Pembelajaran Investigasi dalam Matematika

Matematika sebagai bagian dari pendidikan, memiliki peranan penting yang bertujuan meningkatkan mutu sumber daya manusia. Sebagaimana yang dinyatakan dalam KTSP (Depdiknas, 2006: 2) bahwa “tujuan pengajaran matematika di Indonesia adalah untuk membentuk kemampuan peserta didik dalam memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan  konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah”. Selain itu, KTSP (Depdiknas, 2006: 2) juga menyatakan bahwa “matematika diajarkan agar peserta didik memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah”. Demikian pentingnya matematika dalam kehidupan ini, sehingga tidak mengherankan jika prestasi belajar matematika dari sekolah dasar (SD) sampai perguruan tinggi selalu mendapat perhatian khusus, baik oleh pemerintah maupun oleh praktisi pendidikan matematika.

Pembelajaran Investigasi dalam Matematika

Salah satu bentuk perhatian terhadap prestasi belajar matematika adalah dengan dilakukannya berbagai studi untuk mengevaluasi keberhasilan pembelajaran matematika sekolah. Dari berbagai studi, baik yang berskala internasional maupun nasional menunjukan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih memprihatinkan. Hal ini dapat dilihat dari  Human Development Index (HDI) yang dikeluarkan oleh UNDP. Salah satu indikator dalam menentukan HDI adalah kualitas pendidikan pada suatu negara dari tingkat sekolah dasar sampai menengah. HDI Indonesia hanya sebesar 0,728 dari nilai ideal sebesar satu dan menempatkan Indonesia pada peringkat ke- 107 dari 177 negara yang diukur. Lebih lanjut, Mullis (ISMPimuza, 2010) menyatakan bahwa cermin dari pengusaan materi matematika siswa SMP di Indonesia terlihat dari hasil laporan The Trends International in Mathematics and Science Study  (TIMSS) 1999, 2003, dan 2007. Dari hasil kajian TIMSS menunjukkan bahwa peringkat Indonesia masih dari yang diharapkan. Sejalan dengan hasil TIMSS, hasil tes Programme for International Student Assesment (PISA) 2003 dan 2006 yang dikoordinir oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) menunjukkkan hasil yang serupa. Hasil TIMSS dan PISA mengungkapkan bahwa kemampuan matematis siswa Indonesia untuk soal-soal tidak rutin dan pemahaman konsep masih sangat lemah, namun relatif baik dalam menyelesaikan soal-soal fakta dan prosedur.

Hal ini sejalan dengan fakta bahwa rata-rata Ujian Nasional (UN) Matematika siswa sekolah menengah khususnya di Provinsi Sulawesi tengah secara nasional dapat dikatakan masih rendah, yaitu 6,11 pada tahun 2006-2007 dan 5,58 pada tahun 2007-2008. Jika ditinjau dari segi peringkat nasional, Provinsi Sulawesi tengah berada pada peringkat 30 pada tahun 2006-2007 dan peringkat 29 pada tahun ajaran 2007-2008 dari 33 Provinsi di Indonesia (Ismaimuza, 2010: 5).

Beberapa informasi di atas mengindikasikan bahwa secara umum pencapaian prestasi belajar matematika siswa belum maksimal. Salah satu penyebabnya adalah tingkat pemahaman matematis siswa masih rendah. Padahal, pemahaman merupakan aspek yang fundamental dalam pembelajaran matematika.Sehingga hal ini menjadi penekanan dalam kemampuan matematis yang harus dimiliki oleh siswa.Sejalan dengan hal tersebut, KTSP (2006: 9) juga memaparkan bahwa standar kompotensi yang harus dimiliki oleh seorang siswa adalah mencakup pemahaman konsep, kemampuan berfikir logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif. Hal ini juga sejalan dengan standar kemampuan pemahaman matematis yang harus dicapai siswa menurut NCTM (1989. a) yang meliputi: (1) penalaran matematis (mathematical reasoning), (2) representasi matematis (mathematical representation), (3) komunikasi matematis (mathematical communication), (4) pengaitan ide-ide matematis (mathematical connection) dan (5) pemecahan masalah (mathematical problem solving). Kelima komponen tersebut juga dikenal dengan istilah standar proses daya matematis(mathematical power proses standards).

Lanjut dari pada itu, Bruner (Jaeng, 2007: 36) menegaskan bahwa pembelajaran dengan pemahaman adalah suatu proses pembelajaran dimana siswa mampu membangun sendiri representasi dari apa yang mereka pelajari. Dengan demikian, mereka akan lebih mudah menemukan sendiri konsep atau prinsip yang terkandung dalam representasi tersebut, sehingga dapat mempermudah mereka  untuk mengingat hal-hal yang terkandung di dalamnya dan dapat mengaplikasikannya dalam situasi-situasi yang dihadapi. Proses membangun pemahaman inilah yang lebih penting dari pada hasil belajar, sebab pencapaian pemahaman terhadap materi yang dipelajari lebih mengoptimalkan kemampuan nalar siswa dalam membentuk pembelajaran yang bermakna. Demikian pentingnya hal tersebut, maka pemahaman yang utuh terhadap persoalan matematis menjadi pencapaian yang prioritas dalam pembelajaran matematika.

Selain kemampuan pemahaman matematis, juga diperlukan sikap yang harus dimiliki oleh siswa terhadap matematika,diantaranya adalah menyenangi matematika, menghargai keindahan matematika, memiliki rasa keingintahuan yang tinggi dan senang belajar matematika. Dengan sikap yang demikian, siswa diharapkan dapat terus mengembangkan matematika, menggunakan matematika untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi dalam hidupnya, dan dapat mengembangkan disposisi matematis.

