Psikososial yang Mempengaruhi Perkembangan Psikomotorik Anak [Part 1]

Psikososial yang Mempengaruhi Perkembangan Psikomotorik Anak [Part 1]. Psikososial barasal dari gabungan psiko dan sosial. Psiko berarti keadaan pikiran dan jiwa seseorang (perasaan, emosi, pemikiran, keyakinan, kepercayaan, sikap/nilai pribadi, persepsi, penghayatan, tingkah laku) sedangkan sosial berarti  hubungan seseorang dengan orang lain/lingkungan sekitarnya (keluarga, teman, komunitas masyarakat, nilai dan norma sosial, budaya, dsb).

Psikososial menekankan pada hubungan yang dinamis antara dampak psikologis dan sosial yang saling mempengaruhi satu sama lain. (Yusuf, 2002)
Sebagai individu yang unik anak memiliki kebutuhan yang berbeda satu dengan yang lain sesuai dengan usia tumbuh kembang. Kebutuhan tersebut meliputi kebutuhan fisiologis, psikologis, sosial dan spiritual. Kebutuhan fisik/biologis anak mencakupi makan, minum, udara, tempat berteduh, dan perawatan. Secara psikologis anak membutuhkan cinta dan kasih sayang, rasa aman atau bebas dari ancaman. Anak membutuhkan disiplin dan otoritas untk menghindar dari bahaya, mengembangkan kemamampuan berfikir, dan bertindak mandiri. Anak juga membutuhkan kesempatan untuk belajar berfikir dan membuat keputusan secara mandiri. Untuk pengembangan harga diri, anak membutuhkan penghargaan pribadi terutama pada usia satu sampai tiga tahun. Penghargaan merupakan pengalaman positif dalam membentuk harga diri untuk itu diperlukan penerimaan dan pengakuan dari orang tua dan lingkungannya. Secara sosial anak membutuhkan lingkungan untuk berinteraksi dan mengekspresikan ide/fikiran dan perasaannya, sedangkan secara spiritual anak membutuhkan penanaman nilai agama dan moral serta nilai budaya sebagai anggota masyarakat timur. (Yupi supartini, 2004)

Psikososial yang Mempengaruhi Perkembangan Psikomotorik Anak

Faktor lingkungan sangat berperan untuk melakukan perubahan, dalam artian memaksimalkan potensi yang dimiliki anak. Peran lingkungan adalah mengoptimalkan dimensi perkembangan anak yang mencakup faktor biologis (ras/suku bangsa, jenis kelamin, umur, gizi, perawatan kesehatan, kepekaan terhadap penyakit, penyakit kronis, fungsi metabolisme, dan hormon), faktor fisik(cuaca, musim, keadaan geografis suatu daerah, sanitasi keadaan rumah dan radiasi), faktor psikososial( stimulasi, motivasi belajar, ganjaran atau hukuman yang wajar, kelompok sebaya, stress, cinta dan kasih sayang serta kualitas interaksi anak dan orang tua) serta faktor keluarga dan adat istiadat (pekerjaan/ekonomi keluarga, pendidikan ayah/ibu, jumlah saudara, jenis kelamin dalam keluarga, stabilitas rumah tangga, kepribadian ayah ibu, norma, agama, urbanisasi, kehidupan politik). (Soetjiningsih, 2004)
1. Stimulasi
Stimulasi merupakan hal yang penting dalam tumbuh kembang anak. Anak yang mendapat stimulasi yang terarah dan teratur akan lebih cepat berkembang dibandingkan dengan anak yang kurang atau tidak mendapat stimulasi.

Stimulasi adalah rangsangan yang dilakukan sejak bayi baru lahir bahkan sebaiknya sejak janin berusia 6 bulan di dalam kandungan dan di lakukan setiap hari, untuk merangsang semua sistem indera (pendengaran, penglihatan, perabaan, pembauan dan pengecapan). Selain itu harus pula merangsang gerak kasar dan halus kaki, tangan dan jari-jari, mengajak berkomunikasi serta merangsang perasaan yang menyenangkan pikiran bayi, balita dan anak. Rangsangan yang di lakukan sejak lahir, terus menerus, bervariasi dengan suasana bermain dan kasih sayang, akan memacu berbagai aspek kecerdasan anak, yaitu kecerdasan logika-matematika, emosi, komunikasi bahasa, seni rupa, dan lain-lain (Setyowati dalam Etri Rustina 2010)

Kehadiran anak dalam keluarga akan melahirkan kegembiraan dan sekaligus kesejukan. Tetapi, keberadaan seorang anak dalam keluarga juga merupakan amanah yang harus dipikul, terutama oleh orang tuanya. Tanggung jawab orang tua dalam mendidik anak adalah salah satu upaya dalam memenuhi amanah Allah tersebut. Sebagaimana disampaikan oleh Rasulullah saw dalam hadisnya:
Artinya:
“Dari Abu Hurairah ra bahwa nabi Saw bersabda: Tidak ada   seorang pun dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah (suci). Kedua  orang tuanyalah yang menjadikannya sebagai orang Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
Dari hadis tersebut sangat jelas peran orang tua dalam pendidikan dan memberikan stimulasi pada anak sangatlah besar. Terutama agar dapat menjadikan seorang anak memiliki akhlaq yang baik sesuai dengan ajaran Islam, maka sejak awal keberadaan anak, orang tua memiliki tugas untuk mentransfer nilai-nilai Islami dalam kehidupannya. Sebagaimana tertera dalam Al qur’an bahwa Allah SWT memerintahkan kita, sebagai orang tua untuk membimbing keluarga atau dalam hal ini anak-anak agar senantiasa mendirikan sholat.
