Setelah melihat Sistem Hukum pada Turki Usmani, kini kita akan melihat lebih banyak tentang proses perkembangan pemikiran hukum Islam pada zamannya. Pada awal periode Usmani ditandai dengan penyusunan basis kekuasaan, perluasan wilayah dan kehancuran sementara akibat serangan mongol. Lalu Usmani lagi meluaskan sayap kekuasaannya.
Puncak kejayaan Usmani terjadi pada masa kepemimpinan Sulaiman I (1520-1566), wilayah-wilayah Eropa berhasil di rebut. Di samping itu, Sulaiman juga membuat peraturan perundang-undangan dalam mengatur kenegaraan di Usmani.
Proses Perkembangan Pemikiran Hukum Islam Pada Masa Turki Usmani
Pada masa ini hukum yang dipakai di masyarakat bukan hanya fikhi melainkan juga keputusan khalifah atau sultan terhadap sengketa atau perselisihan yang terjadi diantara anggota masyarakat. Selain itu, ada juga keputusan yang diambil dari rapat majelis legislative sebagai al-Sulthan al-Tasyri’iyah dan disetujui oleh khalifah. Bentuk yang pertama di sebut Idarah Saniyah, sedangkan bentuk yang kedua disebut Qanun. Karena besarnya perhatian khalifah ini terhadap perundang-undang, maka ia digelar dengan Sulaiman al-Qanuni.
Namun setelah Sultan Sulaiman al-Qanuni wafat 1566, kerajaan Turki Usmani mengalami kemunduran, Turki Usmani mengalami kekalahan-kelahan dari Eropa semakin kuat. Untuk mengatasi keadaan itu, sebagian intelektual Turki Usmani berusaha mengadakan pembaharuan di bidang hukum dan perundang-undangan. Mereka berpandangan bahwa kerajaan Turki Usmani mundur karena pemerintahan yang absolut dan tidak adanya peraturan atau undang-undang yang mengatur dan menjamin kehidupan sosial. Oleh karena itu, upaya menyelamatkan Turki Usmani dari kehancuran adalah dengan menciptakan peraturan perundang-undangan. Menurut mereka, karena peradaban Barat lebih teratur dan lebih maju, maka penciptaan undang-undang tersebut haruslah mengacu kepada Barat. Pada periode mereka inilah (1839-1880) diciptakan berbagai macam undang-undang baru.
Awal usaha kelompok ini lahirlah gerakan Tanzimat dengan dikeluarkannya Piagam Gulhane pada 1839. Tujuan piagam ini adalah menjamin seluruh hak lapisan masyarakat dalam kerajaan Turki Usmani. Tahun 1856 lahir pula piagam Humayyun yang selain memperkuat kedudukan piagam Gulhane juga berisi peraturan untuk meningkatkan status dan kedudukan warga negara non muslim di Kerajaan Turki Usmani. Piagam Humayyun ini lahir karena desakan negara-negara Barat yang berhasil mengalahkan Turki Usmani dalam beberapa pertempuran. Secara berturut-turut-turut lahirlah undang-undang lain yang banyak dipengaruhi oleh hukum negara Barat, terutama hukum Prancis dan Italia. Pada tahun 1858 diumumkan hukum tanah dan hukum pidana, pada tahun 1861 dab 1863 keluar pula undang-undang hukum peradilan dagang dan hukum laut. Sejak itulah peraturan-peraturan yang bertalian dengan masalah hukum satu demi satu dilepaskan dari hukum Islam.
Para pemuka Tanzimat juga berupaya mengadakan sekularisasi terhadap hukum perdata. Mereka ingin menerapkan Undang-undang hukum perdata yang diadopsi dari hukum sipil Prancis. Upaya ini menimbulkan reaksi keras dari kalangan ulama. Diantara yang paling keras menentang adalah Jawdat Pasha (1822-1895). Menurut Jawdat, agama dan budaya rakyat Turki Usmani adalah satu. Oleh karena itu, orang-orang Turki Usmani tidak dapat menciptakan lembaga-lembaga sosial yang menolak hukum Islam. Menggantikan hukum Islam yang sudah mengakar dalam masyarakat Turki Usmani sama artinya dengan menghancurkan kerajaan tersebut. Hukum perdata yang akan diterapkan dalam masyarakat Turki haruslah berdasarkan syariah Islam, karena Islam adalah kenyataan yang tak terbantahkan dalam masyarakat Turki Usmani.
Akhirnya pemerintah menetapkan hukum perdata yang hendak disusun haruslah berdasarkan syariat dengan merumuskan kodifikasi hukum yang bernama Majallah al-Ahkam al-‘Adliyah pada tahun 1876 (26 Sya’ban 1294). Walaupun hanya memuat sebagian dari hukum perdata dan peradilan keberadaan Majallah al-Ahkam al-‘Adliyah ini telah membendung upaya penyerapan hukum-hukum Barat terhadap masyarakat Turki Usmani yang dilakukan oleh kelompok Tanzimat. Kitab inilah yang diterapkan dan dilaksanakan dalam peradilan Usmani. Dengan demikian para ahli hukum memiliki keseragaman dalam rujukan untuk memutuskan perkara perdata yang mereka tangani. Hal ini berarti pengisian yurisprudensi Islam pada masa itu.
Majallah al-Ahkam al-‘Adliyah dipakai dalam kerajaan Turki Usmani hingga akhirnya Mustafa Kemal Attaturk (1881-1938) menghapuskan kekhalifahan tersebut dan menggantikannya dengan Republik Turki Usmani pada tahun 1924 sebagai bagian dari upaya sekularisasi yang dicanangkannya. Mustafa Kemal melenyapkan keberadaan Islam dalam pranata sosial. Salah satu usahanya adalah pada tahun 1926 ia menghapus hukum Islam dalam keperdataan dan menggantikannya dengan hukum sipil yang diadopsi dari undang-undang Swiss. Dengan demikian, Majallah al-Ahkam al-‘Adliyah tidak digunakan lagi sebagai Kitab undang-undang hukum perdata.
Di bawah kepemimpinan Kemal, republik baru mulai mengadakan serangkaian reformasi rakyat radikal yang bertujuan untuk mengubah Turki menjadi negara sekuler modern. Para pendukung gerakan Kemal berusaha untuk membatasi peran agama hanya sebagai sistem kepercayaan privat, yang terpisah dari ruang publik. Hukum pidana baru yang berdasarkan model Swiss mulai diadopsi. Pengadopsian ini menandai berakhirnya hubungan hukum negara dengan syariah sekaligus dimulainya pengenalan undang-undang pernikahan dan perceraian sipil. Pada akhirnya Islam tidak lagi dianggap sebagai agama resmi negara. Proses Perkembangan Pemikiran Hukum Islam Pada Masa Turki Usmani.
Anda ingin bersedekah? Klik ke web masjid kami Masjid Miftahul Jannah.