Proses Perkembangan Pemikiran Hukum Islam Pasca Turki Usmani

Kita telah membahas tentang Sistem Hukum Turki Usmani dan Proses Pemikiran pada Masa Turki Usmani. Kali ini kita akan fokus pada proses pemikiran pasca Turki Usmani.

Pasca Turki Usmani bisa dikatakan sebagai proses pembentukan hukum modern, sesungguhnya terdapat suatu hubungan logis dan tak terpisahkan antara kemodernan dan sekularisme. Sekularisme merupakan gejala mencolok masyarakat modern dan kebudayaan ilmiah yang secara garis besarnya mengacu kepada dua proses yang berbeda namun saling berkaitan. Pertama, sekularisme berarti pemisahan antara negara/politik dan agama. Kedua, dengan keberhasilan rasionalisme yang mencolok dan mapan, di berbagai bidang, kehidupan beragama pada akhirnya kehilangan pengaruhnya, bahkan dalam kehidupan perorangan.

Proses Perkembangan Pemikiran Hukum Islam Pasca Turki Usmani

Sekularisasi sebenarnya mulai tampak sejak masa Turki Usmani, dan itu mencapai puncaknya ketika dibawah kepemimpinan Mustafa Kemal Attaturk. Kemal Attaturk (1881-1938) muncul pada waktu perang dunia pertama untuk  menyelamatkan bangsa Turki modern dan kekhalifahan usmaniyah yang mulai terpecah. Saat itu ia membentuk pemerintahan pada 1920-an, Turki serta merta ditetapkan pada jalan westernisasi.

Memasuki abad modern, dunia Islam yang dipegang oleh Dinasti Usmani, berhadapan dan bergaul dengan peradaban Barat; apalagi kekuasaan kerajaan Usmani meliputi sebagian Benua Eropa. Teknologi yang dimiliki oleh bangsa Eropa akhirnya membelalakan mata orang Usmani bahwa ternyata kekuatan militer orang Islam tidak dapat lagi mengalahkan kekuatan militer mereka. Kekuatan barat yang kian lama kian mengecam kekuasaan Usmani telah menimbulkan opini para pemikir bahwa peradaban Islam telah ketinggalan dari Barat. Itulah sebabnya di penghujung masa pemerintahan Usmani muncul sekularisasi, tidak terkecuali di bidang hukum Islam.

Peradaban barat berlandaskan pada konsep-konsep dan lembaga-lembaga yang asing bagi tradisi Islam. Hukum syari’ah yang dilaksanakan berdasarkan kesetiaan  yang ketat terhadap doktrin yang sudah mapan bertentangan dengan kebutuhan masyarakat Islam. Di sisi lain, mereka melihat bahwa hukum barat berpeluang mengatasi persoalan mereka. Akibatnya hukum syariat dikesampingkan, setidaknya sebagian, diganti dengan hukum yang diilhami barat dalam bidang tertentu yang orang Islam memang harus menyesuaikan diri dengan kondisi modern. Sudah pasti, hukum syariah yang diganti bukan hukum yang mengurusi ibadah (hubungan vertikal antara manusia dengan Allah), tetapi yang mengurusi hubungan sesama manusia.

Ketika Napoleon Banoparte menaklukan Mesir pada tahun 1798, dengan sekuat tenaga ia berusaha agar hukum Prancis dapat diterapkan kepada seluruh masyarakat dan mengesampingkan hukum Islam yang telah berlaku. Akan tetapi usaha ini gagal, karena ia ditarik kembali oleh Prancis. Walaupun gagal, sejak tahun 1840 Hukum Prancis ini mulai dipakai dalam pemerintahan Turki Usmani meskipun masih bercampur dengan hukum Islam. Pada tahun 1924 Turki memberlakukan undang-undang yang menyatakan bahwa negara Turki adalah negara sekuler, bukan negara agama, maka sejak itu hukum Islam tidak diberlakukan lagi. Tindakan ini diikuti oleh India pada tahun 1956. di Mesi pada tahun 1883 diberlakukan hukum Prancis pada pengadilan Campuran dan pada tahun 1955 Pengadilan Agama dihapuskan.

Semenjak akhir abad ke-19, hukum syari’ah yang berlaku di daerah sebagian masyarakat Islam di wilayah kerajaan Usmani hanya terbatas pada bidang keluarga, hukum wakaf, hibah. Kecuali Arab Saudi menjadikan negaranya sebagai negara Islam, hukum yang berlaku adalah hukum fiqhi.