Firman Allah SWT dalam  Q.S. Thahaa ayat 132 :
Artinya:
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, Kamilah yang memberi rezki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa”
Serta firman Allah dalam Q.S Luqman ayat 17 :
Artinya:
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”
Kebahagiaan dalam rumah tangga di peroleh melalui hubungan harmonis masing-masing anggota keluarga satu dengan yang lain serta hubungan harmonis dengan Allah SWT yang tercermin di dalam pelaksanaan shalat ini. Sama halnya kandungan dari Q.S Luqman juga tentang perintah shalat selain itu menghindari perbuatan yang tidak baik (mungkar) dan bahwasanya yang melarang kemungkaran hendaknya terlebih dahulu mencegah dirinya sendiri. Disinilah peanan orang tua sebagai pembimbing dan pendidik anak sekiranya sebelum menyuruh anak terlebih dahulu memperlihatkan contoh yang baik pada anak . Di sisi lain membiasakan anak melaksanakan tuntunan ini menimbulkan dalam dirinya jiwa kepemimpinan serta kepribadian sosial.
Otak anak sebelum usia 3-4 tahun itu ibarat sponge, yang akan menyerap apa saja yang dilihat, didengar, dicium, dirasakan dan disentuh dari lingkungan mereka. Kemampuan otak mereka untuk memilah atau menyaring hal-hal yang baik ataupun yang buruk belum berkembang. Untuk itulah diperlukan perulangan dalam pemberian informasi tentang nilai-nilai baik manakah yang perlu difahamkan, dan nilai-nilai buruk manakah yang perlu dihindarkan. Namun, lambat laun menginjak anak usia 10 tahun, rangsangan dan perkembangan indera itu akan mengembangkan bagian tertentu dari batang otak yang disebut RAS (Reticular Activating System). Pembentukan RAS pada anak menjelang usia 10 tahun ini memiliki batasan waktu yang sama dengan hadist Rasulullah saw yang memerintahkan agar anak mulai usia 7 tahun harus disuruh shalat dan apabila pada usia 10 tahun tidak mau sholat boleh diberikan hukuman.
Berpijak pada dalil naqli di atas maka  stimulasi dan pendidikan anak harus mendapat perhatian yang sangat besar. Karena anak merupakan generasi penerus yang diharapkan dapat menegakkan nilai-nilai Islam dalam rangka menyebarkan rahmat di muka bumi. Selain itu, dalam menghadapi era globalisasi, maka ummat Islam membutuhkan SDM (Sumber Daya Manusia) yang memiliki kualitas yang baik dari segi ruhani, jasmani dan akal.
Selain itu tujuan diberikannya stimulasi terhadap anak adalah untuk  memberi atensi dan kedekatan emosional. Untuk memperoleh atensi dan kedekatan anak dapat di lakukan dengan cara memperlihatkan perasaaan senang bermain bersamanya dan menarik perhatiannya kala sedang bermain. Tidak hanya itu saja, melalui stimulasi dapat menjalin komunikasi efektif yang dilakukan dua arah. Bahkan merangsang ekspresi anak , perasaan dan gagasannya  serta cara mereka berpikir logis (Nurlindah, 2009)
Pada tahun-tahun pertama, sangat penting untuk memberikan stimulasi dalam bentuk stimulasi visual, verbal, auditif, taktil, dan lain-lain. Belaian, ciuman, mengajak bercakap-cakap, mengajak bermain, bercerita dan sebagainya, adalah sebagai upaya yang dapat membentuk anak mengenal dunia luar, lebih memperkaya imajinasi dan kreativitas anak sebagai sarana untuk memberikan rangsangan pada anak. (Mead Johnson, 2008)
Stimulasi sebaiknya dilakukan setiap kali ada kesempatan berinteraksi dengan anak yang di mulai sejak bayi. Misalnya ketika memandikan, mengganti popok, menyusui, menyuapi makanan, menggendong, mengajak berjalan jalan, bermain, menonton TV, di dalam kendaraan, ataupun menjelang tidur,. Jangan memberikan stimulasi dengan terburu-buru, memaksakan kehendak, tidak memperhatikan minat atau keinginan anak, atau anak sedang mengantuk dan bosan, hal ini justru memberikan rangsangan emosional yang negatif pada anak. Karena pada prisipnya semua ucapan, sikap dan perbuatan pengasuh anak adalah merupakan stimulasi yang direkam, diingat dan akan ditiru atau justru menimbulkan ketakutan pada anak. (Soetdjatniko 2003 dalam Etri Rustina)
Hal-hal yang diperhatikan dalam pemberian stimulasi tumbuh kembang anak yaitu:
1. Pemberian stimulasi dilaksanakan secara bertahap, berkelanjutan dan terus menerus.
2. Menggunakan benda atau barang/alat yang ada disekitar anak dan tidak berbahaya bagi anak.
3. Jangan memaksa apabila anak tidak mau melakukan kegiatan stimulasi, demikian pula bila anak sudah bosan.
4. Beri pujian setiap anak berhasil melakukan kegiatan stimulasi yang sesuai dengan tingkat umurnya.
5. Stimulasi dilakukan dengan penuh kasih sayang dan dalam suasana yang menyenangkan.
Stimulasi adalah cara terbaik untuk mengembangkan kemampuan anak. Stimulasi ini dapat di lakukan secara langsung atau membuat lingkungan yang baik sehingga anak merasa nyaman mengeksplorasi diri terhadap lingkungnnya. Disinilah peran penting orang tua sebagai pendidik utama, pertama, dan terbaik untuk anak, karena setiap orangtua tentu menginginkan anaknya tumbuh menjadi anak yang cerdas.
2. Motivasi belajar
Motivasi adalah kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu sedangkan belajar adalah serangkaian kegiatan jiwaraga untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungan yang menyangkut kognitif, afektif dan psikomotor. Motivasi belajar merupakan faktor psikis non intelektual. Peranannya yang khas adalah dalam hal penumbuhan gairah, merasa senang dan semangat untuk belajar (Ngalim purwanto, 2000)
Islam mendorong setiap pemeluknya dalam hal ini para orang tua untuk memenuhi kewajiban dalam mendidik anak dan selalu memberi motivasi untuk belajar. Islam tidak menghendaki kehidupan generasi ke depan diliputi keterpurukan akidah, melemahnya iman dan ketiadaan paham terhadap syariat. Karena itu seseorang yang telah di karuniai anak  benar-benar mendidik anaknya sebaik-baiknya. Allah berfirman dalam Q.S. An-Nisa/4: 9
Artinya :
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”
Motivasi belajar dapat ditimbulkan sejak dini dengan memberikan lingkungan yang kondusif untuk belajar, misalnya sekolah yang tidak terlalu jauh, buku-buku, suasana yang tenang serta sarana lainnya. Dengan meningkatnya motivasi belajar pada anak untuk melakukan atau mempelajari hal-hal baru tentu memberikan dampak positif pada perkembangan anak karena dengan belajar anak terlatih mengembagkan potensi-potensiyang dimilikinya. (Soetjiningsih,2004)
3. Ganjaran atau hukuman
Kalau anak berbuat benar, maka wajib diberi ganjaran misalnya pujian, ciuman, belaian, tepuk tangan dan sebagainya. Ganjaran tersebut akan menimbulkan motivasi yang kuat bagi anak untuk mengulangi tingkah lakunya. Sedangkan menghukum dengan cara yang wajar kalau anak berbuat salah, masih dibenarkan. Yang penting hukuman harus di berikan secara objektif, di sertai dengan pengertian dan maksud dari hukuman tersebut, bukan hukuman untuk melampiaskan kebencian dan kejengkelan terhadap anak. Sehingga anak tahu mana yang baik dan mana yang tidak baik. Akibatnya akan menimbulkan rasa percaya diri pada anak yang penting untuk perkembangan kepribadian anak kelak. (Soetjiningsih, 2004)
Pembentukan disiplin diri merupakan suatu proses yang harus dimulai sejak masa kanak-kanak. Oleh karena itu pendidikan disiplin pertama-tama sudah dimulai dari keluarga. Hukuman memang bentuk reinforcement yang negatif, tetapi jika diberikan secara tepat dan bijaksana, bisa menjadi alat motivasi. Oleh karena itu, orangtua harus memahami prinsip-prinsip pemberian hukuman tersebut.