Syaban (2010) mengungkapkan bahwa disposisi siswa terhadap matematika tampak ketika siswa menyelesaikan tugas matematika, apakah dikerjakan dengan percaya diri, tanggung jawab, tekun, pantang putus asa, merasa tertantang, memiliki kemauan serta melakukan refleksi terhadap cara berfikir yang telah dilakukan. Hal ini sejalan dengan NCTM (Kesumawati, 2010: 6), yang menyatakan bahwa:

Penilaian disposisi matematis siswa harus muncul dari beberapa informasi, meliputi :

  1. Kepercayaan diri dalam menggunakan masalah  matematika, untuk mengkomunikasikan ide, dan memberi alasan.
  2. Keluwesan dalam menggali ide-ide matematika dan mencoba metode alternatif dalam menyelesikan masalah.
  3. Tertarik, penasaran, dan memiliki daya temu dalam melakukan matematika.
  4. Kecenderungan untuk memonitor dan merefleksi pikiran dan kemampuan mereka.
  5. Menilai penerapan situasi matematika yang nampak dalam disiplin lain dan pengalaman sehari-hari.
  6. Mengapresiasikan aturan matematika sebagai budaya dan menilainya sebagai suatu alat dan bahasa.

          Penilaian dari disposisi matematis tersebut di atas juga termaktub dalam tujuan pembelajaran matematika berdasarkan KTSP (Depdiknas, 2006: 2), yaitu “peserta didik memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah”. Dari uraian ini dapat diketahui bahwa disposisi siswa terhadap matematika merupakan hal yang penting. Dengan disposisi yang baik, maka diharapkan dapat menciptakan respon positif siswa terhadap matematika. Siswa menyenangi matematika, merasa tertarik dalam belajar matematika, menganggap matematika sebagai hal yang menantang untuk dieksplorasi sehingga memberi pengaruh positif terhadap kemampuan mereka dalam memahami permasalahan matematika.

Oleh karena itu, untuk menciptakan pemahaman dan disposisi matematis yang baik diperlukan suatu pembelajaran matematika yang berbasis kontruktivis. Sebab menurut pandangan konstruktivis, pembelajaran matematika bukanlah dipandang sebagai penyajian seperangkat fakta dan konsep yang siap diterima begitu saja oleh siswa, tetapi merupakan sesuatu proses yang melibatkan siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya melalui bimbingan guru. Sejalan dengan hal itu, Syaban (2010) mengemukakan bahwa belajar matematika secara konstruktif adalah suatu proses belajar dimana siswa secara aktif membangun pemahamannya tentang konsep atau prinsip matematis, dengan mengaitkan informasi baru dengan informasi yang telah dimiliki, sehingga menciptakan suatu pembelajaran yang bermakna dan dapat menumbuhkembangkan disposisi matematisnya.

Salah satu pembelajaran yang sesuai dengan pandangan di atas adalah pembelajaran melalui pendekatan investigasi.Investigasi atau penyelidikan merupakan kegiatan pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan pemahamannya melalui berbagai kegiatan. Sejalan dengan hal tersebut, Syaban (2010) mengemukakan bahwamelalui pendekatan investigasi para siswa lebih diberikan kesempatan dan tanggung jawab untuk memikirkan, mengembangkan, dan menyelidiki hal-hal yang mengusik rasa keingintahuan mereka, sehingga dapat menambah kepercayaan dirinya dalam menghadapi persoalan-persoalan matematis. Selain itu, siswa juga dihadapkan pada situasi yang penuh pertanyaan sehingga dapat menimbulkan konfrontasi intelektual dan mendorong terciptanya pemahaman yang utuh. Oleh karena itu pembelajaran matematika melalui pendekatan investigasi merupakan salah satu alternatif  yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan pemahaman dan disposisi matematis siswa. Keberadaannnya juga diharapkan dapat memberikan kontribusi positif  terhadap inovasi pembelajaran matematika di sekolah.

Namun ternyata sampai saat ini, pada umumnya masih banyak guru yang merasa enggan menerapkan pendekatan investigasi kelompok. Berdasarkan laporan Tim Instruktur PKG Matematika (2009), hal tersebut disebabkan karena adanya anggapan bahwa pendekatan investigasi banyak memakan waktu,baik untuk menyiapkan berbagai sarana belajar, maupun untuk menerapkannya di kelas. Guru-guru juga sering dihantui oleh selesai atau tidaknya topik-topik yang harus diajarkan dengan waktu yang tersedia. Akibatnya guru lebih suka mengajar secara konvensional. Sebab pembelajaran konvensional terkesan lebih praktis dilaksanakan, sehingga memudahkan guru untuk menerapkannya di kelas.Karena selain alasan tersebut, keberhasilan pendekatan investigasi terhadap pembelajaran matematika sekolah juga masih dipertanyakan.

Dewasa ini, hasil belajar matematika hanya cenderung diukur dari skor matematika yang dicapai oleh siswa. Secara mendalam, belum banyak studi yang mencoba menelaah lebih jauh baik tentang aspek pemahaman siswa baik pemahaman konsep maupun proseduralnya, maupun tentang dampak afektif yang dirasakan siswa selama pembelajaran matematika berlangsung. Oleh karena itu dibutuhkan suatu kajian empirik yang menelaah perbedaan hasil belajar siswa  berdasarkan aspek kognitif dan afektif siswa.

Baca juga tentang Panduan Analisis Butir Soal dan Cara menafsirkan Hasil Penilaian