Pemerintah Inggris mulanya mempertahankan hukum syariat di kalangan komunitas muslim. Tetapi memasuki tahun 1862, secara berangsur-angsur, hukum, baik yang mengatur perseorangan maupun orang banyak, harus disesuaikan dengan hukum Inggris, karena para hakim yang terdidik dengan hukum Inggris secara otomatis memperkenalkan hukum Inggris.

Di Indonesia, kendati penduduknya dikenal lebih kurang 90% beragama Islam, tetapi penerapan hukum syariatnya tidak kelihatan ada. Hukum syariat yang berlaku, selain hukum ibadah adalah hukum perkawinan, meliputi talak dan rujuk. Hal ini ditandai dengan terdapatnya pengadilan agama. Secara berangsur-angsur, hukum syariat yang disahkan berlakunya bertambah yaitu hukum waris, wakaf dan hibah. Tampkanya banyak pemikir muslim Indonesia yang melihat bahwa  berlakunya syariat Islam tidak harus ditandai dengan adanya lembaga-lembaga yang berlebel Islam, tetapi cukup dengan terwujudnya masyarakat yang melaksanakan tugas kemanusiaan sesuai dengan tujuan syariat Islam, yaitu keadilan dan kemanusiaan.

Sebagian besar orang Islam Indonesia bermazhab Syafi’i. tentu itu disebabkan karena penyiar Islam ke sini bermazhab Syafi’i. belakangan, setelah kitab-kitab fiqh mazhab non-Syafi’i masuk ke Indonesia, sebagian masyarakat Indonesia mulai menyadari bahwa hukum Islam itu diterapkan di dunia Islam dengan alternatif. Ini mengakibatkan orang Islam tidak fanatik terhadap mazhab tertentu. Artinya, secara berangsur-angsur, mereka yang tadinya merasa benar sendiri, yang lain salah, dapat mengerti bahwa faham keagamaan yang dianutnya bukan kebenaran satu-satunya, tetapi orang Islam dengan pemahaman lain pun berhak mengaku benar.

Hal tersebut di atas menunjukkan kebangkitan kembali pemikiran Islam, sebagai reaksi sikap taklid yang telah membawa kemunduran hukum Islam. Munculnya gerakan baru oleh para ahli hukum Islam yang ingin kembali pada kemurnian ajaran Islam, yaitu Al-Qur’an dan sunah. Dalam rangka kembali kepada hukum Islam yang murni, muncul beberapa peristiwa/gerakan antara lain berikut ini:

  1. Konferensi  Islam Asia Afrika yang diadakan di Bandung pada tahun 1956 dalam salah satu resolusinya adalah menganjurkan agar disusun dan diterbitkan Ensiklopedi Hukum Islam yang  dapat dipergunakan oleh umat Islam sebagai pegangan hidup.
  2. Adanya kecenderungan kuat dan arus yang besar dikalangan umat Islam Timur Tengah, Afrika dan Pakistan untuk  kembali kepada hukum Islam sebagai salah satu identitasnya.
  3. Di Indonesia kerjasama Mahkamah Agung dengan Departemen Agama telah dikompilasikan hukum Islam mengenai perkawinan, kewarisan dan wakaf. Kompilasi ini telah disetujui oleh para ulama dan ahli hukum Islam pada bulan Februari 1988 dan berlaku bagi umat Islam Indonesia yang menyelesaikan sengketa mereka di peradilan agama (ditetapkan dengan instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991, diumumkan untuk  dilaksanakan umat Islam dengan Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia tanggal 22 Juli 1991 Nomor 154 tahun 1991.

Zaman kebangkitan pemikiran hukum Islam dilanjutkan sekarang dengan sistem baru dalam mempelajari dan menuliskan hukum Islam. Kalau dulu studi Islam terbatas pada pemikiran salah satu mazhab saja. Sedangkan kini di fakultas-fakultas hukum Islam diadakan mata kuliah yaitu perbandingan mazhab. Itu semua merupakan  angin segar bagi perkembangan pemikiran hukum Islam agar bisa tetap eksis dalam masyarakat. Proses Perkembangan Pemikiran Hukum Islam Pasca Turki Usmani