Untuk anak yang masih dalam usia prasekolah, yang harus ditekankan adalah aspek pendidikan dan pengertian dalam disiplin. Seorang anak yang masih usia prasekolah ini, diberi hukuman hanya kalau memang terbukti bahwa ia sebenarnya mengerti apa yang diharapkan dan terlebih bila ia memang sengaja melanggarnya. Sebaliknya bila saat ia berperilaku sosial yang baik, ia diberikan hadiah, biasanya ini akan meningkatkan keinginannya untuk lebih banyak belajar berperilaku yang baik. (Arya, 2010)
Tidak sedikit orang tua membiarkan anak-anak bahagia tanpa disiplin. Tentu saja hal ini merupakan suatu kekeliruan besar, karena di masa yang akan datang anak akan kebingungan karena tidak mengenal aturan bagi dirinya sendiri. Anak-anak memerlukan garis panduan dalam bertingkah laku melalui peraturan yang mudah yang disediakan oleh orangtuanya. Konflik. tekanan serta masalah tingkahlaku terjadi bila orangtua membuat target lebih ataupun kurang terhadap kemampuan anaknya. Untuk mengatasi ini, orangtua harus memahami kemampuan seorang anak berdasarkan umurnya. Bila seseorang anak didenda, dia harus diberi pengertian oleh orangtuanya bahwa yang ditolak adalah tingkahlaku dan bukan dirinya.(Nur Rahman, 2010)
Intinya pemberian ganjaran ataupun hukuman pada anak harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak. Hukuman juga harus bersifat lebih mendidik, bukan malah menimbulkan kebencian dan rasa dipermalukan. Hukuman yang diberikan harus proporsional dengan tingkat pelanggaran, dan anak harus dibuat mengerti mengapa hal yang dilakukan itu salah.
4. Kelompok sebaya
Sebaya adalah orang dengan tingkat umur dan kedewasaan yang kira-kira sama. Sebaya memegang peran yang penting dalam perkembangan anak. Untuk proses sosialisasi dengan lingkungannya anak memerlukan teman sebaya. Salah satu fungsi terpenting adalah memberikan informasi dan perbandingan tentang dunia diluar keluarga.
Piaget dan Sullivan memberikan penjelasan tentang peran sebaya dalam perkembangan sosio emosional. Mereka menekankan bahwa melalui interaksi sebayalah anak anak dan remaja belajar bagaimana berinteraksi dalam hubungan yang simetris dan timbal balik. Dengan sebaya, anak-anak belajar memformulasikan dan menyatakan pendapat mereka, menghargai sudut pandang sebaya, menegosiasikan solusi atau perselisihan secara kooperatif. Menurut piaget dan Kohlberg, melalui teman sebaya yang diwarnai dengan memberi dan menerima, anak-anak mengembangkan pemahaman sosial dan logika moral mereka. Anak-anak menggali prinsip keadilan dan kebaikan dengan menghadapi perselisihan dengan sebaya.
Interaksi dengan teman sebaya menurut Charlesworth dan Hartup (1967) mempunyai empat unsur positif :
1. Saling memberikan perhatian dan saling mufakat
2. Membagi perasaan dan saling menerima diri
3. Saling percaya dan
4. Memberikan sesuatu kepada yang lain
Selanjutnya Hartup memberikan enam kategori yang berkembang pada anak usia prasekolah ini dalam kaitan interaksi dengan teman sebayanya.
1. Perasaan ketergantungan pada teman sebayanya lebih besar daripada terhadap orang dewasa.
2. Perasaan simpati dan perasaan cinta semakin bertambah
3. Ingin mempengaruhi yang lain, ingin menjadi pemimpin atas temannya
4. Perasaan kompetisi bertambah
5. Suka bertengkar
6. Aktivitas bernada agresif semakin bertambah tetapi cenderung menurun setelah masa prasekolah berakhir. (Dalam Save Dagun, 2002)
Dengan teman sebayanya anak dapat bermain secara bebas anak dapat berekspresi dan bereksplorasi untuk memperkuat hal-hal yang sudah diketahui dan menemukan hal-hal baru. Melalui permainan, anak-anak juga dapat mengembangkan semua potensinya secara optimal, baik potensi fisik maupun mental intelektual dan spritual. Oleh karena itu, bermain dengan teman sebaya bagi anak usia dini merupakan jembatan bagi berkembangnya semua aspek.
Pengalaman yang diperoleh dari teman sebaya penting karena itu akan menyebabkan perkembangan yang lebih seimbang. Oleh karenanya orangtua harus mendorong anaknya untuk berteman. Dengan adanya teman sebaya, anak-anak mempelajari kemahiran perjuangan sosial yaitu bagaimana mendapatkan apa yang diperlukannya. (Nur Rahman, 2010)