lain adalah bahwa semua individu adalah sama dimuka hukum (pasal 19).
Ditentukan pula bahwa keluarga merupakan dasar masyarakat; perempuan sama dengan laki-laki dalam martabat manusia hak cita hidup dijamin, hidup adalah karunia Tuhan dan dijamin untuk semua manusia, pekerjaan adalah hak yang dijamin oleh negara, begitu pula hak atas pelayanan medis serta sosial dan kehidupan yang layak menyediakan pendidikan merupakan kewajiban dari masyarakat.
Negara barat
Dalam perkembangan berikutnya terjadi perubahan dalam pemikiran mengenai hak asasi, antara lain karena terjadinya depresi besar sekitar tahun 1929 hingga 1934, yang melanda sebagian besar dunia. Depresi ini, yang mulai di Amerika dan kemudian menjalar ke hampir seluruh dunia, bredampak luas. Sebagian besar masyarakat tiba-tiba ditimpa pengangguran dan kemiskinan.
Dalam suasana itu presiden Amerika Serikat, Roosevlet pada 1941 merumuskan empat kebebasan, yaitu kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat, kebebasan beragama, kebebasan dari ketakutan, dan kebebasan dari kemiskinan. Kemudian proses terjadinya negara kesejahteraan di negara-negara barat telah berjalan sebagai sesuatu yang sudah sawajarnya, tanpa secara formal mengacu pada rumusan internasional mengenai hak asasi ekonomi. Maka dari itu, tidak mengherankan jika banyak negara barat, terutama Amerika Serikat, berkeberatan jika hak-hak asasi manusia dibidang ekonomi terlalu ditonjolkan. Sebaliknya, hak yang bersifat politik di negara-negara Eropa barat merupakan hasil perjuangan panjang melawan tirani, dan telah berhasil mewujudkan demokrasi dan gaya hidup yang cukup tangguh. Dapat dikatakan bahwa hak politik lebih berakar dalam tradisi masyarakat barat ketimbang hak ekonomi. Benturan Islam dengan Barat dalam Memandang HAM